Transisi Jokowi ke Prabowo, APBN Semakin Disesaki Utang
Hampir seperempat dari belanja pemerintah pusat di APBN akan terpakai untuk mencicil bunga utang.
JAKARTA, KOMPAS — Beban utang pemerintah semakin mengkhawatirkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah menanggung utang jumbo di era kepemimpinan Joko Widodo dan berpotensi semakin ”disesaki” oleh utang di bawah rezim Prabowo Subianto. Beban utang yang semakin berat itu akan menggerus kualitas pembangunan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sampai akhir Juli 2024, total utang (outstanding)pemerintah telah mencapai Rp 8.502,69 triliun. Angka tersebut masih bisa bertambah. Sesuai target di APBN 2024, posisi utang pemerintah per akhir tahun ini diperkirakan mencapai Rp 8.700 triliun.
Beban utang negara itu berpotensi meningkat signifikan di bawah kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto. Menurut rencana anggaran dalam Dokumen Nota Keuangan Rancangan APBN 2025 (RAPBN 2025), pemerintahan Prabowo akan menarik utang baru sebesar Rp 775,9 triliun.
Baca juga: Menakar Warisan Utang Rezim Jokowi
Jumlah penarikan utang baru itu meningkat 40 persen dari outlook pembiayaan utang pada APBN 2024 yang sebesar Rp 553,1 triliun. Sebanyak 82,8 persen dari utang baru itu akan berbentuk obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) dan 17,1 persen dalam bentuk pinjaman (loan).
Ekonom Senior Faisal Basri memperkirakan, berdasarkan rencana utang yang sudah diatur dalam RAPBN 2025, total utang pemerintah akan meningkat menjadi Rp 9.460 triliun pada tahun depan. Angka tersebut pun masih bisa bertambah seiring dengan kebutuhan mengakselerasi sejumlah program unggulan pemerintahan baru.
Sebagai perbandingan, pada 2014 ketika Jokowi baru mulai menjabat, total utang pemerintah hanya Rp 2.609 triliun. ”Utang pemerintah di era Jokowi sampai 2024 saja sudah naik sampai 3,3 kali lipat, dan tahun depan (di bawah Prabowo) akan bertambah lagi secara signifikan,” kata Faisal dalam diskusi publik yang digelar Bright Institute, Rabu (21/8/2024).
Total outstanding utang yang tinggi itu otomatis berdampak pada pembayaran bunga utang yang mesti ditanggung APBN setiap tahunnya. Dalam satu dekade terakhir, beban pembayaran bunga utang telah meningkat drastis sebesar 274 persen. Kenaikannya paling tinggi dibandingkan dengan belanja lain di komponen belanja pemerintah pusat (BPP).
Dalam 10 tahun terakhir, peningkatan belanja paling besar itu untuk membayar bunga utang (naik 274 persen). Paling kecil justru bansos, belanja buat rakyat (naik 56,6 persen).
Pada tahun 2014, pembayaran bunga utang hanya mencaplok 11,1 persen dari total BPP di APBN. Pada RAPBN 2025, porsi pembayaran bunga itu melonjak hingga 20,5 persen dari BPP atau sebesar Rp 522,8 triliun. Artinya, hampir seperempat dari belanja pemerintah pusat di APBN terpakai hanya untuk mencicil utang pemerintah.
Tidak hanya itu, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah harus ”gali lubang tutup lubang” alias berutang untuk membayar utang. Hal itu terlihat dari data keseimbangan primer dalam APBN yang mengalami defisit dalam satu dekade terakhir, kecuali pada tahun 2023.
Keseimbangan primer yang selama ini defisit mengindikasikan, pemerintah harus menarik utang baru demi membayar cicilan bunga utang. Praktik ”gali lubang tutup lubang” itu akan kembali terulang tahun depan. Pada RAPBN 2025, keseimbangan primer diproyeksikan defisit sebesar Rp 63,3 triliun.
”Keseimbangan primer katanya membaik. Tetapi, menurut textbook, keseimbangan primer yang baik itu kalau hasilnya positif atau surplus. Mau negatif berapa pun akan tetap buruk, karena itu artinya cicilan bunga utang dibiayai pakai utang baru,” kata Ekonom Bright Institute Awalil Rizky.
