”Sihir” Nilam Petani Aceh Mewangi hingga Menara Eiffel
Jika ada wangi parfum semerbak di Menara Eiffel di Paris, barangkali ada kisah tangan petani nilam Aceh di baliknya.
Saban hari, semprotan minyak wangi atau parfum kiranya hampir tak bisa dilepaskan dari aktivitas kita. Aroma wangi yang menempel di sudut-sudut pakaian dan area tengkuk leher tak jarang mampu meningkatkan kepercayaan diri, bahkan dapat memengaruhi suasana hati seseorang.
Berdasarkan data Statista, pendapatan segmen fragrances alias wewangian dari produk kecantikan dan perawatan pribadi (personal care) di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat selama 2023-2028 dengan pertumbuhan sebesar 14,36 persen. Pada 2023, pendapatan senilai 429,69 juta dollar AS. Pada 2028, pendapatan diproyeksikan mencapai 491,36 juta dollar AS.
Baca juga: Semerbak Bisnis Wewangian
Laporan bertajuk ”Behavior in Purchasing Categories” yang dirilis PT Sociolla Ritel Indonesia, perusahaan kosmetik yang menjual produk secara daring dan luring, menunjukkan, generasi Z menjadi konsumen kategori produk kecantikan terbesar dengan pangsa mencapai 54 persen, disusul generasi Milenial dengan pangsa sebanyak 41 persen.
Generasi Milenial merupakan penduduk dengan rentang usia 30-44 tahun pada 2024. Generasi Z merupakan penduduk berusia 14-29 tahun pada 2024.
Generasi Z menjadi konsumen kategori produk kecantikan terbesar dengan pangsa mencapai 54 persen, disusul generasi Milenial dengan pangsa sebanyak 41 persen.
Kendati porsi pengeluaran terhadap produk kecantikan masih lebih rendah dibandingkan generasi di atasnya, generasi Z menjadi motor utama penggerak pertumbuhan berbagai produk kecantikan. Salah satu produk itu adalah parfum (eau de parfum). Pertumbuhan konsumsi parfum oleh generasi Z tercatat 304 persen secara tahunan. Sementara generasi milenial sebesar 160 persen.
Parfum memang sudah menjadi kebutuhan keseharian masyarakat, termasuk generasi muda urban. Namun, tak banyak yang tahu, ada rantai pasok global melibatkan banyak pihak dalam proses produksi parfum. Dalam konteks Indonesia, ini misalnya dimulai dari petani nilam di Aceh.
Di balik aneka wewangian, patchouli atau minyak nilam merupakan salah satu unsur dalam produksinya. Minyak nilam digunakan sebagai bahan fiksatif alias untuk membuat aroma parfum bertahan lama. Adapun minyak tersebut dihasilkan melalui serangkaian proses panjang, dimulai dari tahapan destilasi.
Minyak nilam merupakan jenis minyak atsiri (essential oil). Selain sebagai salah satu bahan baku parfum, minyak atsiri digunakan juga sebagai bahan perasa (essence), perisa (flavor), dan wewangian (fragrance) dalam makanan, minuman, jamu, sabun, pasta gigi, dan kosmetik.
Namun, tak banyak yang tahu, ada rantai pasok global melibatkan banyak pihak dalam proses produksi parfum.
Bagaimana cerita para petani nilam di Aceh dalam rantai produksi parfum global? Cerita ini dimulai dari Ali Ibrahim (66), salah seorang petani nilam pada pertengahan Agustus 2024. Saat itu, ia tengah menata bongkahan kayu di dalam tungku api. Di atas tungku itu, terdapat sebuah ketel berisi rebusan dedaunan nilam.
Untuk bisa menghasilkan minyak atsiri dari proses destilasi tersebut, dibutuhkan waktu kira-kira 8-12 jam. ”Harus tunggu kira-kira satu jam dulu, baru keluar nanti minyaknya,” katanya saat ditemui di Sentra Industri Nilam, Desa Umong Siribee, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, Selasa (13/8/2024).
