Penurunan produksi minyak secara alamiah menjadi tantangan utama industri hulu migas selain era energi bersih.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri hulu minyak dan gas bumi, khususnya pada minyak bumi, semakin menantang. Selain penurunan produksi secara alamiah, penuaan fasilitas, serta dimulainya era energi bersih, juga masih ada kendala birokrasi. Oleh karena itu, diperlukan terobosan oleh semua pihak, baik pemerintah, investor, serta industri penunjang guna mengatasi satu per satu persoalan yang ada di Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong, dalam salah satu sesi diskusi pada Supply Chain & National Capacity Summit, di Jakarta, Kamis (15/8/2024), mengatakan, penurunan produksi minyak secara alamiah menjadi salah satu tantangan utama. Apabila tidak diantisipasi, Indonesia dikhawatirkan semakin tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhaan minyak.
Menurut Marjolijn, upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menahan laju penurunan produksi saat ini belum cukup. ”Dikatakan SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) bahwa beberapa tahun ini berhasil menurunkan decline (penurunan produksi). Tetapi, kita butuhnya naik. Sekarang saja kita impor (minyak), apalagi kalau memerlukan lebih banyak lagi. Tantangannya memang besar,” ujarnya.
Seperti diketahui, sejak 2004, Indonesia menjadi negara net importer minyak atau negara pengimpor bersih minyak. Dengan produksi siap jual atau lifting minyak yang terus menurun, mau tidak mau kebutuhan dalam negeri dipenuhi impor. Menurut data Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, impor minyak mentah Indonesia pada 2023 sebesar 123,21 juta barel atau meningkat dari 2022 yang 104,72 juta barel.
Tantangan lainnya, kata Marjolijn, ialah penuaan infrastruktur yang pengoperasiannya membutuhkan biaya tambahan. Selain itu, situasi geopolitik juga turut memengaruhi permintaan dan harga. Di Indonesia, urusan perizinan juga dinilainya belum ada perbaikan signifikan sehingga menjadi hambatan untuk mengakselerasi peningkatan kinerja industri migas.
”Sekarang juga kita masuk ke era transisi energi. Jadi, bagaimana kita menurunkan emisi yang berarti membutuhkan lebih banyak biaya serta waktu untuk pengembangannya. Sementara dari sisi sosial, (pelaku industri migas) dianggap 'the bad guy' (karena energi fosil). Itu harus dijawab dengan bagaimana agar produksi energi bertambah, tetapi juga menurunkan emisi,” ujar Marjolijn.
Kendati masuk dalam energi fosil, lanjut Marjolijn, migas ke depan sejatinya tetap akan dibutuhkan seiring pertumbuhan ekonomi. Artinya, meskipun secara persentase turun karena adanya energi terbarukan, volume migas bakal bertambah. Ini menjadi tantangan dalam pemenuhannya.
Untuk menghadapi sederet tantangan tersebut, lanjut Marjolijn, semua pihak, baik pemerintah, investor, maupun industri penunjang, perlu duduk bersama. ”(Membicarakan) apa breakthrough (terobosan) yang bisa kita lakukan untuk melakukan percepatan. (Ini) Dilakukan dengan paralel,” ucap Marjolijn.
Bagaimana agar produksi energi bertambah, tetapi juga menurunkan emisi.
Kepala Divisi Optimalisasi Cadangan SKK Migas Sri Andaryani menuturkan, pihaknya terus melakukan upaya-upaya guna menahan penurunan laju produksi. Sejak 2020 hingga 2023, program kerja pengeboran pun dilipatgandakan, seperti pengerjaan ulang sumur produksidan perawatan rutin. Itu semua demi menjaga produksi minyak yang dihasilkan dari sumur-sumur yang ada.
”Hasilnya, kita sudah menekan penurunan produksi, dari sebelumnya 5-7 persen per tahun menjadi 1,1 persen per tahun. Ke depan, pengeboran (sumur pengembangan) tetap di atas 900 (sumur), lalu workover (pengerjaan ulang sumur produksi) berkisar 800-900 (sumur), dan well service (perawatan rutin) sekitar 35.000 (kegiatan),” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan kondisi lapangan yang tua (mature), dibutuhkan berbagai teknologi guna memecahkan masalah penurunan produksi. Hal tersebut menjadi tantangan dan terus diupayakan bersama oleh para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Mitigasi juga terus dilakukan karena, jika tidak, akan bisa berdampak pada biaya serta keekonomian.
Penguatan rantai pasok
Upaya lainnya adalah dengan penguatan rantai pasok. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menuturkan, penguatan rantai pasok diperlukan untuk menunjang industri hulu migas ke depan. Salah satunya dengan optimalisasi penggunaan produk dalam negeri. Begitu juga dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia di bidang hulu migas.
Hal tersebut penting di tengah tantangan industri hulu migas yang semakin kompleks. Apalagi, akan ada sejumlah pekerjaan besar ke depan, termasuk proyek strategis nasional hulu migas, yang ditargetkan mulai berproduksi pada rentang 2027 hingga 2030.
”Melalui penguatan rantai pasok yang efisien dan terintegrasi, SKK Migas berkepentingan memastikan bahwa proyek strategis hulu migas berjalan sesuai jadwal. Juga memberikan kontribusi signifikan terhadap produksi energi nasional,” ujar Dwi.
Supply Chain & National Capacity Summit 2024 mengangkat tema ”Navigating Long Term Plan Through Integrated Supply Chain for National Capacity Building”. Acara tersebut dirancang untuk memperkuat kolaborasi serta mempersiapkan industri hulu migas dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan. Terlebih, migas masih akan dibutuhkan dalam transisi energi.