Berkah Kekalahan Rahwana bagi Sawit Nusantara
Perayaan Diwali di India berpotensi mengungkit ekspor minyak sawit Indonesia di tengah melempemnya permintaan China.
Siapa sangka, kekalahan Rahwana, raksasa berkepala sepuluh, selalu menjadi berkah bagi sawit Nusantara. Bahkan di tahun ini, takluknya sang raja Alengka dari Rama menjadi asa di kala permintaan pasar produk turunan sawit melemah.
Perang Rahwana dan Rama dikisahkan dalam sastra Hindu, Ramayana. Perang epik itu terjadi lantaran raksasa pemilik Chandrahasa atau pedang bulan pemberian Dewa Siwa menculik Sita, istri Rama. Kekalahan sang Dasamukha itu menjadi simbol kemenangan kebaikan (dharma) atas keburukan (adharma).
Kisah itu menjadi salah satu latar Perayaan Diwali atau dalam bahasa Sansekerta dikenal sebagai Deepavali yang berarti barisan cahaya. Selain kemenangan Rama atas Rahwana, perayaan itu juga terkait kisah lain. Beberapa di antaranya adalah Raja Pithu membebaskan rakyatnya dari kelaparan, Dewa Krisna yang membunuh raksasa bernama Narakasura, dan Dewi Laksmi sang pembawa kesejahteraan.
Perayaan Diwali yang kerap disebut pula sebagai Festival Cahaya ditandai dengan penyalaan diya atau lampu minyak trandisional India, lilin minyak, lampion, bahkan kembang api. Cahaya itu tidak hanya menjadi simbol kemenangan atas kegelapan, tetapi juga pengetahuan atas kebodohan, kebaikan atas kejahatan, dan juga harapan atas keputusasaan.
Perayaan yang juga dimaknai sebagai hidup baru itu juga syarat dengan dekorasi warna cerah, termasuk beras dan tepung warna-warni. Tahun ini, India akan menggelar Festival Cahaya tersebut pada 29 Oktober hingga 3 November.
Lihat juga: Galeri Foto: Pesta Cahaya di Perayaan Diwali India
Festival tahunan yang dirayakan sekitar 79 persen penduduk India itu selalu menjadi berkah bagi para pelaku industri sawit Indonesia. Menjelang perayaan tersebut, permintaan minyak sayur atau goreng di India selalu meningkat. Sama halnya dengan Ramadhan-Lebaran di Indonesia atau perayaan Tahun Baru China di China.
Tidak mengherankan jika Menteri Perdagangan RI Zulkifli Hasan selalu mendorong ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunan ke India menjelang perayaan Diwali. ”Biasanya, permintaan komoditas tersebut melonjak menjelang perayaan Diwali. Para eksportir CPO Indonesia perlu bersiap menangkap peluang lonjakan permintaan India tersebut,” ujarnya (Kompas, 23/8/2022).
Baca juga: Kemendag Bidik Diwali India, BUMN Perkuat Pasar Ekspor Korsel
Selama ini, India dan China merupakan negara tujuan ekspor terbesar CPO dan produk turunan Indonesia. Kedua negara itu selalu bergantian menempati peringkat ke-1 dan ke-2 sebagai negara tujuan ekspor produk turunan sawit.
Pada 2022 dan 2023, India menempati peringkat ke-1 dan ke-2 sebagai negara tujuan ekspor produk turunan sawit Indonesia. Volume ekspor komoditas-komoditas itu ke India sebesar 5,32 juta ton pada 2022 dan 4,52 juta ton pada 2023. Adapun China, pada 2022 dan 2023, berada di peringkat ke-2 dan ke-1 dengan volume ekspor masing-masing 4,54 juta ton dan 4,67 juta ton.
Selama ini, India dan China merupakan negara tujuan ekspor terbesar CPO dan produk turunan Indonesia.
Potensi berbalut tantangan
Tahun ini, perayaan Diwali di India juga berpotensi menjadi ”cahaya” bagi kinerja ekspor produk turunan sawit Indonesia. Asa itu muncul di tengah lesunya pasar China. Namun, peluang itu penuh tantangan mengingat harga minyak nabati lain cukup kompetitif sehingga diminati India dan China.
Sejumlah kalangan dan lembaga riset menyebutkan, negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia telah menyubstitusi sebagian minyak sawit dengan minyak kedelai, biji bunga matahari, dan rapessed. Hal itu terjadi lantaran harga minyak nabati selain CPO itu turun drastis.
