Wamenlu Pahala: RI-Afrika Bakal Wujudkan Rantai Pasok Empat Sektor Strategis
Indonesia-Afrika berkomitmen membangun rantai pasok empat sektor strategis: pangan, energi, kesehatan, dan mineral.
Indonesia akan menggelar Forum Indonesia-Afrika (IAF) Ke-2 di Nusa Dua, Bali, pada 1-3 September 2024. Dengan mengusung tema ”Semangat Bandung untuk Agenda 2063 Afrika”, Indonesia mengajak negara-negara di Afrika tumbuh bersama meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai bagian dari global south (dunia selatan) atau negara-negara yang sedang berkembang, Indonesia-Afrika diharapkan mampu memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi yang saling menguntungkan. Perkuatan kerja sama itu diharapkan dapat menginspirasi negara-negara lain di tengah menguatnya arus pilih-pilih mitra dagang, investasi, bahkan politik.
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Pahala Nugraha Mansury menyatakan, kerja sama Indonesia-Afrika itu akan mengarah pada upaya mewujudkan rantai pasok empat sektor strategis. Bagaimana hal itu akan dibangun dan digulirkan secara konkret?
Pria yang lama berkecimpung di dunia perbankan dan pernah menjadi Wakil Menteri BUMN pada 2020-2023 itu menuturkannya kepada Kompas ketika ditemui di kantornya di Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Kerja sama Indonesia-Afrika itu akan mengarah pada upaya mewujudkan rantai pasok empat sektor strategis.
Mengapa ”Spirit Bandung” dipilih sebagai tema IAF?
Tema ”Semangat Bandung untuk Agenda 2063 Afrika” dipilih karena menunjukkan solidaritas Indonesia dan negara-negara Afrika sebagai bagian dari dunia selatan, yaitu negara-negara yang sama-sama sedang berkembang. Solidaritas dunia selatan ini lahir sejak penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Solidaritas tersebut dibangun di atas dasar kesamaan kepentingan, nilai, dan semangat negara-negara tersebut.
Ikatan historis ini menjadi modal kuat untuk meningkatkan kerja sama. Solidaritas itu pula yang mengikat Indonesia-Afrika berjalan bersama mencapai agenda masing-masing. Indonesia mempunyai Visi Indonesia Emas 2045, sedangkan Afrika mempunyai agenda 2063.
IAF juga menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mengingatkan kembali semangat KAA di Bandung. Ini merupakan satu rangkaian yang cukup baik menuju peringatan 70 tahun KAA pada 2025 nanti.
Baca juga: KTT Indonesia-Afrika Pererat Solidaritas Negara-negara Dunia Selatan
Dengan menggelar IAF, apakah Indonesia ingin menjadi seperti China yang juga memperkuat ikatan dagang dan berinvestasi besar-besaran di Afrika, khususnya melalui Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI)?
Cukup banyak negara yang berupaya bekerja sama dengan Afrika. Selain BRI yang mencakup sejumlah kawasan di dunia, China juga memiliki Forum Kerja Sama China-Afrika (FOCAC) yang bakal digelar setelah IAF 2024. Namun, tak hanya itu, Jepang dan Korea Selatan juga memiliki forum kerja sama serupa. Negara-negara maju itu melirik Afrika tidak hanya lantaran pangsa pasarnya besar, tetapi juga kekayaan sumber daya alamnya berlimpah.
Sekitar 10 persen cadangan minyak bumi dunia dan 8 persen cadangan gas dunia berada di Afrika. Kawasan tersebut juga kaya akan mineral kritis yang juga menjadi bagian dari cadangan mineral kritis dunia, seperti kobalt (55 persen), mangan (48 persen), granit (22 persen), dan litium (5 persen).
Lalu apa yang menjadi pembedanya kerja sama Indonesia-Afrika dengan China-Afrika? Pertama, Indonesia-Afrika memiliki semangat yang sama yang lahir dari KAA di Bandung. Bagi Indonesia, Afrika merupakan pasar ekspor nontradisional yang tengah dikembangkan. Namun, arahnya tidak hanya pada pengembangan pasar, tetapi juga kerja sama yang saling menguntungkan.
Kedua, Indonesia lebih menyasar sektor-sektor yang mencerminkan kesamaan kepentingan, seperti pangan, energi, kesehatan, dan mineral kritis. Dengan begitu, ada value yang sama yang diharapkan bisa membuat nyaman bekerja sama dengan Indonesia.
