Ojek ”Online” Demo di Tengah Penyusunan Regulasi Pekerja Platform Digital
Jika status kerja pengemudi ojek ”online” ialah kemitraan, maka kerja layak sulit ditegakkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pengemudi layanan transportasi berbasis aplikasi beramai-ramai menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut kesejahteraan, kondisi kerja manusiawi, dan upah layak. Aksi yang dipicu oleh menurunnya pendapatan pengemudi ini berlangsung di tengah upaya pemerintah menyusun regulasi khusus untuk pekerja di platform digital.
Kabar aksi unjuk rasa itu telah menyebar di aplikasi pesan instan dan media sosial. Intinya, sejumlah pengemudi tidak melayani permintaan order, baik transportasi maupun pesan-antar makanan se-Jabodetabek, pada hari Kamis (29/8/2024).
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengungkapkan bahwa pendapatan pengemudi terus mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena perang tarif antara platform, seperti Gojek, Grab, Maxim, Shopee, Indrive, dan Lalamove.
Baca juga: Ojek Daring dan Kurir Logistik Berhak atas THR, Bagaimana Cara Pembayarannya?
”Platform digital di bidang layanan transportasi (ride hailing) sewenang-wenang mengatur tarif rendah karena menganggap hubungannya dengan pekerja ojol adalah sebagai hubungan kemitraan. Dengan status mitra ini, maka para pekerja ojol dan kurir secara otomatis menjadi kehilangan hak-haknya sebagai pekerja. Pekerja platform terpaksa bekerja lebih dari 8 jam kerja yang rawan akan kelelahan dan kecelakaan kerja,” tutur Lily.
Ia mengungkapkan, pengemudi, karena status mitra, tidak mendapatkan upah yang layak secara bulanan karena hanya dihargai bila mendapatkan orderan. Dengan sendirinya, mereka tidak mendapatkan upah lembur layaknya pekerja pada umumnya.
”Untuk itu, kami mendukung setiap aksi protes yang terus dilakukan di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dan kami menuntut agar pekerja platform seperti ojol, taksi daring, dan kurir diakui sebagai pekerja tetap,” imbuh Lily.
Saat dikonfirmasi, Head of Corporate Affairs Gojek Rosel Lavina dalam keterangan tertulis, mengatakan, pihaknya selalu terbuka terhadap aspirasi rekan-rekan mitra pengemudi yang aktif di Gojek. Gojek senantiasa mengimbau agar aspirasi mereka disampaikan secara kondusif dan tertib.
”Selama ini, mitra driver aktif Gojek juga menyampaikan aspirasinya melalui berbagai wadah komunikasi formal yang kami miliki,” katanya, Kamis (29/8/2024).
Rosel juga menyampaikan, di sisi lain, pihak manajemen Gojek menyayangkan adanya upaya yang memberi kesan akan tidak beroperasinya beberapa layanan Gojek karena rencana aksi demonstrasi. Gojek menegaskan bahwa operasional Gojek akan tetap berjalan normal dan konsumen dapat tetap menggunakan layanan Gojek seperti biasa.
Baca juga: Polemik THR Ojek Daring dan Hubungan Kerja Kemitraan
”Kami mengimbau kepada mitra pengemudi Gojek agar tidak terprovokasi dan tetap beroperasi seperti biasa. Gojek akan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan tindakan yang merugikan terhadap pelanggan maupun mitra kami,” kata Rosel.
Pengakuan
Kabar tentang aksi demo sejumlah mitra pengemudi transportasi berbasis aplikasi itu telah mengemuka di kalangan wartawan sejak Rabu (28/8/2024). Ketika minta konfirmasi ke Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri, dia mengaku belum mengetahui kabar tersebut.
”Saya belum mendengar kabar itu. Hanya, terkait pekerja pada platform digital yang di dalamnya termasuk ojol (ojek online), kami telah menyiapkan rancangan peraturan menteri ketenagakerjaan (permenaker), tetapi pembahasannya menunggu rezim pemerintahan yang akan datang,” ujar Indah, saat ditemui seusai menghadiri rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI.
