Subsidi Bunga Turun Rp 9,5 Triliun, Target Penyaluran KUR Naik Rp 13 Triliun
Alih-alih target KUR ditingkatkan, para pelaku UMKM lebih mengharapkan kemudahan prosedur dalam mengakses kredit.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meski subsidi bunga dianggarkan lebih rendah dibanding tahun lalu, target penyaluran kredit usaha rakyat pada 2025 meningkat 4,3 persen menjadi sebesar Rp 313 triliun. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM mengharapkan prosedur pengajuan kredit dipermudah dan dapat menjaring lebih banyak debitor.
Dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah mengalokasikan subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 38,28 triliun. Porsi Subsidi Bunga KUR itu sekaligus merupakan yang terbesar dalam pos Subsidi Bunga Kredit Program yang direncanakan sebesar Rp 44,23 triliun.
Kendati demikian, porsi anggaran subsidi bunga KUR pada RAPBN 2025 lebih rendah Rp 9,5 triliun atau turun 24,82 persen dibandingkan dengan outlook 2024 yang sebesar Rp 47,78 triliun. Dengan outlook tersebut, pemerintah sebelumnya menargetkan penyaluran KUR mencapai Rp 300 triliun pada 2024.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) Yulius mengatakan, anggaran Subsidi Bunga KUR tersebut telah sesuai dengan pagu indikatif Bendahara Umum Negara Tahun Anggaran 2025. Pagu anggaran ditetapkan dengan turut memperhitungkan target penyaluran KUR pada 2025.
”Target Penyaluran KUR pada tahun 2025 sebesar Rp 313 triliun atau meningkat dari target 2024 sebesar Rp 300 triliun. Jadi, sesuai dengan pagu indikatif tersebut, untuk tahun 2025 tidak ada pengurangan target penyaluran KUR,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (26/8/2024).
Berdasarkan Nota Keuangan yang telah disetujui, Subsidi Bunga KUR, antara lain akan disalurkan tematik sesuai kebutuhan sektor produksi yang ditargetkan sebesar 60-65 persen. Selain itu KUR supermikro juga akan dikenai suku bunga sebesar 3 persen, sedangkan KUR jenis lain sebesar 6 persen. Adapun debitor KUR mikro dan kecil yang kembali menerima kredit akan dikenai suku bunga naik berjenjang.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorini menyampaikan, perubahan kebijakan alokasi anggaran dan target penyaluran KUR tidak begitu berpengaruh terhadap para pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebaliknya, para pelaku UMKM berharap akses permodalan melalui KUR bisa lebih mudah.
Meski negara sudah membantu perbankan dalam menyalurkan kredit, di sisi lain UMKM-nya sulit untuk menembus produk KUR karena persyratannya.
Selama ini, kata Hermawati, para pelaku UMKM mengalami kesulitan dalam mengakses kredit dari perbankan. Prosedur administrasi pengajuan KUR yang berlaku, baik melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) maupun penilaian kredit (kredit scoring), dinilai cenderung berpihak pada perbankan, alih-alih kepada para pelaku UMKM.
”Mau diturunkan, mau naik, mau tetap pun, enggak ada korelasinya sama UMKM karena untuk bisa mendapatkan KUR itu juga prosedurnya kan menurut kami masih sulit harus melalui tahapan BI checking, terus terintegrasi dengan sistem informasi kredit program pemerintah. Kalau hanya SLIK saja mungkin oke, tetapi masih ada filter lagi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Oleh sebab itu, pemerintah diminta untuk dapat memperbaiki prosedur dan syarat ketentuan dalam pengajuan KUR. Hal ini mengingat masih terdapat ketidakpastian bagi para pelaku UMKM yang hendak mengajukan KUR.
Hermawati mencontohkan, prosedur pengajuan KUR melalui Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) oleh pelaku UMKM kerap ditolak lantaran mereka telah tercatat sebagai penerima bantuan sosial berupa modal kerja usaha. Sayangnya, pelaku UMKM yang menerima bantuan tersebut tidak mengetahui betul apa yang diterimanya.
”Artinya, di lapangan masih kurang sosialisasi dan transparansi. Harus diperbaiki dan itu sebenarnya mudah karena pemerintah punya datanya. Meski negara sudah membantu perbankan dalam menyalurkan kredit, di sisi lain UMKM-nya sulit untuk menembus produk KUR karena persyaratannya,” tuturnya.
Kondisi tersebut kemudian membuat para pelaku UMKM cenderung lebih memilih pembiayaan alternatif yang memungkinkan proses pencairannya lebih cepat dan minim persyaratan. Model tersebut, antara lain melalui lembaga keuangan berbasis teknologi alias fintechlending.
Di sisi lain, industri perbankan sebagai lembaga keuangan penyalur masih menunggu arah kebijakan pemerintah mendatang terkait penyaluran KUR. Selain itu, inovasi penyaluran KUR terus dikembangkan guna menjaring lebih banyak debitor.
Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk atau BCA, Hera F Haryn, mengatakan, BCA siap mendukung program KUR dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih lanjut, penyaluran KUR diharapkan dapat bertumbuh positif dengan tetap menerapkan manajemen risiko yang disiplin.
”Untuk tahun 2025, kami akan mencermati kebijakan pemerintah, regulator, dan otoritas perbankan terkait KUR. Kami akan terus berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan, dalam rangka menyediakan produk dan layanan terbaik bagi seluruh nasabah dan debitur BCA, termasuk di segmen KUR,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Adapun BCA menargetkan penyaluran KUR sebesar Rp 800 miliar pada 2024 atau naik 11 persen secara tahunan. Per Juli 2024, penyaluran KUR oleh BCA tercatat sebesar Rp 572,1 miliar atau 71,5 persen dari total target tahun ini. Realisasi KUR tersebut tumbuh sebesar 50,6 persen secara tahunan.
Hera menambahkan, BCA akan mengoptimalkan kanal penyaluran digital serta mengoptimalkan rantai pasok, seperti komunitas binaan BCA. Selain itu, pengembangan infrastruktur penyaluran KUR terus dilakukan, antara lain melalui webform pengajuan KUR, pengolahan KUR Tanpa Agunan via platform digital, serta otomasi beberapa laporan dan data untuk internal eksternal.