Berbeda dengan China. Dengan modal besar yang dimilikinya, China dapat berinvestasi di sektor infrastruktur di Afrika, termasuk dalam megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan. Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa mengembangkan infrastruktur di China.
Ekspansi perusahaan Indonesia di sektor infrastruktur tetap ada dan terus dijajaki. Namun, Indonesia tetap akan berfokus membangun ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan mineral.
Baca juga: Xi Bantah ”Jebakan Utang”
Apakah keempat sektor sasaran Indonesia itu bisa dijabarkan secara lebih konkret? Apakah hal itu juga terkait erat dengan rencana penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah negara di Afrika yang ditargetkan senilai 3,5 miliar dollar AS?
Selama ini, produk-produk dan sejumlah perusahaan di Indonesia sudah masuk di sejumlah negara di Afrika. Beberapa produk itu, antara lain, mi instan, produk turunan sawit, obat-obatan, bahkan vaksin. Salah satu perusahaan farmasi di Indonesia setiap tahun mengekspor sekitar 1.000 miliar vaksin ke sejumlah negara di Afrika. Sebuah perusahaan swasta Indonesia juga telah mendirikan pabrik mi instan di Nigeria.
Ada juga perusahaan swasta Indonesia yang bergerak di bidang pengolahan minyak asiri cengkeh di Zanzibar. Perusahaan tersebut telah memiliki enam kilang penyulingan minyak cengkeh. Saat ini, perusahaan itu juga tengah menjajaki untuk membangun sekitar 100 kilang lagi di sejumlah negara di Afrika. Ini menunjukkan bukan hanya BUMN yang didorong pemerintah untuk berinvestasi di Afrika, tetapi juga perusahaan-perusahaan swasta.
Tidak cukup rasanya kalau hanya berhenti di situ. Potensi kerja sama di bidang ketahanan pangan masih luas. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1,7 miliar orang pada 2023, Afrika kerap mengimpor pangan dan pupuk yang merupakan penunjang ketahanan pangan. Salah satu perusahaan swasta Indonesia akan berupaya mengembangkan pupuk dan memonetisasi gas sebagai sumber energi pembuatan pupuk di Tanzania. MoU kerja samanya akan ditandatangani nanti dalam IAF di Bali.
Berbagai bentuk kerja sama yang dirintis itu akan mengarah pada pembentukan rantai pasok pangan, energi, bahan baku baterai kendaraan listrik, serta kesehatan.
Beberapa MoU lainnya berupa kerja sama pengelolaan panas bumi dan tenaga matahari, perkebunan kelapa sawit, dan pengembangan produk farmasi, terutama vaksin. Di samping itu, dalam IAF nanti, Indonesia akan menjajaki peluang kerja sama di sektor mineral kritis. Hal ini terutama untuk mewujudkan rantai pasok bahan baku baterai kendaraan listrik Indonesia-Afrika.
Berbagai bentuk kerja sama yang dirintis itu akan mengarah pada pembentukan rantai pasok pangan, energi, bahan baku baterai kendaraan listrik, serta kesehatan. Bahkan Afrika tertarik untuk mengembangkan kawasan ekonomi khusus dan hilirisasi tambang seperti Indonesia.
Kami memang menargetkan IAF Ke-2 di Bali dapat menelurkan MoU senilai 3,5 miliar dollar AS. Per hari ini (28 Agustus 2024), MoU yang sudah pasti bakal ditandatangani sudah senilai 2,8 miliar dollar AS. Capaian itu jauh di atas IAF Ke-1 yang digelar pada 2018. Waktu itu, MoU yang berhasil disepakati Indonesia-Afrika senilai 568 juta dollar AS.
Jadi ini adalah satu guliran momentum yang harus kita bangun terus secara konsisten. Tidak bisa hanya dibangun dalam sehari. Perlu ada konsistensi dan keberlanjutan dalam hal membangun kerja sama secara positif.
Baca juga: Tak Sekadar Diplomasi Mi Instan dan Kopi
Apakah kondisi global saat ini, termasuk konflik geopolitik, bakal menjadi tantangan utama?
Justru itulah pentingnya kita membangun ketahanan pangan dan ketahanan energi dengan negara-negara Afrika. Melihat konflik dan disrupsi rantai pasok yang ada, ini menyebabkan kenaikan harga bahan pangan dan komoditas energi.