Menurut dia, Kemenaker memberi perhatian khusus pada kesejahteraan pekerja di platform digital. Misalnya, mereka harus kerja layak sesuai standar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), tidak mengalami perbudakan modern, dibayar sesuai standar peraturan yang berlaku, tidak boleh rawan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan pelecehan seksual, dan harus terlindungi jaminan sosial.
”Nanti diatur pola kerjanya seperti apa. Saya belum bisa berbicara banyak, termasuk apakah nanti di rezim pemerintahan baru akan ada undang-undang khusus atau sekadar permenaker. Yang penting, kami telah menyiapkan rancangan permenaker,” ucapnya.
Indah menyampaikan, terkait dengan pengaturan pekerja pada platform digital sebenarnya bukan hanya tanggung jawab Kemenaker, tetapi juga kementerian lain, yaitu Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Baca juga: Grab Berikan Insentif Khusus sebagai THR ke Mitra Pengemudi
Saat ditanya tentang tuntutan pendemo untuk legalisasi ojol, Indah menegaskan bahwa status mereka sudah legal sejak awal. Banyak negara pun ada pekerja kemitraan meski wujudnya bukan ojol.
”Soal status hukum terkait hubungan kerja mereka ke depan, saya belum bisa sampaikan (menunggu peraturan baru). Yang jelas, mereka di-recognize negara. Diakui pekerja lho di dunia karena jika tidak diakui, mereka pasti sudah diberangus,” kata Indah.
Lubang hukum
Menanggapi hal itu, Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia Irham Ali Saifuddin, saat dihubungi pada Kamis (29/8/2024), mengatakan, tidak sepenuhnya benar bahwa pekerja kemitraan pada platform digital diakui negara sejak dulu. Istilah kemitraan tidak secara eksplisit diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun UU No 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Istilah kemitraan hanya tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1313.
Irham berpendapat, pemerintah seharusnya bergerak cepat untuk menutupi lubang hukum ini karena perubahan bentuk relasi kerja yang terjadi belakangan. Tujuannya agar ada kepastian pengakuan pekerja yang selama ini bekerja dalam pola kemitraan dan perlindungan terhadap pekerja.
”Adanya lubang hukum ini membuat pekerja dalam hubungan kemitraan rentan terhadap eksploitasi dan juga eksklusi dari hak-hak yang seharusnya didapatkan,” ujarnya.
Irham mengapresiasi rencana pemerintah yang ingin membuat peraturan khusus pekerja pada platform digital. Harapannya, regulasi yang dibuat mampu memberikan pengakuan dan perlindungan bagi pekerja pola kemitraan dan pola lainnya pada platform digital.
”Kami ingin mengingatkan pemerintah agar regulasi pekerja pada platform digital yang akan diterbitkan tidak akan malah memperluas fleksibilitas hubungan kerja. Jangan lantas dengan regulasi tersebut, pekerja yang tadinya memiliki hubungan kerja yang jelas malah dibuat fleksibel atas nama pola kemitraan,” imbuh Irham.
Sementara itu, analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, Kamis (29/8/2024), berpendapat, kerja layak bagi pekerja platform digital susah. Apalagi, jika status hukum mereka ialah kemitraan, maka kerja layak sulit ditegakkan. Prinsip kemitraan yang diatur pada Pasal 104 UU No 20/2008 tentang Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Pola hubungan kemitraan yang sekarang dijalani pekerja pada platform digital, terutama ojol, hanya palsu. Sebab, ojol juga bekerja selayaknya pekerja pada umumnya.
”Mereka (ojol) lebih tepat dikategorikan pekerja ketimbang mitra. Definisi hubungan kerja yang cocok untuk mereka sesuai peraturan perundang-undangan yang ada (UU No 13/2003) ialah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Akan tetapi, karena banyak di antara ojol bekerja pada dua -tiga aplikasi, maka pengaturan upah, jaminan sosial, jam kerja harus diatur dalam regulasi tersendiri,” tutur Rekson.
Baca juga: Mimpi THR Ojek Daring