Anggaran Subsidi dan Kompensasi Energi pada 2025 Membengkak
Subsidi-kompensasi energi dinikmati oleh semua desil, desil 1-10. Masih ada pekerjaan rumah soal ketidaktepatan sasaran.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi subsidi dan kompensasi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 senilai Rp 394,3 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yang Rp 334,8 triliun. Kalangan pengamat menilai, peningkatan itu mesti diikuti pembenahan kualitas serta efektivitas penyalurannya agar tepat sasaran. Hal itu hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers RAPBN 2025 dan Nota Keuangan 2025, secara hibrida, di Jakarta, Jumat (16/8/2024), mengatakan, subsidi-kompensasi pada 2025 senilai Rp 525 triliun. Itu terdiri dari subsidi energi dan kompensasi sebesar Rp 394,3 triliun serta subsidi nonenergi sebesar Rp 131,3 triliun. Pemberian subsidi dan kompensasi untuk stabilisasi harga, menjaga daya beli, serta mendukung usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
”Subsidi yang tetap (diberikan yakni) elpiji 3 kilogram, solar, minyak tanah, serta subsidi listrik tertama untuk rumah tangga miskin dan rentan. Anggaran transisi energi akan diberikan menggunakan anggaran ketahanan energi,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, subsidi dalam bentuk barang membuat harga yang diterima masyarakat menjadi lebih rendah, seperti pada bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan elpiji. Subsidi dan kompensasi energi diberikan guna memproteksi daya beli masyarakat pada semua desil atau kelompok masyarakat termiskin hingga terkaya yang dibagi dalam 10 kelompok.
”Artinya, semua masyarakat, yang miskin, menengah, dan kaya menikmati subsidi tersebut. Memang yang menjadi persoalan masalah sasaran,” ucap Sri Mulyani.
Catatan Kompas, subsidi BBM diberikan pada solar dan minyak tanah. Sementara kompensasi BBM yakni pada pertalite. Saat ini, belum ada regulasi yang mengatur kriteria siapa saja yang berhak membeli pertalite. Dengan demikian, mobil mewah pun masih bisa mengantre pembelian pertalite di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
Sementara itu, subsidi elpiji 3 kg, yang sejatinya untuk warga miskin, juga masih bisa dibeli oleh kalangan mampu. Upaya pengendalian baru sebatas keharusan mendaftarkan nomor induk kependudukan (NIK) di tingkat pangkalan (subpenyalur). Akan tetapi, elpiji 3 kg selama ini umumnya juga dapat dibeli di tingkat pengecer/warung.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, berpendapat, adanya kenaikan subsidi dan kompensasi energi menunjukkan pemerintah masih bakal memenuhi kebutuhan energi masyarakat luas, khususnya BBM.
Namun, ”kebocoran” subsidi-kompensasi masih berpotensi terjadi. ”Diperlukan upaya-upaya untuk membatasinya. Perlu upaya serius agar BBM tersalurkan dengan tepat sasaran. Jika tidak, ketidaktepatsasaran tersebut berpotensi terus membesar,” ujar Fahmy, Minggu (18/8/2024).
Regulasi mengenai pengendalian penyaluran BBM bersubsidi/kompensasi itu dinilai mendesak. Penerapan kebijakan, terutama pada pertalite, baru bisa dilakukan jika ada payung hukum yang mengaturnya. Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang telah lama direncanakan hingga kini belum juga terbit.
”Itu harus segera dilakukan karena beban APBN cukup besar. Selama ini sudah ada upaya-upaya seperti pembayaran dengan (aplikasi) MyPertamina. Juga sempat mengemuka kriteria kendaraan yang boleh mengonsumsi pertalite, tetapi implementasinya kan belum. Hal-hal seperti itu mesti ada dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014,” ucap Fahmy.
Ia mengusulkan pengaturan itu dilakukan secara sederhana. Misalnya, hanya sepeda motor serta angkutan barang atau orang yang diperbolehkan membeli pertalite. Sementara kendaraan pribadi miminal pertamax. Apabila disertai dengan regulasi, penerapan serta pengawasannya bakal lebih optimal. Dengan demikian, diharapkan penyaluran kompensasi menjadi tepat sasaran.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, mendorong adanya penguatan koordinasi lintas kementerian/lembaga, termasuk pemerintah daerah, agar Perpres No 191/2014 dapat direvisi untuk diimplementasikan. ”Diharapkan ada upaya serius guna membenahi kebocoran-kebocoran subsidi dan kompensasi energi,” katanya.