Hak Ekspor Produk Turunan Sawit Berpotensi Menumpuk Lagi
Per pekan ketiga Agustus 2024, total hak ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 3,6 juta ton.
Oleh
HENDRIYO WIDI, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasar utama ekspor produk turunan kelapa sawit diperkirakan masih lemah hingga akhir tahun ini. Situasi itu berpotensi menyebabkan hak ekspor komoditas andalan utama Indonesia tersebut menumpuk lagi.
Hak ekspor merupakan insentif pemerintah bagi para eksportir produk turunan sawit yang memenuhi kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) minyak goreng rakyat. Dengan hak ekspor itu, mereka bisa mengekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunan sebanyak 4 kali dari volume penyaluran DMO.
Mereka juga bisa memperoleh pengali ekspor dari pengemasan dan distribusi minyak goreng ke luar Jawa masing-masing sebesar 2-2,25 kali dan 1,3-1,65 kali. Insentif itu merupakan amanat Pasal 11 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat yang diundangkan pada 14 Agustus 2024.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Rabu (21/8/2024), mengatakan, saat ini hak ekspor CPO dan produk turunan sebanyak 3,6 juta ton. Jumlah itu telah berkurang cukup signifikan dari Maret 2024 yang mencapai 5,58 juta ton.
”Ini berkat lonjakan ekspor produk turunan sawit pada Juni 2024. Namun, peningkatan ekspor tersebut tidak bertahan lama dan justru turun pada Juli 2024,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Saat ini, hak ekspor CPO dan produk turunan sebanyak 3,6 juta ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Januari-Juli 2024 , volume ekspor CPO tertinggi terjadi pada Juni 2024, yakni 2,67 juta ton. Bulan-bulan selain itu, kisaran volume ekspornya hanya 1,4 juta ton-1,8 juta ton. Pada Juli 2024, misalnya, volume ekspor CPO dan produk turunan hanya 1,62 juta ton atau turun 64,81 persen secara bulanan.
Menurut Eddy, kondisi itu mencerminkan ketidakpastian permintaan pasar CPO global. Masih banyak negara yang ekonominya tumbuh lambat sehingga memengaruhi permintaan. Beberapa di antaranya bahkan menyubstitusi minyak sawit dengan minyak nabati lain yang harganya lebih murah.
China, misalnya, menyubstitusi minyak sawit dengan minyak biji bunga matahari dan rapessed. Ini membuat impor minyak sawit China turun cukup signifikan.
”Jika kondisinya tetap sama hingga akhir tahun ini, pertumbuhan ekspor CPO RI bakal melambat dan bakal menyebabkan hak ekspor menumpuk lagi,” katanya.
Pada Maret 2024, hak ekspor produk turunan sawit menumpuk hingga mencapai 5,58 juta ton atau setara 2,5 bulan kebutuhan ekspor komoditas-komoditas tersebut. Penumpukan itu terjadi lantaran pasar ekspor CPO melemah (Kompas, 13/3/2024).
Kendati begitu, lanjut Eddy, ekspor CPO RI masih berpeluang tumbuh hingga akhir tahun ini. Utamanya jika ada gangguan panen raya biji bunga matahari dan rapessed di Uni Eropa pada akhir Agustus-September 2024.
Statista memperkirakan, pada tahun pemasaran 2023/2024 yang berakhir September 2024, volume impor minyak sawit China sebanyak 5,9 juta ton. Jumlah tersebut turun dibandingkan dengan volume impor periode pemasaran 2022/2023 yang berakhir pada September 2023, yakni sebesar 6,19 juta ton.
Volume impor tersebut diperkirakan baru akan meningkat pada September 2025, yakni menjadi 6 juta ton. Angka tersebut sedikit lebih rendah dari volume impor pada September 2023.
Wakil Ketua Riset Industri dan Regional PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani menuturkan, selain minyak biji bunga matahari dan rapessed, China justru paling banyak mengimpor minyak kedelai. Penurunan harga minyak kedelai justru lebih dalam ketimbang minyak biji bunga matahari dan rapessed.
Per Juli 2024, harga minyak kedelai turun sebesar 31,8 persen, sedangkan minyak rapessed hanya turun 12,3 persen. Adapun harga minyak biji bunga matahari justru naik 11,8 persen.
”Tertekannya harga minyak kedelai berpotensi membuat substitusi minyak sawit ke minyak kedelai semakin besar,” ujarnya.
Tertekannya harga minyak kedelai berpotensi membuat substitusi minyak sawit ke minyak kedelai semakin besar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga berpendapat, implementasi Permendag No 18/2024 akan dipengaruhi kondisi pasar ekspor produk turunan sawit. Hal itu mengingat pasar domestik hanya mampu menyerap produksi sawit berkisar 40-42 persen.
”Jadi, tanpa pasar ekspor, industri minyak sawit akan kelebihan pasokan dan bermasalah,” katanya, Rabu.
Di samping itu, lanjut Sahat, aturan itu tidak lagi mengalokasikan volume Minyakita per perusahaan. Namun, ada ketentuan bahwa target Minyakita yang harus dipasarkan para produsen minyak goreng sebanyak 250.000 ton per bulan.
Penyaluran Minyakita itu pun harus terdaftar dan tercatat di Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH) yang dikembangkan Kementerian Perindustrian. Minyakita, sebagai produk program Minyak Goreng Rakyat itu, juga diutamakan didistribusikan ke pasar rakyat atau tradisional sehingga pasokannya bisa terhindar dari serbuan masyarakat yang berpunya.
Dengan berlakunya pola distribusi itu ditambah insentif DMO Minyakita, para eksportir akan berusaha memenuhi kebutuhan pasar domestik Minyakita semaksimal mungkin. Eksportir juga akan bernegosiasi untuk memperoleh dari produsen minyak goreng yang fokus ke pasar lokal.
Untuk meningkatkan ekspor produk turunan sawit, Sahat berharap agar Kementerian Perdagangan mengevaluasi besaran insentif faktor pengali ekspor untuk pendistribusian Minyakita ke luar Jawa dalam tiga bulan mendatang. Ini mengingat pendistribusian Minyakita ke luar Jawa membutuhkan biaya logistik yang tidak murah.
”Saat ini, besaran insentif pengali ekspor tersebut 1,3-1,65 kali. Kalau bisa dan jika pasar utama ekspor sudah pulih, insentif itu dinaikkan menjadi 3,2-4 kali,” kata Sahat.