Harga jual minyak nilam kini telah mencapai Rp 1,68 juta per kg. Meski begitu, dibutuhkan waktu hingga tujuh bulan agar tanaman nilam benar-benar siap untuk dipanen.
Satu-satunya ketel di Sentra Industri Nilam itu rata-rata mampu menghasilkan hingga 1,5 kilogram (kg) minyak nilam. Dengan kapasitas dua kali pengoperasian dalam sehari, total produksi minyak nilam di Sentra Industri Nilam tersebut mencapai 3 kg.
Saat ini, para petani di wilayah itu sedang antusias menanam nilam. Sebab, harga jual minyak nilam kini telah mencapai Rp 1,68 juta per kg. Meski begitu, dibutuhkan waktu hingga tujuh bulan agar tanaman nilam benar-benar siap untuk dipanen.
Sebelumnya, pergerakan harga minyak nilam hasil produksi para petani bergantung kepada tangan-tangan para tengkulak. Satu kilogram minyak nilam sempat dihargai Rp 400.000 sehingga para petani bersikap mana suka dalam menanam nilam.
Kemudian, Atsiri Research Center (ARC)/Pusat Penelitian Nilam Universitas Syiah Kuala bersama PT Bank Syariah Indonesia Tbk datang untuk menginisiasi Sentra Industri Nilam pada 2022. Seluruh minyak nilam yang dihasilkan para petani dibeli ARC dengan ambang batas minimal Rp 700.000 dan mengikuti kenaikan harga di pasar. Alhasil, harga minyak nilam pun stabil dan cenderung terus naik.
”Lumayan jadinya. Kemarin, anak terakhir kebetulan mau masuk kuliah. Langsung potong nilam di kebun, lalu dibawa ke sini untuk disuling. Hasilnya buat biaya kuliah anak,” kata Ali, ayah dengan empat anak sekaligus kakek dari enam cucu itu.
Baca juga: Semerbak Wangi Parfum dari Transformasi Nilam Aceh
Pendamping Sentra Industri Nilam, Rifyal Faruqi (33), menyebut, 100 petani yang ia dampingi sebelumnya tidak memiliki kesadaran untuk merawat tanaman. Perlahan, mereka mulai diajari untuk bercocok tanam dengan membuat gundukan tanah alias bedeng, dan memberi pupuk kompos.
Para petani juga dibekali pengetahuan mengenai pembentukan harga pokok produksi (HPP). Berdasarkan hasil perhitungan, biaya yang dikeluarkan oleh para petani untuk menghasilkan minyak esensial Rp 550.000.
”Dampak yang paling besar itu soal stabilitas harga karena petani dengan harga Rp 700.000 saja sudah dapat keuntungan Rp 150.000-Rp 200.000 per kg minyak. Saat awal penanaman, mereka mengeluarkan biaya sebesar Rp 550.000. Artinya, dengan harga sekarang Rp 1,68 juta-Rp 1,7 juta, sudah tiga kali lipat,” ujarnya.
Ekspor nilam
Produk nilam hasil olahan para petani berupa minyak nilam mentah (crude patchouli) telah melanglang buana ke penjuru dunia. Dalam tiga tahun terakhir, ekspor minyak nilam mentah Indonesia meningkat hingga 6 kali lipat.
Pada 2021, ekspor nilam tercatat baru mencapai 300 ton. Setahun kemudian, ekspor melonjak menjadi 1.400 ton. Dan pada 2023, ekspornya lagi-lagi tumbuh menjadi 1.900 ton. Negara tujuan ekspor antara lain Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.
Semua minyak nilam rakyat terserap oleh pasar. Bahkan, persediaan tidak mencukupi, sehingga perluasan lahan dan peningkatan produksi nilam rakyat harus menjadi prioritas.
