Target Pajak Rp 2.000 Triliun dan Kepercayaan Rakyat
Kepercayaan rakyat ke pemerintah sangat krusial untuk mengerek kinerja pajak.
Dulu, Deri (28) tidak pernah mempersoalkan potongan pajak penghasilan yang setiap bulan mesti ia bayar ke negara. Namun, belakangan, karyawan swasta asal Jakarta yang bekerja di sektor perhotelan itu mau tidak mau jadi lebih perhitungan.
Di tengah biaya hidup yang semakin tinggi, Deri mesti merelakan gajinya dipotong hingga Rp 2,7 juta setiap bulan untuk berbagai potongan, mulai dari setoran Pajak Penghasilan (PPh 21) sampai iuran BPJS Ketenagakerjaan.
“Sebenarnya dari dulu gue enggak terlalu perhitungan soal pajak karena itu sudah kewajiban. Gue juga sadar pemerintah butuh uang buat pembangunan dan operasional negara. Tapi, sekarang ini, kok, semakin enggak masuk akal potongannya?” ucap Deri, Selasa (27/8/2024).
Ia mulai menyadari potongan pajak yang lebih besar sejak awal tahun ini, bertepatan dengan keputusan pemerintah menerapkan formula baru “tarif efektif rata-rata atau TER” dalam menghitung tarif pajak penghasilan.
Dengan skema baru itu, potongan pajak pekerja akan lebih besar di awal tahun, tetapi lebih kecil di akhir tahun, sehingga secara nominal total beban pajak tidak berubah. Di bulan Desember, pegawai juga berpeluang menerima pengembalian kelebihan bayar pajak.
Namun, Deri tidak bisa menunggu sampai Desember. Setiap bulan, ia pusing merenungkan potongan pajak jutaan rupiah yang semestinya bisa ia pakai untuk menutupi kebutuhan lain.
Akhir-akhir ini, potongan pajak itu terasa semakin besar. Kuat dugaannya karena ia lupa memadankan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga dikenai tarif PPh 21 lebih tinggi.
“Akhirnya setiap bulan sekarang ada aja kebutuhan yang harus gue kurangin untuk meng-cover potongan itu,” katanya.
Semakin kesal
Kekesalannya semakin bertambah ketika melihat kabar pejabat bergaya hidup mewah, serta korupsi kolusi dan nepotisme pejabat. “Potongan pajak udahbesar, lalu kita juga harus lihat mereka yang di atas menikmati duit negara yang asalnya dari pajak kita-kita juga,” ucap Deri.
Kejengkelan soal pajak dan korupsi pejabat itu bergulir semakin “liar” menjadi kekesalan atas lemahnya sistem penegakan hukum dan pemerintahan di Indonesia. Apalagi, setelah melihat koruptor bisa bebas keluar-masuk penjara selayaknya orang bebas.
“Gue heran, lembaga yang ngurus perkorupsian itu ke mana, ya? Siapa juga yang mau takut korupsi kalau hukumannya ‘mewah’ begitu?” ucapnya panjang lebar.
Baca juga: Kelas Menengah Turun Kelas, Kebijakan Apa yang Dibutuhkan?
Namun, Deri sadar ia hanya bisa mengeluh. Suka atau tidak suka, ia tetap harus dan akan membayar pajak. Setiap bulan gajinya otomatis dipotong perusahaan untuk membayar pajak. Setiap tahun ia juga tetap membayar pajak kendaraan.
Ia sadar penuh membayar pajak adalah kewajibannya sebagai warga negara. Namun, kalau boleh memilih, ia enggan. Potongan pajak yang tinggi terasa berat ketika melihat uang negara dihamburkan untuk urusan pemerintahan yang tak mendesak, bahkan dikorupsi pejabat.
“Kalau dibilang enggak mau (bayar pajak), ya, enggak mau. Cuma, mau gimana lagi?” tuturnya.
Target pajak tinggi
Deri hanya satu di antara banyaknya masyarakat yang mengeluh soal pajak. Di linimasa media sosial belakangan ini, kejengkelan warganet atas berbagai pungutan pajak dan iuran bisa dengan mudah ditemukan.
Di tengah kekesalan warga pembayar pajak seperti Deri itu, pemerintah memasang target penerimaan pajak yang tinggi dan menantang untuk tahun depan.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, target penerimaan pajak ditetapkan Rp 2.189,3 triliun, naik 13,9 persen dari proyeksi (outlook) APBN 2024. Untuk pertama kalinya, target pajak menembus Rp 2.000 triliun.
Mengerek penerimaan pajak setinggi itu tidak mudah. Sepanjang tahun ini saja, dari Januari-Juli 2024, setoran pajak sudah terus-terusan mengalami penurunan.
Data terakhir per 31 Juli 2024, penerimaan pajak terkontraksi 5,75 persen secara tahunan. Meski sudah memasuki bulan kedelapan, setoran pajak baru mencapai Rp 1.045,32 triliun atau 52,56 persen dari target. Pemerintah sendiri ragu target tahun ini bisa tercapai.
Baca juga: Target Menantang Setoran Pajak 2025
Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, untuk mencapai target Rp 2.189,3 triliun tersebut, ada satu prasyarat penting yang tak boleh dipandang sebelah mata, yakni menjaga kepercayaan rakyat sebagai pembayar pajak.
Kondisi itu krusial jika pemerintah ingin melakukan reformasi pajak dan mengerek penerimaan.
Sayangnya, ujar Fajry, persepsi kepercayaan publik terhadap pemerintah akhir-akhir ini belum pulih. Terlebih, setelah aksi unjuk rasa besar akibat rencana pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, pekan lalu.
