Kemenkominfo: Pencatutan Data Pribadi Masuk Ranah Pidana
Masyarakat tak harus mengadu, tetapi penegak hukum bisa secara independen menginvestigasi.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan siap membantu aparat penegak hukum terkait pencatutan data warga Jakarta dalam Pilkada Jakarta. Kementerian siap memberikan pendapat guna memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur pidana sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dalam kasus tersebut.
Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Teguh Arifiyadi saat dihubungi, Jumat (16/8/2024), mengatakan, pengusutan kebocoran data itu berkaitan dengan pilkada sehingga di luar ranah Kemenkominfo. Namun, pihaknya siap membantu aparat penegak hukum memberikan pendapat dari ahli guna memastikan terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur pidana sesuai UU No 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).
Ketika ditanya apakah pencatutan data warga Jakarta itu terkait dengan kebocoran data Pusat Data Nasional (PDN) pada akhir Juni lalu, Teguh enggan berkomentar. Ia mengatakan PDN bukan ranah unitnya sehingga tak bisa berpendapat banyak. Namun, berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari media massa dan media sosial, data pencatutan memang berupa informasi terkait KTP milik penduduk Jakarta.
Keluhan warga Jakarta terhadap calon independen harus dibuktikan bahwa benar ada pencatutan identitas tanpa izin atau tanpa hak. ”Jika penggunaan KTP sebagai data pribadi dilakukan dengan melawan hukum, sudah pasti bisa dikenai pasal pidana,” ujar Teguh.
Baca juga: Mungkinkah Dharma-Kun Jadi Penantang Ridwan Kamil jika Anies Terganjal?
Setidaknya, pelaku dapat dijerat Pasal 67 Ayat (1) dan (3) dalam UU No 27/2022 tentang PDP. Dalam Ayat (1) tertulis, setiap orang yang sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya guna menguntungkan diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan subyek data pribadi dapat dipidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimum Rp 5 miliar. Ganjaran serupa berlaku pada Ayat (3) bagi tiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya.
”Dua delik pidana ini sebetulnya bukan delik aduan. Artinya, masyarakat tak harus mengadu, tetapi penegak hukum bisa secara independen menginvestigasi untuk proses secara hukum dan membuktikan apakah benar ada pidana dalam peristiwa tersebut,” tutur Teguh.
Masyarakat tak harus mengadu, tetapi penegak hukum bisa secara independen menginvestigasi.
Ia mengatakan, KPU harus menemukan mekanisme yang paling pas melalui sistem bahwa KTP yang diberikan calon independen memang betul dukungan warga. Data-data itu harus bisa diverifikasi secara faktual.
”Jadi, tidak hanya by document. Mekanisme bisa by system atau pengujian sampling komprehensif,” kata Teguh.
Banyak warga mengeluh karena identitas pribadinya dicatut sepihak sebagai syarat kelolosan bakal calon independen gubernur dan wakil gubernur Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang maju dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2024. Alih-alih mendukung, banyak warga yang tak mengenal, bahkan tidak mengetahui, sosok Dharma-Kun. Mereka menilai adanya penyalahgunaan data pribadi. Keluhan-keluhan itu berseliweran di beragam media sosial
Baca juga: Data Sejumlah Warga DKI Diduga ”Dicatut” untuk Dukung Dharma-Kun
Betseba (26), misalnya, mengetahui nomor induk kependudukan (NIK) KTP-nya dicatut setelah melihat informasi bahwa salah satu teman juga mengalami pencatutan identitas sepihak. Informasi ini juga ramai diberitakan media massa serta diperbincangkan di media sosial.
”Saya cek data melalui situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya ternyata data saya dicatut sebagai dukungan untuk calon independen Gubernur Jakarta, bahkan saya enggak tahu mereka itu siapa dan apa prestasinya,” ujar warga Jakarta Timur ini saat dihubungi, Jumat (16/8/2024). Ia amat menyayangkan kejadian itu karena, sebagai rakyat, ia merasa dibodohi, seolah tak memiliki kendali atas data pribadinya.
Kejadian yang sama dialami korban lain yang bahkan bukan warga Jakarta. Ary (38) telah mengubah data kependudukannya dari Jakarta Barat ke Tangerang Selatan, Banten, pada 2023. Itu artinya ia bahkan tak berhak memberi dukungan kepada calon independen dari Jakarta.
”Saya juga tidak tahu sama sekali nama-nama itu. Jadi, otomatis, tidak ada hubungan sama sekali dengan mereka,” katanya.