Menurut Lektor Kepala di Program Studi Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Syaifullah Muhammad, minyak nilam Indonesia, khususnya Aceh, memiliki kualitas terbaik di dunia. Adapun Indonesia memasok 90 persen dari total kebutuhan minyak nilam di dunia.
Saat ini, permintaan minyak nilam meningkat 300 persen. Lonjakan permintaan tersebut pada gilirannya mengakibatkan harga minyak nilam mentah turut meroket hingga berkisar Rp 1,6 juta sampai Rp 1,7 juta per kg.
”Semua minyak nilam rakyat terserap oleh pasar. Bahkan, persediaan tidak mencukupi sehingga perluasan lahan dan peningkatan produksi nilam rakyat harus menjadi prioritas,” ujar Syaifullah saat dihubungi dari Jakarta.
Namun, tingginya harga tersebut perlu disikapi secara hati-hati. Sebab, ketika harga tiba-tiba anjlok, industri produk turunan di dalam negeri harus bersiap menampung minyak nilam rakyat dengan harga yang tetap wajar.
Harga minyak nilam yang sebelumnya bertahan di atas Rp 500.000 per kg selama lima tahun terakhir akhirnya mampu menembus Rp 1 juta per kg dalam tujuh bulan terakhir. Syaifullah berharap harga tersebut mampu bertahan stabil sehingga seluruh pihak, mulai dari petani, penyuling, pengumpul, eksportir, hingga reseller internasional, mendapatkan margin yang adil.
Baca juga: Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Ekspor Nilam Rp 2,5 Miliar ke Perancis
Tidak semua minyak nilam diperdagangkan secara mentah ke mancanegara. Di tangan ARC, minyak tersebut diolah dengan teknologi molecular distillation dan fractionation hingga menghasilkan minyak nilam berkualitas tinggi (hi-grade patchouli) dengan kadar Patchouli Alkohol 40-80 persen.
Syaifullah, yang juga Ketua ARC Aceh, menjelaskan, hi-grade patchouli menjadi bahan baku untuk pengembangan produk turunan. Produk-produk tersebut antara lain parfum, serum antiaging, moisturizer, toner, facial foam, body serum, body butter, medicated oil, sabun, hand sanitizer, serta desinfektan.
ARC dibentuk pada 2016 sebagai lembaga riset dengan tujuan meningkatkan kualitas minyak nilam Aceh sekaligus membentuk ekosistem produksinya dari hulu hingga hilir. Selain menghasilkan lebih dari 30 produk turunan minyak nilam, ARC turut menyerap seluruh hasil produksi para petani nilam dan menjualnya ke pasar domestik maupun mancanegara.
Hampir seluruh produk turunan minyak nilam juga beredar di pasar domestik seiring dengan tumbuhnya permintaan pasar dalam negeri. Misalnya, produk turunan nilam produksi Koperasi Inovasi Nilam Aceh (Inovac) yang telah berkembang menjadi sekitar 30 jenis produk dijual di USK Store Banda Aceh dan USK Store Sabang.
Hal ini membuat produk kosmetik dan personal care impor masih mendominasi dan membanjiri pasar dalam negeri sehingga produk buatan dalam negeri pasarnya semakin terimpit.
”Penjualan juga dilakukan melalui platform daring, seperti Shopee, Instagram, dan Tiktok. Masyarakat sangat antusias menggunakan produk lokal hasil riset ARC USK, terbukti dengan omzet penjualan mencapai ratusan juta tiap periodenya,” tuturnya.
Pada 2023, penjualan produk turunan nilam Koperasi Inovac sempat menembus Rp 700 juta dalam sebulan. Dari berbagai produk turunan itu, parfum dengan jenama Neelam paling laku di pasar dengan porsi mencapai 40 persen dari total penjualan. Produk tersebut dijual dengan harga Rp 150.000 per satu botol ukuran 30 mililiter.