Revisi UU itu memang akhirnya batal. Namun, keresahan warga terhadap pemerintah masih bisa marak dijumpai di media sosial.
“Dari berbagai studi, kepercayaan publik terhadap pemerintah memegang peran penting terhadap penerimaan mereka atas kebijakan jenis pajak baru. Faktor trust itu juga penting terhadap diterima atau tidaknya rencana kenaikan tarif pajak,” ucapnya.
Tidak rela
Pemerintah bisa saja mengeluarkan kebijakan pajak tanpa memperhatikan seberapa besar tingkat kepercayaan publik. Toh, rakyat tidak bisa melakukan perlawanan pajak atau tax revolt seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat.
Namun, menurutnya, itu bukan tanpa konsekuensi. Kepercayaan terhadap pemerintah tetap sangat berdampak pada kepatuhan rakyat untuk sukarela membayar pajak (voluntary compliance).
Curahan hati warga seperti Deri, yang memilih tidak membayar pajak jika bisa, menegaskan bahwa tingkat kerelaan rakyat dalam membayar pajak masih rendah.
“Nuansa ini sudah bisa dengan mudah dijumpai dari celotehan netizen di media sosial, ‘kalau duit pajak gue buat dikorupsi, buat apa gue bayar pajak?” ucap Fajry.
Tingkat kerelaan membayar pajak yang rendah itu juga bisa dilihat dari data rasio kepatuhan pajak wajib pajak orang pribadi (WP OP) non-karyawan.
Berbeda dari WP OP berstatus karyawan yang pajaknya otomatis disetorkan oleh perusahaan tempat bekerja, WP OP non-karyawan mesti membayar dan melaporkan sendiri pajak penghasilannya.
Mereka ini antara lain adalah pekerja lepas atau freelancer, pekerja informal, atau pelaku usaha.
Baca juga: Perpajakan Jumlah Wajib Pajak Meningkat Signifikan, Pemerintah Bakal Luncurkan Core Tax System
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, tingkat kepatuhan pekerja sektor informal ini dalam membayar pajak terus menurun setiap tahun pasca pandemi Covid-19.
Pada tahun 2019, tingkat kepatuhan itu adalah 75,93 persen, turun menjadi 52,44 persen pada 2020, 45,53 persen pada 2021, dan 34,09 persen pada 2022.
Terobosan khusus
Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo mengatakan, target pajak memang digenjot pada 2025. Rasio pajak bahkan ditargetkan menjadi 12,23 persen, naik 2,12 persen poin dibandingkan target 2024. Padahal realisasi rasio pajak sedang dalam tren menurun.
"Selama sekitar 18-19 tahun ini seperti ada kutukan 10 persen dalam rasio pajak kita. Jadi angka 12,23 persen itu memang lonjakan yang tidak tanggung-tanggung. Apakah bisa? Bisa dengan syarat yang ketat," kata Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN.
Menurut Dradjad, negara perlu melakukan terobosan khusus untuk mendongkrak rasio pajak. "Data-data intelejen bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara," kata Dradjad yang pernah bertugas sebagai Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan Badan Intelijen Negara.
Selain itu perlu transformasi kelembagaan dan sumber daya manusia, digitalisasi sistem pendapatan negara, dan optimalisasi pengembalian uang negara dari kasus-kasus pajak yang sudah inkracht.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan, dampak dari kepercayaan publik itu juga akan terasa secara tidak langsung. Ketika stabilitas politik tidak terjaga dan kepercayaan turun, aktivitas ekonomi ikut terganggu.
"Jadi dampaknya belum tentu dirasakan langsung ke pembayaran pajaknya, tetapi dari investasi yang kurang, lalu ekspansi bisnis dan aktivitas ekonomi yang berkurang. Aspek-aspek yang dipengaruhi public trust ini yang kemudian akan menahan penerimaan pajak," kata Riefky.
Pendekatan baru
Laporan Bank Dunia “Innovations in Tax Compliance: Building Trust, Navigating Politics, and Tailoring Reform” pada 2022 turut menyoroti isu ini.
Mengutip kajian itu, pendekatan untuk mengerek penerimaan pajak sudah tidak bisa hanya mengandalkan langkah teknis seperti memperluas basis pajak, mengenalkan jenis pajak baru, atau memperkuat digitalisasi untuk mempermudah pembayaran pajak.
Diperlukan juga kesadaran dan komitmen pemerintah untuk lebih serius menyikapi persepsi rakyat. Bank Dunia merumuskan empat aspek yang perlu diperbaiki pemerintah, yakni keadilan pajak (fairness), kesetaraan pajak (equity), timbal balik (reciprocity), dan akuntabilitas (accountability) pajak.
Semudah apa pun sistemnya atau secerdas apa pun kebijakan reformasi pajak yang diterapkan, tanpa rasa percaya terhadap pemerintah, rakyat akan tetap mencari celah untuk tidak membayar pajak.
Pajak bukan hanya urusan mendanai suatu negara, tetapi mencerminkan bagaimana rakyat menilai pemerintahnya.
Seperti kata laporan itu, pajak bukan hanya urusan mendanai suatu negara, tetapi mencerminkan bagaimana rakyat menilai pemerintahnya. Membayar pajak adalah salah satu interaksi paling konkret antara warga negara dengan pemerintahnya.
Di masa transisi pemerintahan, tantangan kian menantang. Ruang fiskal menyempit, belanja negara membesar, dan target pajak semakin tinggi. Sementara, tidak ada satu pun kebijakan pajak yang populis.
“Di saat-saat seperti ini, pemulihan kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi harga mati yang tak bisa ditawar. Ini beban pekerjaan rumah yang menanti pemerintahan selanjutnya,” kata Fajry.