Baca juga: Dharma Pongrekun-Kun Wardana Lolos Jadi Pasangan Independen Pilgub Jakarta
Ia menilai peristiwa ini makin menunjukkan kinerja pemerintah yang sangat buruk sekaligus membuktikan sistem yang sangat rentan. ”Bagaimana bisa coba KPU meloloskan data tidak valid seperti itu?” kata Ary.
Ary berharap pemerintah lebih serius mengamankan data-data warga negara. Salah satunya bisa dimulai dengan Presiden yang seharusnya mengangkat menteri-menteri yang memang ahli sesuai bidangnya, termasuk Kemenkominfo.
Integritas dipertaruhkan
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai, pencatutan NIK secara sepihak merupakan lanjutan dari dugaan kebocoran data kependudukan pada periode-periode sebelumnya. Sebab, KPU serta dinas kependudukan dan pencatatan sipil pernah mengalami kebocoran data sehingga risiko perolehan data-data kependudukan juga makin besar.
”Ini yang membuka kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan data pribadi kependudukan itu. Sayangnya, tak pernah ada proses investigasi yang berkaitan dengan dugaan kebocoran-kebocoran data tersebut,” tutur Wahyudi.
Baca juga: Peretasan Terus Terjadi, Lembaga Pengawas PDP Pun Kian Mendesak Dibentuk
Belum lagi, ia melanjutkan, pihak swasta juga banyak mengumpulkan data kependudukan untuk proses identifikasi dan verifikasi pelanggan (KYC) hingga persyaratan pinjaman daring. Cara-cara ini juga memperbesar risiko memperoleh data dari sektor swasta.
Tak pernah ada proses investigasi yang berkaitan dengan dugaan kebocoran-kebocoran data tersebut.
”Artinya, kita sudah dalam situasi ketika integritas data kependudukan sangat-sangat rendah. Warga negara Indonesia tak memiliki integritas karena data-datanya sudah terlalu banyak tersebar, tak lagi memiliki kontrol penuh atas data-data, termasuk informasi yang disalahgunakan,” tutur Wahyudi.
Sebelumnya, kasus serupa pernah terjadi pada proses Pemilihan Umum 2024 saat verifikasi partai politik. Saat itu, banyak pencatutan sepihak data-data kependudukan warga yang didaftarkan sebagai anggota partai politik tertentu untuk kepentingan verifikasi KPU. Ironisnya, tak ada tidak lanjut dari KPU dan instansi lain, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kemenkominfo terkait hal itu dalam konteks perlindungan data.
Kebocoran data ini menunjukkan dua hal. Pada level penyelenggara publik, pemerintah belum memahami betul cara melindungi data-data pribadi untuk memproses data sesuai tujuan dan konteks dalam melayani warga.
Di level warga, kesadaran pribadi untuk melindungi serta memastikan data-data pribadi masih rendah. Tak pernah ada aduan atau tuntutan serius ketika data personal dicatut atau dieksploitasi. Padahal, hal itu penting untuk memastikan bagaimana pemulihan hingga ganti rugi dari pengelola data, institusi publik yang melanggar pelindungan data pribadi, kepada korban.
”Intervensinya pada pengendali data serta peningkatan kesadaran dalam literasi terkait pelindungan data,” kata Wahyu.
Langkah cepat
Oleh karena itu, sejumlah langkah harus segera dilakukan guna memastikan perlindungan hak warga sebagai calon pemilih. Hal ini berkaitan erat dengan integritas Pilkada 2024.
Wahyu merekomendasikan agar KPU segera memverifikasi ulang kandidat yang mengumpulkan dokumen persyaratan dengan melawan hukum, terutama berkaitan data pribadi pemilih dan memastikan kepatuhan terhadap UU PDP. Selain meningkatkan sumber daya manusia yang lebih berkompeten menjaga data pribadi, KPU juga perlu memberi informasi dan mengingatkan seluruh peserta pemilu agar mematuhi persyaratan yang ada.
Pasangan calon independen juga harus segera mengklarifikasi kepada masyarakat. Hal itu perlu diikuti dengan langkah-langkah pemusnahan data (data cleansing).
Badan Pengawas Pemilu juga wajib menjamin integritas dan berjalannya prinsip penyelenggaraan pemilu dengan memastikan KPU berjalan dalam koridor yang tepat. KPU dipastikan menjamin pelindungan data pribadi. Hal ini juga merupakan langkah perlindungan pemilih dan menjaga integritas pemilu.
Masyarakat yang dirugikan, Wahyu melanjutkan, juga memiliki hak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya. Hal ini tertuang dalam UU PDP Pasal 12.
Baca juga: Usut Tuntas Insiden Kebocoran Data