Naik 2,7 Persen, Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Patut Jadi Perhatian
Peningkatan ULN Indonesia mengindikasikan peningkatan kebutuhan pembiayaan, tetapi harus tetap diwaspadai.
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya utang luar negeri Indonesia pada triwulan II-2024 mengindikasikan peningkatan kebutuhan pembiayaan, baik di sektor publik maupun swasta. Meski masih tergolong sehat, peningkatan utang tersebut tetap harus diwaspadai mengingat akan ada pergantian pemerintahan yang berpotensi memicu bertambahnya utang.
Statistik Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan II-2024 menunjukkan, posisi ULN Indonesia tercatat sebesar 408,6 miliar dollar AS atau naik sebesar 2,7 persen secara tahunan. Torehan tersebut berbalik setelah ULN Indonesia pada triwulan I-2024 mencatatkan kontraksi sebesar 0,2 persen secara tahunan.
Peningkatan ULN itu bersumber, baik dari ULN sektor publik maupun swasta. Adapun posisi ULN swasta tercatat sebesar 196,5 miliar dollar AS, tumbuh 0,3 persen secara tahunan setelah mengalami kontraksi pertumbuhan 1,2 persen secara tahunan pada triwulan I-2024. Perkembangan ULN swasta didorong oleh utang perusahaan bukan lembaga keuangan yang tumbuh 0,6 persen secara tahunan.
Baca juga: Jelang Jokowi Lengser, Utang Pemerintah Meningkat Mencapai Rp 8.444 Triliun
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat, kenaikan ULN Indonesia sebesar 2,7 persen secara tahunan dapat dilihat sebagai indikasi meningkatnya kebutuhan pembiayaan, baik dari sektor publik maupun swasta, untuk mendukung kegiatan ekonomi. Hal ini juga tampak dari kenaikan ULN di sektor industri pengolahan, transportasi dan pergudangan, serta jasa keuangan dan asuransi.
”Ini menandakan adanya permintaan kredit untuk sektor-sektor produktif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama dalam mendukung infrastruktur dan sektor riil. Namun, perlu dicermati lebih lanjut apakah investasi yang didanai oleh utang tersebut menghasilkan dampak pada perekonomian riil,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Berdasarkan data Statistik ULN Indonesia pada triwulan II-2024, ketiga sektor tersebut memiliki porsi paling besar terhadap total ULN Indonesia. Selain itu, peningkatan ULN dari ketiga sektor itu juga tercatat paling signifikan, setiap industri pengolahan sebesar 19,68 persen secara tahunan, transportasi dan pergudangan sebesar 19,24 persen, serta jasa keuangan dan asuransi sebesar 13,89 persen.
Josua menambahkan, dari sisi jangka waktu, ULN yang memiliki proporsi tenor jangka panjang biasanya lebih prudent lantaran dapat mengurangi risiko pembiayaan kembali (refinancing). Secara umum, pergeseran ULN ke sektor-sektor produktif dan tenor jangka panjang dapat memberikan dampak positif bagi stabilitas ekonomi jika dikelola dengan baik.
Berdasarkan tenornya, ULN Indonesia dengan jangka waktu pendek sebesar Rp 58,55 triliun, sedangkan ULN berjangka panjang tercatat sebesar Rp 350,07 triliun. Dengan demikian, rasio ULN jangka panjang terhadap total ULN mencapai 85,7 persen.
Artinya, ada potensi ekspansi dari sektor pengolahan. Hanya saja, peningkatan ULN tetap perlu menjadi perhatian karena kita akan memasuki periode pemerintahan baru yang biasanya akan diikuti dengan meningkatnya akumulasi utang karena ’spending’-nya meningkat.
Peneliti bidang Makroekonomi dan Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai, kualitas ULN Indonesia masih cukup sehat karena sebagian besar masih didominasi utang jangka panjang. Di sisi lain, peningkatan ULN sektor pengolahan juga menandakan hal yang positif.
”Artinya, ada potensi ekspansi dari sektor pengolahan. Hanya saja, peningkatan ULN tetap perlu menjadi perhatian karena kita akan memasuki periode pemerintahan baru yang biasanya akan diikuti dengan meningkatnya akumulasi utang karena spending-nya meningkat,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Oleh sebab itu, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan sebaiknya perlu lebih waspada dalam mengelola utang, terutama dari segi penggunaannya. Pemanfaatan utang untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih produktif sekaligus menghasilkan imbal hasil perekonomian yang lebih tinggi diharapkan dapat terus meningkatkan kemampuan Indonesia dalam membayar utang tersebut.
Asisten Gubernur Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, struktur ULN Indonesia tetap sehat didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Hal ini tecermin dari rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) yang tercatat sebesar 29,9 persen serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 85,7 persen dari total ULN.
”Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan dengan tetap meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis (15/8/2024).
Baca juga: Utang Luar Negeri BI Membengkak Dua Kali Lipat untuk SRBI
Utang BI naik
Berbanding terbalik dengan ULN pemerintah pada triwulan II-2024 yang terkontraksi sebesar 0,8 persen secara tahunan, posisi ULN bank sentral alias Bank Indonesia (BI) terus merangkak naik. Pada triwulan II-2024, ULN BI tercatat 21,11 miliar dollar AS atau naik 57,43 persen secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I-2024 yang naik 55,59 persen.
Menurut Josua, kenaikan ULN BI tersebut disebabkan oleh meningkatnya kepemilikan asing terhadap Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Namun, BI dinilai mampu meminimalkan risiko kenaikan ULN itu lantaran SRBI diterbitkan dengan underlying asset berupa Surat Berharga Negara milik BI dengan tenor lebih panjang sehingga imbal hasil kuponnya juga tinggi.
”Jadi, yield (imbal hasil) SRBI yang cenderung tinggi ini bisa ditutupi oleh imbal hasil dari SBN (Surat Berharga Negara) jangka panjang yang juga tinggi. Sejauh ini, implementasi dari kebijakan SRBI cukup membantu dalam mengendalikan stabilitas rupiah karena cenderung dapat menjaga cadangan devisa Indonesia,” ujar Josua.
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat (15/8/2024) ditutup di level Rp 15.687 per dollar AS atau menguat 3,86 persen dibandingkan dengan penutupan pasar pada Juli 2024 yang berada di level Rp 16.294 per dollar AS. Kendati demikian, rupiah masih depresiasi sebesar 1,38 persen secara kalender berjalan.
Penguatan nilai tukar rupiah itu tidak lepas dari pergerakan arus modal investasi nonresiden. Berdasarkan data transaksi 5-8 Agustus 2024, investasi asing membukukan beli neto sebesar Rp 1,62 triliun di pasar keuangan domestik. Ini terdiri dari beli neto Rp 2,24 triliun di pasar SBN, beli neto Rp 0,65 triliun di pasar saham, serta jual neto Rp 1,28 triliun di SRBI.
Baca juga: BI Klaim Kebijakan Moneternya Manjur Tarik Modal Asing dan Stabilkan Rupiah
Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun hingga 8 Agustus 2024, nonresiden membukukan beli neto sebesar Rp 153,42 triliun di pasar keuangan domestik. Ini terdiri dari jual neto Rp 21,75 triliun di pasar SBN, beli neto Rp 174,51 triliun di SRBI, dan beli neto Rp 0,66 triliun di pasar saham.
”Seiring terbukanya ruang pemotongan suku bunga global yang turut akan menarik kembali investor asing ke pasar SBN, BI dapat melakukan exit strategy dengan perlahan mengurangi frekuensi lelang SRBI sehingga proses transisi akan smooth dan stabilitas rupiah dapat terjaga,” katanya.