ILO: 2 dari 3 Orang Muda Waswas Kehilangan Pekerjaan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 5 persen, tetapi tingkat penganggurannya tergolong tertinggi se-ASEAN.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 64 persen kaum muda berusia 15–29 tahun secara global merasa khawatir bakal kehilangan pekerjaan. Diduga, penyebabnya ialah kesempatan mengakses lapangan pekerjaan akhir-akhir dianggap semakin tidak memadai.
Demikian salah satu temuan dalam Laporan International Labour Organization (ILO) bertajuk ”Global Employment Trends for Youth 2024”. Dalam laporan yang dirilis secara global pada 12 Agustus 2024 itu, ILO menyebutkan, banyak kaum muda merasa tertekan.
Mereka khawatir tentang kehilangan pekerjaan dan stabilitas pekerjaan, keadaan ekonomi, kurangnya mobilitas sosial lintas generasi, dan prospek mencapai kemandirian finansial pada masa tua.
Sebanyak 64 persen kaum muda atau 2 dari 3 orang kaum muda berusia 15–29 tahun di tingkat global mencemaskan kehilangan pekerjaan. Kawasan dengan persentase tertinggi kaum muda yang merasa sangat cemas tentang stabilitas pekerjaan selama enam bulan ke depan adalah Afrika (35 persen).
Menyusul berikutnya adalah negara-negara Timur Tengah (31 persen), Amerika (25 persen), Asia Pasifik (23 persen), serta Eropa dan Asia Tengah (18 persen).
Daerah konlfik
Laporan itu juga menyebutkan, jumlah konflik yang terjadi di seluruh dunia tumbuh berlipat ganda sejak 2010. Dunia saat ini merupakan tempat yang lebih banyak dilanda konflik. Situasi ini berpengaruh langsung ataupun tidak langsung terhadap pribadi angkatan kerja muda.
Menurut estimasi ILO, persentase anak muda yang berjuang untuk memulai tahun-tahun produktif utama mereka di daerah konflik telah meningkat dari 2,9 persen menjadi 4,6 persen dalam dua dekade sejak 2002. Kurangnya prospek pekerjaan di daerah konflik dapat mendorong kaum muda bermigrasi atau mendorong mereka ke arah ekstremisme.
ILO memperkirakan, tingkat pengangguran di negara-negara Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara serta Pasifik diperkirakan akan tetap berada di atas tingkat sebelum krisis pandemi Covid-19 dalam dua tahun mendatang.
ILO, dalam laporan yang sama, memperkirakan, tingkat pengangguran di negara-negara Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara serta Pasifik diperkirakan akan tetap berada di atas tingkat sebelum krisis pandemi Covid-19 dalam dua tahun mendatang. Sementara tingkat pengangguran kaum muda yang secara historis rendah di Amerika bagian utara dan di Eropa bagian utara, selatan, dan barat diperkirakan akan merangkak naik lagi.
Program Officer ILO Indonesia dan Timor Leste, Dina Novita Sari, Jumat (23/8/2024), di Jakarta, mengatakan, isu ketenagakerjaan di Indonesia saat ini tidak hanya menyangkut jumlah lowongan pekerjaan, tetapi juga kerja layak. Sebab, porsi tenaga kerja sektor informal cenderung lebih besar dibandingkan dengan formal sehingga menimbulkan persoalan perlindungan jaminan sosial dan pekerja.
Pendidikan dan pelatihan keterampilan yang berkualitas semakin susah diakses kaum muda Indonesia. Hal ini bisa berdampak pada kesenjangan antara kualitas tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja yang semakin mensyaratkan pendidikan dan keterampilan tinggi.
Isu lainnya, kalangan anak muda yang sudah bekerja merasa satu sumber pendapatan cenderung tidak lagi cukup seiring naiknya biaya hidup sehari-hari.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan, tingkat penggangguran di Indonesia saat ini tergolong paling tinggi se-ASEAN. Padahal, setiap tahun Indonesia masih membukukan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dan termasuk paling tinggi di ASEAN. Ini ironis. Pertumbuhan ekonomi berarti kurang berkualitas karena penyerapan tenaga kerja yang semakin rendah.
”Anggaran pendidikan yang 20 persen dari APBN tidak terpenuhi, malah dicampur dengan anggaran lain, termasuk dana desa. Anggaran pelatihan juga minim karena kurang dari Rp 1 triliun dan ditambah lagi program Kartu Prakerja yang kurang efektif. Kami menilai, kebijakan anggaran kelihatan tidak ada prioritas ke sektor ketenagakerjaan,” ujarnya.
Bob juga memandang, kebijakan investasi belum ada prioritas untuk mendorong sektor manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja. Angkatan kerja muda masih terselamatkan dengan lapangan kerja informal, tetapi ada isu upah layak.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menjelaskan, sektor industri padat karya masih mengalami tekanan sehingga berpengaruh ke lowongan kerja baru ataupun efisiensi pekerja. Serapan tenaga kerja di sektor komoditas, seperti perkebunan dan pertambangan, masih menantang karena permintaan ekspor masih rendah.
”Kebijakan perpajakan, seperti rencana naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen memengaruhi ekspektasi pelaku usaha, baik ritel, jasa pariwisata, maupun industri, sehingga berdampak ke pembukaan lapangan kerja,” ucap Bhima.