Kalau kita tidak memastikan memiliki rantai pasok sendiri terhadap komoditas-komoditas itu, sangat mungkin akan menjadi sangat mahal buat kita. Atau bisa jadi kita tidak dapat memperolehnya secara langsung.
Misalnya, Indonesia sedang menjajaki bagaimana mendapat komoditas fosfat, sebagai bahan baku pupuk. Setelah perang Rusia-Ukraina meletus, terjadi kenaikan harga fosfat yang sangat luar biasa. Kita sedang menjajaki bagaimana bisa memperoleh komoditas itu secara langsung. Dan alhamdulillah, sejumlah negara di Afrika utara memiliki kekayaan mineral fosfat.
Konflik di Timur Tengah telah memicu kenaikan harga minyak mentah yang signifikan. Bukan tak mungkin, konflik ini bisa berlangsung lebih dari 2-3 tahun mendatang. Kita harus bersiap-siap memiliki sumber daya alam tersebut, apakah itu dalam bentuk minyak atau dalam bentuk gas. Afrika memiliki cadangan minyak bumi dan gas yang besar, seperti di Nigeria, Angola, Gabon, Tanzania, dan Mozambik.
Baca juga: Konflik Laut Merah Hambat Impor Bahan Baku Pupuk RI
Perusahaan Indonesia sudah memiliki rekam jejak investasi migas di sejumlah negara di Afrika. Tidak heran jika sekitar 20 persen impor minyak mentah kita berasal dari sejumlah negara di Afrika. Ini akan terus didalami dan dikembangkan agar Indonesia dapat mendapatkan pasokan langsung dari Afrika. Dan, Afrika welcome karena bisa memonetisasi kekayaan alamnya.
Namun, Indonesia tak bisa hanya mengambil begitu saja. Indonesia juga perlu melihat kebutuhan negara-negara di Afrika, terutama terkait infrastruktur seperti pembangkit listrik dan jaringan pipanisasi untuk bisa optimal memanfaatkan kekayaan migas yang dimiliki negara-negara di Afrika.
Di tengah era pilih-pilih teman dagang, investasi, bahkan politik, negara-negara dunia selatan justru saling merangkul satu sama lain.
Perkuatan kerja sama yang mengarah pada pembangunan rantai pasok dengan Afrika itu akan terus digulirkan. Kerja sama dunia selatan, terutama Indonesia Afrika, ini justru akan menginspirasi negara-negara lain. Di tengah era pilih-pilih teman dagang, investasi, bahkan politik, negara-negara dunia selatan justru saling merangkul satu sama lain. Bahkan membuka diri untuk bekerja sama dengan negara-negara yang terlibat konflik.
Hal ini juga sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. IAF akan menunjukkan bagaimana Indonesia bisa bekerja sama dengan semua pihak, baik itu negara maju, berkembang, maupun negara-negara yang sedang bersaing, atau juga dengan negara-negara dunia selatan lainnya.
Bagaimana dengan pembiayaan, apakah juga menjadi persoalan? Mengingat Jepang juga menjalin kerja sama dengan Indonesia dan Afrika, apakah Japan International Cooperation Agency (JICA) bisa menjadi solusinya?
Pembiayaan dan fasilitasi dari transaksi pembayaran tentu saja juga menjadi tantangan yang perlu dicari solusinya. Jadi, dari fasilitasi transaksi hingga pembiayaan masih perlu kita dorong terus. Tidak hanya itu, perlu juga skema-skema untuk mengantisipasi risiko, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang baru pertama kali berdagang atau berbisnis dengan perusahaan di Afrika.
Jadi, perlu ada skema untuk memberi kepastian yang lebih, termasuk berupa penjaminan. Indonesia-Afrika akan membahas skema-skema pembiayaan dan penjaminan itu, termasuk model-model pembiayaan inovatif.
Terkait JICA, Indonesia tengah menjajaki peluang pembiayaan dan penjaminan atau juga kerja sama pembangunan di Afrika. Ada potensi strategis juga untuk pengembangan sektor peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kesehatan.
Jadi, ini adalah contoh bagaimana Indonesia tidak bisa sendiri, tetapi juga harus melibatkan negara lain yang punya kepentingan dan minat yang sama dengan kita di Afrika. Mengingat keterbatasan kita, mungkin justru ini bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk berkontribusi di beberapa sektor tertentu.
Baca juga: Indonesia Kejar Peluang Miliaran Dollar AS di Afrika