RAPBN 2025, Subsidi Bunga KUR Turun 24,82 Persen
Dari total subsidi bunga kredit program Rp 44,23 triliun, subsidi bunga KUR mencapai Rp 38,28 triliun.
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi anggaran subsidi bunga kredit program yang disiapkan untuk pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka lebih rendah dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya. Hal ini mengindikasikan pemerintah akan mengurangi porsi subsidi yang disalurkan melalui sektor keuangan, khususnya perbankan. Di sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan adanya realokasi anggaran.
Sebagaimana tercantum dalam Dokumen Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, anggaran subsidi bunga kredit program direncanakan sebesar Rp 44,23 triliun. Adapun realisasi subsidi bunga kredit program selama periode 2020-2023 meningkat sebesar 14,7 persen per tahun, dari Rp 31,08 triliun pada 2020 menjadi Rp 46,86 triliun pada 2023.
Meningkatnya alokasi anggaran tersebut dipengaruhi oleh kenaikan anggaran subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) untuk mendukung peningkatan. Selain itu, terdapat tambahan jenis subsidi baru, seperti subsidi bunga pinjaman daerah, subsidi bunga pinjaman penyelenggaraan cadangan pangan pemerintah (CPP), serta subsidi bunga atau subsidi margin kredit usaha alat dan mesin pertanian (alsintan).
Baca juga: Jokowi Alokasikan Rp 632 Triliun di RAPBN 2025 untuk Politik Anggaran Prabowo
Namun, dalam RAPBN 2025, anggaran subsidi bunga kredit program turun 21,39 persen dibandingkan penganggaran tahun sebelumnya yang sebesar Rp 53,77 triliun. Alokasi anggaran tersebut, antara lain, untuk subsidi bunga KUR bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), petani, dan nelayan, serta untuk subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohamad Faisal berpendapat, struktur RAPBN 2025 masih belum bisa dipastikan mengingat terdapat peningkatan belanja lain-lain hingga dua kali lipat. Artinya, terbuka ruang bagi alokasi dana untuk hal-hal yang dianggap penting bagi pemerintahan yang akan datang.
”Berbicara soal subsidi, sepertinya lebih difokuskan kepada subsidi yang bukan melalui mekanisme perbankan atau bukan di sektor keuangan, karena subsidi nonenergi tidak sejalan dengan subsidi melalui perbankan, seperti KUR dan perumahan yang dikurangi. Sebaliknya, subsidi nonenergi meningkat dibandingkan dengan outlook 2024,” kata Faisal, Sabtu (24/8/2024).
Dalam RAPBN 2025, anggaran belanja subsidi dan kompensasi mencapai Rp 525,6 triliun, terdiri dari subsidi energi dan kompensasi sebesar Rp 394,3 triliun dan subsidi nonenergi sebesar Rp 131,3 triliun. Kenaikan cukup tinggi terjadi pada subsidi nonenergi sebesar 35,5 persen dibandingkan outlook 2024, terutama untuk ketahanan pangan yang salah satunya berasal dari alokasi pupuk subsidi hingga 9 juta ton.
Menurut Faisal, kondisi tersebut mengindikasikan pemerintah masih mempertahankan kebijakan terkait bantuan sosial atau belanja kesejahteraan sosial. Hanya saja, subsidi melalui mekanisme perbankan, seperti KUR dan kredit perumahan, dikurangi.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, RAPBN 2025 merupakan alokasi anggaran yang disiapkan pemerintahan sebelumnya untuk pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan keterbatasan fiskal yang ada, mau tidak mau harus dilakukan realokasi agar program-program janji kampanye Prabowo-Gibran dapat dilaksanakan.
”Ini salah satu bentuk realokasinya. Subsidi bunga kredit dikurangi sebagai konsekuensi karena mereka (Prabowo-Gibran) sendiri sudah mengatakan tidak berani mengurangi anggaran yang sifatnya bantuan sosial sehingga yang subsidi bunga yang bisa dikurangi. Apalagi, ini bukan bagian dari janji mereka,” tuturnya.
Piter menilai, upaya untuk mendorong UMKM tidak hanya melalui mekanisme subsidi bunga KUR yang selama ini tidak berjalan efektif. Pemerintah masih memiliki program lain yang dapat membantu UMKM, salah satunya melalui program Makan Bergizi Gratis.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah masih tetap akan mengalokasikan subsidi nonenergi, khususnya bagi MBR, terkait pembelian rumah dalam rangka mengakselerasi program 1 juta rumah. Selain itu, subsidi bunga KUR juga terus disediakan, baik bagi UMKM, petani, maupun nelayan.
