Mencari Keseimbangan Antara Hilirisasi Nikel dan Pelestarian Lingkungan
Tanpa adanya kesadaran lingkungan, melimpahnya cadangan nikel cuma akan menjadi bumerang bagi masa depan Indonesia.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Cadangan nikel nasional yang jumlahnya disinyalir mencapai 21 juta ton digadang sebagai mesin pertumbuhan ekonomi masa depan bagi Indonesia. Di samping besarnya potensi ini, tersibak fakta bahwa hilirisasi nikel yang tak diimbangi praktik pertambangan dan manufaktur yang baik punya daya rusak masif terhadap kelestarian lingkungan.
Hasil riset lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (Crea) bertajuk ”Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel” menunjukkan keanekaragaman kelautan dan kehutanan di tiga provinsi utama peleburan nikel, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, terancam terkontaminasi partikel-partikel logam berat.
Penelititan ini juga memproyeksi pada 2025 emisi yang dihasilkan dari smelter dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive atau yang hanya digunakan untuk aktivitas peleburan di tiga provinsi tersebut dapat menyebabkan kerugian ekonomi nasional mencapai 2,63 miliar dollar AS (Rp 40,7 triliun).
Menurunnya kualitas air, tanah, dan udara menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencarian pada nelayan dan petani di sekitar kawasan industri peleburan nikel.
Tanpa intervensi yang berarti, beban perekonomian akan terus membengkak hingga mencapai 3,42 miliar dollar AS (Rp 53 triliun) pada 2030 dan 5,69 miliar dollar AS (Rp 88,2 triliun) pada 2060.
Analis Crea, Katherine Hasan, menyebut degradasi lingkungan merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh operasionalisasi pengolahan nikel. ”Menurunnya kualitas air, tanah, dan udara menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencarian pada nelayan dan petani di sekitar kawasan industri,” ujarnya saat dikonfirmasi, Sabtu (17/8/2024).
Di luar itu, mitos tentang proyek industri nikel yang mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah turut terbantahkan dalam studi ini. Peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja akibat aktivitas hilirisasi nikel hanya akan terjadi hingga tahun ke-3 pada saat tahap konstruksi pabrik.
”Lalu, di tahun-tahun berikutnya akan cenderung menurun hingga tahun ke-15, seiring dampak negatif dari kehadiran industri nikel berpengaruh ke serapan kerja sektor usaha lain, khususnya pertanian dan perikanan,” kata Katherine.
Laporan Crea juga memproyeksi, dalam 15 tahun ke depan, petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga 234,84 juta dollar AS (Rp 3,64 triliun).
Pada September 2023, tim Jelajah Laut Papua Maluku Kompas juga pernah melakukan pengujian air laut di Teluk Weda, Halmahera Tengah, dan Teluk Buli, Halmahera Timur, keduanya di Provinsi Maluku Utara.
Sampel yang diuji di laboratorium PT Advanced Analytics Asia Laboratories di Jakarta ini menunjukkan, kandungan krom heksavalen (Cr), nikel (Ni), dan tembaga (Cu) melebihi ambang baku mutu yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Terkait masifnya degradasi lingkungan, Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menggolongkan hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah saat ini termasuk dalam kejahatan terhadap lingkungan yang turut menjadi kejahatan kemanusiaan atau ”ekosida”.
Ada beberapa contoh kasus yang diduga kuat terjadi akibat praktik hilirisasi yang tidak berkelanjutan. Misalnya, banjir bandang di Halmahera Tengah, Maluku Utara (September 2023), sawah terendam endapan lumpur merah di Pomala, Kolaka, Sulawesi Tenggara (awal 2023), serta pesisir yang tercemar limbah nikel di Fatufia, Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah (2021).
”Ini harga yang harus dibayar oleh masyarakat. Nelayan jadi sulit mendapatkan ikan, petani tidak bisa menikmati hasil pertanian lebih baik. Ini bisa terjadi karena ada salah kebijakan yang sampai sekarang tak kunjung dibenahi,” tutur Andry.
Ia pun menyayangkan, hingga saat ini belum ada regulasi yang mengikat untuk pelaksanaan praktik pertambangan dan manufaktur yang baik (good mining and manufacturing practice). Hal ini membuat problem hilirisasi yang salah kelola ini sudah sistematis terjadi sejak awal tahap perencanaan.
”Tidak ada sanksi juga jika pengusaha tidak menerapkannya. Pemerintah hanya berfokus pada kuantitas investasi, berapa triliun target proyek investasi yang diharapkan, bukan kualitasnya,” ujar Andry.
Di mata pemerintah, hilirisasi nikel menjadi krusial dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data BKPM menunjukkan, sebelum ada hilirisasi atau ketika ekspor bijih nikel masih diberlakukan, Indonesia hanya memperoleh pendapatan ekspor komoditas tersebut senilai 3,3 miliar dollar AS (Rp 50 triliun) pada periode 2017-2018.
Empat tahun berselang, merujuk pada data konsultan penerbangan, Reforminer Institute, nilai tambah ekspor setelah hilirisasi nikel mampu menembus 35,6 miliar dollar AS atau setara Rp 510 triliun pada tahun 2022 atau meningkat hingga sepuluh kali lipat dari periode 2017-2018.
Perlu ditemukan titik keseimbangan antara upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi dampak perubahan iklim, dengan tercapainya target-target ekonomi lewat pemanfaatan hilirisasi nikel.
Data tersebut mengisyaratkan pentingnya evaluasi pada program hilirisasi nikel di Indonesia, yang punya label sumber energi ramah lingkungan. Tanpa pengawasan dan penegakan sanksi terhadap praktik hilirisasi nikel yang sembrono, keberadaan cadangan nikel yang melimpah di Tanah Air hanya akan menjadi bumerang bagi masa depan ekologi dan ekonomi.
Para pemangku kepentingan hilirisai nikel di Tanah Air, termasuk pemerintah, perlu secepatnya menemukan keseimbangan antara upaya pelestarian lingkungan dan mitigasi dampak perubahan iklim, dengan tercapainya target-target ekonomi lewat pemanfaatan hilirisasi nikel.