Pudarnya Adu Troli dan ”Impulsive Buying” di Ritel Modern
Sekitar 60 persen dari belanjaan di troli merupakan barang-barang yang tidak masuk dalam daftar rencana belanja.
Perilaku belanja masyarakat pelan-pelan berubah. Troli, tas belanja, dan impulsive buying di ritel modern bisa menjadi indikatornya. Perkembangan teknologi dan pelemahan daya beli menjadi penyebabnya.
Transformasi belanja masyarakat dari luring ke daring pertama kali terjadi di Inggris pada 1979. Waktu itu, Michael Aldrich dari Redifon Computers menyambungkan televisi berwarna dengan komputer yang mampu memproses transaksi secara real time melalui sarana kabel telepon.
Setelah ia memasarkan sistem belanja daring itu pada 1980, belanja daring menyebar ke sejumlah negara lain. Salah satunya untuk memasarkan mobil di Perancis.
Kemudian pada 1992, muncullah toko buku daring pertama Book Stacks Unlimited yang dibuat Charles Stack. Toko buku itu berkembang menjadi Books.com. Dua tahun kemudian, Jeff Bezos membuat situs Amazon.com.
Toko-toko daring itu terus tumbuh seiring perkembangan zaman dan teknologi. Pelan-pelan kemajuan perdagangan secara elektronik (e-dagang) itu mengubah perilaku belanja masyarakat.
Pandemi Covid-19 yang muncul pada akhir 2019 semakin mempercepat masyarakat mengadopsi belanja daring. Pascapandemi, masyarakat semakin akrab dengan belanja daring, bahkan mamadukannya dengan belanja luring.
Di tengah kondisi itu, ritel modern mulai kehilangan sesuatu yang berharga. Di sisi lain, ritel modern mulai menemukan jalan bisnis yang mampu mengakomodasi perubahan perilaku belanja masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey, Rabu (14/8/2024), menuturkan, dalam satu dekade terakhir, masyarakat mulai meninggalkan kebiasaan adu troli di pusat-pusat perbelanjaan. Dahulu, rerata keluarga yang berbelanja di hipermarket atau supermarket mengambil 2-4 troli.
Setiap anggota keluarga, minimal ayah dan ibu, berkeliling sendiri-sendiri mencari kebutuhan masing-masing. Setelah itu, mereka berkumpul di kasir atau area dekat kasir untuk membayar aneka barang belanjaan.
”Kami kerap menyebutnya sebagai silaturahmi troli keluarga,” tutur Roy dalam Gambir Trade Talk #15 bertajuk ”Transformasi Ritel Modern di Era Digitalisasi: Peluang dan Tantangan” yang digelar Badan Kebijakan Perdagangan di Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Baca juga: Pendapatan Cekak, Konsumen Cari Alternatif Belanja Murah
Roy juga mengisahkan, sekitar 60 persen dari seluruh belanjaan di troli mereka merupakan barang-barang yang tidak masuk dalam daftar rencana belanja. Peritel kerap menyebutnya sebagai barang-barang hasil impulsive buying atau pembelian spontan.
Pembelian spontan itu terjadi saat konsumen tertarik pada barang tertentu. Ketertarikan itu baik lantaran pada barang itu sendiri maupun diskon atau bundling (paket) pembelian yang menyertainya.
”Impulsive buying inilah yang dahulu menopang kinerja ritel. Sekarang, impulsive buying dan adu troli mulai pudar. Konsumen mulai belanja sesuai kebutuhan,” katanya.
Sekitar 60 persen dari seluruh belanjaan di troli mereka merupakan barang-barang yang tidak masuk dalam daftar rencana belanja.
Bersantai di mal
Bahkan, Roy melanjutkan, mulai banyak orang yang datang ke mal tidak untuk berbelanja. Mereka hanya sekadar melihat produk, kemudian membelinya secara daring karena lebih murah atau ada promo yang sangat menarik.
Banyak pengunjung mal juga lebih memilih sekadar bersantai. Mereka bisa berjam-jam di mal untuk makan, ngopi, menonton bioskop, dan menikmati wahana permainan. Kalaupun menyempatkan belanja, waktunya tidak selama dulu.