”Kita juga masih menggunakan insentif pajak yang ditanggung pemerintah untuk sektor-sektor pilihan. Kalau kemarin perumahan dan otomotif, itu nanti presiden terpilih bisa menetapkan sektor mana yang akan jadi sektor perhatian,” katanya dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 yang diselenggarakan secara hibrida, di Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Baca juga: Anggaran Subsidi dan Kompensasi Energi pada 2025 Membengkak
KUR dan kredit perumahan
Dari total anggaran Rp 44,23 triliun, anggaran terbesar berasal dari subsidi bunga KUR sebesar Rp 38,28 triliun. Porsi anggaran subsidi bunga KUR tersebut lebih rendah Rp 9,5 triliun atau turun 24,82 persen dibandingkan dengan outlook 2024 yang sebesar Rp 47,78 triliun.
Subsidi bunga KUR nantinya akan disalurkan melalui mekanisme KUR mikro kepada petani tanaman pangan dengan luas lahan olahan di bawah 2 hektar, serta KUR penempatan pekerja migran Indonesia (PMI). KUR juga disalurkan tematik sesuai kebutuhan sektor produksi yang ditargetkan sebesar 60-65 persen.
Selain itu, KUR bagi UMKM, petani, dan nelayan supermikro dikenakan suku bunga sebesar 3 persen, sedangkan KUR jenis lain sebesar 6 persen. Bagi debitor KUR mikro dan kecil yang kembali menerima kredit akan dikenai suku bunga naik berjenjang. Adapun target debitor baru dan debitor naik kelas juga ditingkatkan guna mengakomodasi UMKM yang belum menerima program KUR.
Selanjutnya, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk subsidi bunga kredit (SBK) perumahan sebesar Rp 4,51 triliun dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) perumahan sebesar Rp 978 miliar. Pada penganggaran tahun sebelumnya, anggaran SBK perumahan sebesar Rp 4,6 triliun dan SBUM perumahan sebesar Rp 895 miliar.
Dampaknya terhadap sektor keuangan tidak terlalu besar, tetapi lebih ke sektor riilnya, terutama karena kredit perumahan dan KUR dipakai untuk usaha.
Alokasi anggaran SBK perumahan tersebut, antara lain, digunakan untuk pembayaran kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi atas akad kredit yang telah diterbitkan pada tahun-tahun sebelumnya (2015-2020). Di sisi lain, penyaluran SBUM tetap menjadi komplemen KPR dari fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi MBR yang diberikan sebesar Rp 4 juta untuk wilayah non-Papua dan Rp 10 juta untuk wilayah Papua.
Faisal menambahkan, pemerintahan selanjutnya pada tahun pertama akan mengurangi porsi anggaran subsidi dengan mekanisme penyaluran melalui sektor keuangan. Namun, berkurangnya alokasi anggaran subsidi bunga kredit tersebut tidak berdampak signifikan terhadap sektor keuangan, tetapi berdampak kepada sektor riil.
”Dampaknya terhadap sektor keuangan tidak terlalu besar, tetapi lebih ke sektor riilnya, terutama karena kredit perumahan dan KUR dipakai untuk usaha. Berarti, relatif dari penyebaran dan transmisinya ke sektor riil itu berkurang, terutama kalau dilihat dari penyalurannya untuk kalangan menengah ke bawah,” tuturnya.
Senada, Piter menuturkan, selama ini, penyaluran KUR cenderung tidak tepat sasaran lantaran menyasar kepada kelompok UMKM yang sebenarnya memiliki kapasitas sebagai debitor kredit komersial. Di sisi lain, berkurangnya alokasi subsidi bunga KUR tidak menimbulkan dampak negatif terhadap UMKM mengingat bantuan masih bisa diberikan melalui mekanisme lain.
Sebaliknya, Piter justru menyayangkan atas berkurangnya alokasi anggaran subsidi bunga perumahan. Sebab, program tersebut sangat dibutuhkan masyarakat, terutama kelas menengah-bawah, di tengah harga properti yang terus menjulang tinggi.
”Bagi bank, sebenarnya tidak masalah, karena penyaluran KUR hanya dinikmati oleh bank-bank besar dan mereka yang tidak menyalurkan KUR tentu tidak akan terpengaruh. Bagi mereka yang menyalurkan KUR, kenikmatannya akan berkurang, tetapi tidak signifikan terhadap keuntungan,” ujar Piter.
Baca juga: Kemenkop UKM Kaji Dampak Ekonomi Penyaluran KUR
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, realisasi penyaluran KUR atas 41 bank penyalur KUR sejak awal tahun hingga 31 Mei 2024 telah mencapai Rp 116,94 triliun kepada 1,99 juta debitor. Penyaluran KUR tersebut meningkat atau meningkat 45,72 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 80,25 triliun.
Adapun OJK bersama pemerintah terus melakukan evaluasi secara berkala, baik dari sisi kompetensi maupun kondisi bank penyalur. Hal ini memungkinkan adanya penyesuaian, alokasi, serta penghentian penyaluran mengingat implementasi program tidak hanya berfokus pada peningkatan penyaluran, tetapi juga terhadap efektivitas penyaluran KUR.