Pidato Kenegaraan Terakhir, Jokowi Tak Singgung Poros Maritim
Kenapa dulu Jokowi begitu menggebu dalam visi poros maritim, tetapi sekarang tidak menyebut (poros maritim) lagi?
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Visi Indonesia sebagai poros maritim dunia tidak lagi disebut Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Ia tidak menyinggung capaian visi poros maritim yang diusung pada masa pemerintahannya. Para pengamat dan akademisi mempertanyakan mengapa Jokowi hampir melupakan visi itu.
Dalam Pidato Kenegaraan, Jumat, Presiden Joko Widodo menyampaikan sejumlah capaian pembangunan infrastruktur jalan dalam sepuluh tahun terakhir yang mampu menurunkan biaya logistik dari 24 persen menjadi 14 persen pada tahun 2023, serta meningkatkan daya saing. Pembangunan infrastruktur itu antara lain 366.000 kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 km jalan tol baru, 6.000 km jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandar udara baru, 43 bendungan, serta 1,1 juta hektar jaringan irigasi baru. Ia menambahkan, Indonesia juga mampu menurunkan biaya logistik dari 24 persen menjadi 14 persen di tahun 2023.
”Kita mampu memperkuat persatuan kita karena akses yang lebih merata dan berkeadilan,” ujar Jokowi.
Sebelumnya pada 2014, Presiden Joko Widodo ketika terpilih untuk menjabat selama 2014-2019 melakukan terobosan paradigma pembangunan nasional dengan konsep poros maritim. Menurut Jokowi, apabila Indonesia ingin memperkuat bidang kelautan, infrastruktur di laut menjadi sangat penting(Kompas, 13/8/2014). Visi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia membawa angin segar bagi kebangkitan Nusantara yang dikenal dengan kekayaan alam laut, sekaligus sebagai wilayah strategis pelayaran dan perdagangan dunia.
Sejumlah program terobosan diusung, antara lain pembangunan infrastruktur pelabuhan dan tol laut untuk menjamin konektivitas antarpulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, pembangunan pelabuhan, perbaikan transportasi laut, serta fokus pada keamanan maritim.
Pada periode 2019-2024, saat Jokowi terpilih kembali sebagai Presiden, visi pembangunan kemaritiman masih berlanjut, tetapi gaungnya meredup. Sejumlah infrastruktur darat gencar dibangun di sejumlah pulau, sedangkan penguatan program kelautan, dan infrastuktur di laut belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Implementasi maritim masih sangat jauh.
Guru Besar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Rokhmin Dahuri mempertanyakan redupnya visi besar Indonesia sebagai poros maritim yang dulu diusung di awal pemerintahan Jokowi. ”Kenapa dulu Jokowi begitu menggebu dalam visi poros maritim, tetapi sekarang tidak menyebut (poros maritim) lagi?” ujar Rokhmin, saat dihubungi, Jumat (16/8/2024).
Menurut Rokhmin, redupnya keseriusan pemerintah terhadap visi kemaritiman tecermin dari kebijakan anggaran sehingga dalam pelaksanaannya kemaritiman belum menjadi sumber ekonomi baru dan kesejahteraan. Kontribusi kemaritiman terhadap PDB nasional hanya pada kisaran 7,9 persen terhadap perekonomian nasional.
Pada 2024, anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, hanya Rp 6,43 triliun atau kurang dari 1 persen anggaran belanja kementerian/lembaga pada APBN 2024. Pada 2025, pagu anggaran KKP bahkan semakin turun menjadi Rp 6,23 triliun.
Sepanjang tahun 2022, produk domestik bruto (PDB) sektor maritim hanya berkontribusi 7,9 persen terhadap PDB nasional. Sektor maritim meliputi, antara lain, industri perkapalan, perikanan dan bioteknologi, pertambangan dan energi, reparasi kapal, jasa pergudangan laut, jasa penyeberangan, logistik, pelabuhan, terminal peti kemas, serta pembuatan senjata dan kapal perang.
Pemerintah menargetkan kontribusi produk domestik bruto (PDB) maritim terhadap PDB nasional pada 2045 mencapai 12,5 persen. Target PDB maritim itu meningkat dari tahun 2015, yakni 6,4 persen dari total PDB.
Melupakan
Wakil Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah Suhana menilai, Jokowi sudah hampir melupakan visi poros maritim dan visi tersebut belum terwujud dengan baik dalam 10 tahun terakhir pemerintahan. Visi maritim penting untuk diungkapkan secara tertulis karena akan menjadi arah kebijakan pemerintah dan diwujudkan berkelanjutan.
Pembangunan yang diusung pemerintah dinilai selama ini lebih bias daratan, seperti jalan dan jalan tol. Pelabuhan yang terbangun juga dinilai hanya 50 pelabuhan, padahal negara kepulauan pelabuhan seharusnya mengutamakan pembangunan pelabuhan. Sementara itu, armada kapal tol laut dinilai belum berkembang, padahal itu penting dalam menghubungkan mobilisasi orang dan barang antar pulau di Indonesia.
”Implementasi maritim masih sangat jauh,” katanya.
Berdasarkan hasil penelusuran tim Kantor Staf Presiden di pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia selama 2023, trayek transportasi laut barang, trayek barang dari Indonesia bagian barat ke timur umumnya penuh, tetapi sebaliknya trayek dari timur ke barat cenderung minim muatan, bahkan kosong. Pemerintah daerah dinilai belum memaksimalkan tol laut untuk mendukung keunggulan komparatif daerah agar kapal bisa kembali ke barat dengan membawa penuh angkutan. Harga-harga cenderung tetap mahal (Kompas, 21/2/2024).
Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Agung Dhamar Syakti, saat dihubungi secara terpisah, Jumat, mengemukakan, ekonomi Indonesia masih belum ditopang oleh kegiatan kemaritiman. Kontribusi kemaritiman masih rendah dalam pembangunan perekonomian nasional. Visi poros maritim masih terkesan jargon dan tidak membumi. Meski demikian, ia menilai implementasi sektor kemaritiman sudah mulai berjalan.
Visi Indonesia Emas 2045 sebagai ”Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”, yang dituangkan ke dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah dinilai tetap mengusung pembangunan kepulauan dan kelautan Indonesia. Ia optimistis visi kemaritiman akan berlanjut di pemerintahan mendatang.