Statista memperkirakan, pada tahun pemasaran 2023/2024 yang berakhir September 2024, volume impor minyak sawit China sebanyak 5,9 juta ton. Jumlah tersebut turun dibandingkan dengan volume impor periode pemasaran 2022/2023 yang berakhir pada September 2023, yakni sebesar 6,19 juta ton.
Asosiasi Industri Ekstrasi Pelarut (Solvent Extractors Association/SEA) India melaporkan, pada Juli 2024, impor berbagai jenis minyak nabati India melonjak 22,2 persen secara bulanan menjadi 1,9 juta ton. Namun, lonjakan itu dibarengi dengan peningkatan impor minyak sawit meningkat 37 persen menjadi 1,1 juta ton dan minyak kedelai naik 42 persen menjadi 391.791 ton.
Impor minyak sawit itu berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Adapun impor minyak kedelai berasal dari Argentina dan Brasil. Lonjakan impor minyak nabati India itu dipicu peningkatan permintaan domestik menjelang berbagai perayaan keagamaan, termasuk Diwali.
Baca juga: Stok Berlimpah, India Pangkas Impor CPO
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, Minggu (24/8/2024), permintaan CPO dan produk turunan bergantung kondisi pasar tujuan ekspor utama. Tak hanya itu, pembentukan harga berbagai minyak nabati juga bakal memengaruhi permintaan.
”China dan India sudah menyubstitusi sebagian minyak sawit ke minyak nabati lain. Namun, tetap ada prospek positif ekspor minyak sawit RI ke India menjelang perayaan Diwali,” katanya.
Peluang pasar tersebut, lanjut Eddy, perlu dibidik. Hal itu mengingat hak ekspor produk turunan sawit RI hasil insentif pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) minyak goreng rakyat masih menumpuk sebanyak 3,56 juta ton.
Baca juga: Hak Ekspor Produk Turunan Sawit Berpotensi Menumpuk Lagi
Hingga akhir tahun ini, harga berbagai macam minyak nabati itu diperkirakan masih bergejolak. Harga-harga tersebut tengah mengalami normalisasi dan diperkirakan baru membaik pada 2025.
Wakil Ketua Riset Industri dan Regional Bank Mandiri Dendi Ramdani menuturkan, pada Juli 2024, harga CPO global naik 1,8 persen secara bulanan. Sementara harga harga minyak kedelai dan rapessed global turun masing-masing 31,8 persen dan 12,3 persen.
Kondisi itu berbeda dengan minyak biji bunga matahari. Harga minyak tersebut yang sempat turun 27,2 persen pada awal tahun ini mulai naik 11,8 persen di Juli 2024.
”Hingga akhir tahun ini, harga berbagai macam minyak nabati itu diperkirakan masih bergejolak. Harga-harga tersebut tengah mengalami normalisasi dan diperkirakan baru membaik pada 2025,” katanya.
Perbaikan harga berbagai minyak nabati itu, lanjut Dendi, akan didorong penurunan suku bunga global yang diharapkan terjadi pada akhir tahun ini. Dengan begitu, setiap negara dapat mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan stabilisasi ekonomi sehingga permintaan akan mulai membaik.
Tantangan peningkatan ekspor produk turunan sawit juga muncul dari Malaysia. Sejak Uni Eropa menerbitkan Undang-undang Produk Bebas Deforestasi, Malaysia juga agresif memperkuat pasar ekspor produk turunan sawit ke India.
Selain mengincar potensi permintaan minyak sawit menjelang Perayaan Diwali, Malaysia juga memperkuat kerja sama pengembangan sawit dengan India. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyatakan, Malaysia akan mendukung penelitian dan pengembangan produksi sawit di India (New Straits Times, 22/8/2024).
Bahkan, Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia Zafrul Abdul Aziz menyebutkan, Emami Agrotech Ltd siap meningkatkan impor minyak sawit dari Malaysia. Abdul Aziz mengungkap hal itu setelah bertemu dengan perwakilan perusahaan pemain utama minyak goreng dan makanan asal India tersebut (Bernama, 22/8/2024).
Di tengah peluang berbalut tantangan itu, akankah kekalahan Rahwana bakal menjadi berkat bagi kinerja ekspor sawit Indonesia? Malaysia sudah bergerak. Indonesia?
Baca juga: ”Lomba” Ketahanan Pangan Negara-negara Pengimpor Pangan