Potensi ekonomi
Saat ini, kata Syaifullah, ARC terus berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam riset di bidang kosmetik, salah satunya inovasi produk kecantikan (skincare) dengan Fraunhofer Jerman. Sebelumnya, ARC bersama PT Focustindo Cemerlang Bogor juga telah menghasilkan produk serum antiaging.
Di tengah pesatnya perkembangan produk nilam tersebut, ia berharap pemerintah dapat memfasilitasi peningkatan produksi minyak nilam di level masyarakat melalui modernisasi sistem budidaya dan penyulingan yang berkelanjutan. Ia juga berharap pemerintah dapat meningkatkan kapasitas pengembangan produk turunan minyak nilam di dalam negeri.
Produk impor serupa tidak diwajibkan memiliki izin edar BPOM akibat adanya mutual recognition agreement (MRA) pada free trade agreement (FTA).
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menjelaskan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi industri minyak atsiri dalam negeri. Tantangan itu, antara lain perbedaan perlakuan antara produk kosmetik buatan dalam negeri dan produk impor.
Dalam hal ini, produk kosmetik dan perawatan diri berbasis hilir minyak atsiri buatan dalam negeri harus memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sementara, produk impor serupa tidak diwajibkan memiliki izin edar BPOM akibat adanya mutual recognition agreement (MRA) pada free trade agreement (FTA).
”Hal ini membuat produk kosmetik dan personal care impor masih mendominasi dan membanjiri pasar dalam negeri sehingga produk buatan dalam negeri pasarnya semakin terimpit,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/8/2024).
Oleh sebab itu, pemerintah membuat kebijakan, yakni memberikan perlakuan yang sama antara produk kosmetik berbasis minyak atrisi buatan dalam negeri dan impor melalui koordinasi kementerian/lembaga terkait. Lalu, dilakukan pula penguatan promosi produk hilir atsiri buatan dalam negeri dengan menyasar kalangan milenial dan mempermudah akses pendaftaran produk jadi atsiri.
Selain persoalan izin, tantangan lain yang dihadapi adalah adanya ketimpangan impor dan ekspor bahan baku produk. Impor produk jadi minyak atsiri, turpentine, dan gambir lebih besar dibandingkan ekspornya karena industri pengolahan dalam negeri kurang berkembang.
Baca juga: Mengembalikan Kejayaan Nilam Ace
Putu menambahkan, hilir industri produk tersebut kebanyakan berada di luar negeri, salah satunya Singapura. Alhasil, ekspor bahan baku meningkat lantaran iklim industri hilir dalam negeri kurang berkembang sehingga neraca ekspor-impor menjadi timpang. Bahkan, pada 2012, impor produk jadi tersebut mencapai 4 kali lipat dari ekspor.
”Oleh sebab itu, pemerintah mulai membuat roadmap hilirisasi, kebijakan fiskal membatasi ekspor bahan baku terkait untuk mendukung hilirisasi industri dalam negeri, serta promosi investasi perusahaan hilir atsiri dengan harapan mereka tertarik memindahkan pabriknya ke Indonesia agar lebih dekat dengan akses bahan baku,” ujarnya.
Bentuk dukungan pemerintah lainnya adalah dengan menjadikan industri atsiri sebagai sektor prioritas nasional. Dalam hal ini, pemerintah turut memberikan insentif pajak (tax allowance) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.
Minyak nilam adalah salah satu potensi ekonomi Indonesia. Indonesia memasok 80-90 persen minyak nilam di pasar dunia. Perancis sebagai ibu kota parfum dunia jadi salah satu tujuannya.
Jika suatu hari Anda berkesempatan jalan-jalan sampai ke Menara Eiffel di Paris dan mencium wangi parfum di antara wisatawan di sana, barangkali ada minyak nilam asal Aceh di rantai produksinya. Bukan tidak mungkin ”sihir” nilam petani Aceh mewangi hingga Menara Eiffel.