”Begitu keluar mal, tentengan tas belanjaan tak sebanyak dulu. Bahkan, sama sekali tidak menenteng tas belanja, tetapi justru segelas kopi dan camilan,” kisahnya.
Menurut Roy, beberapa tahun terakhir, masyarakat lebih mengedepankan waktu bersantai dan mendapatkan pengalaman tertentu di mal. Belanja juga mulai terbagi, bisa secara daring ataupun luring.
Fenomena itulah yang membuat ritel modern bersiasat memberikan promo, diskon, bahkan menggelar acara menarik untuk memancing belanja masyarakat. Fenomena itu pula yang mengharuskan ritel modern terdigitalisasi.
Baca juga: Gemerlap Mal Baru Melawan Fenomena Redupnya Pusat Belanja
Berdasarkan hasil riset Populix yang dipublikasikan pada April 2024, selama pandemi, 54 persen dari total responden yang aktif berbelanja daring dan luring lebih memilih berbelanja secara daring. Bahkan, setelah pandemi berakhir, 49 persen dari mereka masih memilih berbelanja secara daring.
Kendati begitu, konsumen yang lebih memilih berbelanja luring setelah pandemi berakhir meningkat lebih dari dua kali lipat. Hal itu menunjukkan meskipun belanja daring masih populer, konsumen Indonesia tetap gemar berbelanja luring.
Konsumen lebih memilih belanja daring terutama lantaran lebih praktis (67 persen) dan mudah membandingkan harga (66 persen). Alasan lainnya adalah tersedianya berbagai metode pembayaran (60 persen) dan kemudahan proses pengembalian barang (25 persen).
Sementara minat konsumen terhadap belanja luring juga masih cukup tinggi lantaran mereka dapat memegang dan merasakan produk secara (77 persen) dan tidak ada biaya pengiriman (66 persen). Mereka juga kerap berbelanja secara luring di toko-toko terdekat (62 persen).
Direktur Perdagangan, Investasi, dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Laksmi Kusumawati, ritel modern di Indonesia harus mengadopsi teknologi digital. Salah satu model bisnis yang bisa dikembangkan adalah ritel omnichannel.
”Platform itu menghubungkan belanja fisik, pemesanan daring, dan logistik menggunakan pusat pemenuhan otomatis, logistik pengiriman di hari yang sama, dan analiais tren belanja pelanggan,” katanya.
Laksmi menambahkan, semakin banyak peritel modern yang berinvestasi mengembangkan model bisnis itu. Kroger, perusahaan ritel di Amerika Serikat, telah mengadopsi model bisnis omnichannel tersebut. Begitu juga dengan Magazine Luiza, raksasa ritel asal Brasil, yang mengembangkan model bisnis itu melalui aplikasi super one-stop shop.
Menanggapi hal itu, Roy menyatakan, beberapa peritel modern telah menerapkan ritel omnichannel. Namun, pertumbuhan ritel moden dalam setahun terakhir ini melambat. Tantangan ritel semakin kompleks. Tidak hanya soal tranfsormasi digital, tetapi juga daya saing dan daya beli.
Peredaran barang impor ilegal dan bekas semakin marak. Daya beli masyarakat, termasuk kelas menengah, juga melemah. Adu troli dan impulsive buying jadi semakin memudar.
”Momen Ramadhan-Lebaran tahun ini juga tidak terlalu banyak mendongkrak kinerja ritel modern. Masyarakat memang belanja, tetapi secukupnya saja. Ini mengingat dua bulan setelah Lebaran, masyarakat dihadapkan pada tahun ajaran baru,” katanya.
Aprindo memperkirakan kinerja ritel modern pada semester I-2024 hanya tumbuh 4,8-4,9 persen secara tahunan. Pada semester II-2024, pertumbuhannya diperkirakan stagnan, bahkan berpotensi turun.
Baca juga: Pelemahan Daya Beli dan Peredaran Barang Ilegal Gerus Ritel Modern