Baca juga: Beban Bunga Utang Pemerintah Membesar Lampaui Belanja Lain
Narasi mengelabui
Selama ini, pemerintah selalu mengatakan bahwa posisi utang Indonesia masih aman. Indikator yang sering digunakan adalah rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang ”batas amannya” adalah 60 persen terhadap PDB sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
Sesuai aturan itu, rasio utang Indonesia memang masih aman. Pada RAPBN 2025, rasio utang terhadap PDB diperkirakan mencapai 39,51 persen. Sementara, sampai Juli 2024, rasio utang pemerintah adalah 38,68 persen.
Pemerintah juga kerap membandingkan rasio utang Indonesia yang masih lebih baik dari negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura. Negara-negara maju itu rasio utangnya sangat tinggi hingga ratusan persen terhadap PDB.
Namun, Awalil Rizky mengatakan, di balik narasi tersebut, hal yang luput disampaikan pemerintah adalah rasio pembayaran bunga utang negara maju terhadap total belanja mereka jauh di bawah Indonesia.
Jepang, misalnya, memang memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi hingga 264 persen. Namun, porsi pembayaran bunga utang Jepang terhadap total belanjanya hanya 6,2 persen. Begitu pula Singapura, yang rasio utangnya 168 persen, tetapi porsi pembayaran bunga utangnya hanya 0,4 persen dari total belanja.
Utang tambah banyak, tetapi pertumbuhan ekonomi tambah turun.
Sementara Indonesia dengan rasio utang sekitar 39 persen memiliki porsi pembayaran bunga utang hingga 20,5 persen terhadap belanja. Artinya, meski rasio utangnya sangat tinggi, APBN negara maju tidak dibebani dengan keharusan mencicil utang.
”Utang itu, kan, tidak masalah sebenarnya, justru diperlukan dalam menjalankan negara. Namun, yang jadi masalah itu apakah negara mampu membayar utangnya atau tidak,” kata Awalil.
Tidak berefek
Faisal Basri mengatakan, utang yang besar selama 10 tahun terakhir tidak banyak memberikan efek pengganda bagi pertumbuhan ekonomi. Sebab, meski utang negara meningkat signifikan, laju pertumbuhan ekonomi justru stagnan di level 5 persen.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rata-rata pertumbuhan ekonomi masih bisa 6 persen. Era pertama Jokowi, rata-rata pertumbuhan 5 persen. Era kedua Jokowi, rata-rata pertumbuhan ekonomi turun ke 4,7 persen.
”Padahal, katanya, utang untuk mempercepat pembangunan. Tetapi, kenapa hasilnya begitu? Utang tambah banyak, tetapi pertumbuhan ekonomi tambah turun,” ujarnya.
Baca juga: Naik 2,7 Persen, Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Patut Jadi Perhatian
Menurut Faisal, berdasarkan berbagai studi ekonomi, negara yang semakin banyak berutang cenderung akan memiliki level pertumbuhan yang lebih rendah. Apalagi, jika penarikan utang baru tidak optimal dimanfaatkan untuk pembangunan, tetapi untuk membayar utang lama.
”Pembangunan yang terlalu mengandalkan utang itu tidak benar. Jadi, bisa dikatakan, selama era Jokowi, kualitas ekonomi Indonesia itu melemah,” katanya.
Kondisi utang RI itu juga menjadi perhatian DPR menjelang pembahasan RAPBN 2025. Dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (20/8/2024), sejumlah fraksi partai politik juga mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati menarik utang baru di tengah kondisi beban utang yang sudah tinggi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan terus berupaya mencari cara untuk lepas dari ketergantungan utang. Misalnya, dengan mengoptimalkan pembiayaan non-utang lewat saldo anggaran lebih (SAL) atau ”kas cadangan” pemerintah.
Pemerintah akan terus berupaya mencari cara untuk lepas dari ketergantungan utang.
Ia juga menjelaskan, posisi utang pemerintah meningkat signifikan karena adanya kebutuhan pembiayaan yang besar selama pandemi Covid-19 pada 2020-2021. ”Pemerintah akan mengoptimalkan potensi pembiayaan non-utang untuk mengendalikan ketergantungan pada pembiayaan utang,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR.
Ia juga menegaskan, rasio utang Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara ASEAN serta masih di bawah batas aman 60 persen terhadap PDB. Pada tahun 2023, rasio utang Indonesia terhadap PDB adalah 39,2 persen, menurun dari 39,7 persen pada 2022. ”Kebijakan pengendalian pembiayaan utang akan terus dilakukan agar kesinambungan fiskal terjaga,” ujarnya.