Keuntungan dan Risiko Bekerja dari Rumah untuk Perusahaan Luar Negeri
Berdasarkan data ILO, markas 60 persen perusahaan platform ekonomi digital besar terkonsentrasi di AS dan Uni Eropa.
Pesatnya perkembangan industri teknologi digital membuka peluang bekerja dengan berbagai macam orang di belahan dunia mana pun. Teknologi memungkinkan orang bekerja dari jarah jauh, bahkan lintas negara, dengan tetap terhubung secara unit. Kini, opsi bekerja dari jarak jauh terbuka lebar, berikut keuntungan dan risikonya.
Zain Fathoni (33), warga Yogyakarta, mengambil tawaran bekerja jarak jauh (remote worker) sebagai senior front-end engineer di salah satu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang software-as-a-service (SaaS) atau perangkat lunak untuk layanan e-dagang. Keputusan ini ia ambil setelah 10 tahun bekerja kantoran sebagai karyawan bidang teknologi informasi komunikasi (TIK) di Jakarta dan Singapura.
Informasi soal lowongan kerja tersebut datang dari tawaran seorang teman. Singkat cerita, ia diterima bekerja di perusahaan asal Amerika Serikat itu. Empat bulan sudah ia melakoni pekerjaan barunya.
Saya beberapa kali melamar pekerjaan, tetapi terbilang lumayan susah menemukan perusahaan yang benar-benar mau menerima karyawan full remote.
Profesi ini memungkinkan Zain bekerja dari Yogyakarta. Mengejar fleksibilitas dan keseimbangan hidup, yakni antara bekerja dan tetap memiliki waktu berkualitas bersama keluarga, menjadi pertimbangan saat memutuskan mengambil pekerjaan ini.
Lewat model bekerja jarah jauh tersebut, Zain misalnya bisa tetap memantau anaknya yang home schooling sambil bekerja. Ia juga tetap dapat mengerjakan tugas pekerjaan sembari mengajak anaknya liburan.
”Memang, ketika saya masih bekerja sebagai karyawan di Jakarta lalu pindah ke Singapura, saya sudah berpikir untuk bekerja jarak jauh dari Indonesia. Saya beberapa kali melamar pekerjaan, tetapi terbilang lumayan susah menemukan perusahaan yang benar-benar mau menerima karyawan full remote,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Kamis (15/8/2024), di Jakarta.
Beda waktu
Zain bercerita, rekan-rekan kerjanya sekarang datang dari berbagai negara, seperti Chile, Australia, Amerika Serikat, dan Belarus. Semua komunikasi sehari-hari menggunakan platform media komunikasi yang sudah disediakan oleh perusahaan.
Perbedaan waktu membuat Zain harus pandai-pandai mengatur jam kerja. Meski demikian, dia merasa tetap menikmati. Dia menilai lebih baik menyiasati waktu bekerja jarak jauh supaya tetap bisa menghasilkan output pekerjaan yang optimal ketimbang harus bermacet-macet di jalanan pergi-pulang kantor setiap hari.
Setiap dua minggu sekali, perusahaan membuat sistem agar sesama karyawan yang bekerja jarak jauh, tetapi beda tim, untuk terkoneksi sehingga saling kenal. Setiap tahun, perusahaan juga menggelar ”kopi darat” karyawan di satu kota di satu negara untuk keakraban.
Urusan pendapatan, dia mengaku, gaji yang dia terima per bulan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saat dia bekerja sebagai karyawan kantoran di Jakarta ataupun Singapura. Zain menduga ini karena perusahaan mengikuti tarif upah di negara asal perusahaan.
”Pekerjaan sebagai front-end engineer itu berkaitan dengan tampilan muka suatu laman atau aplikasi. Sebenarnya, pekerjaan seperti ini selayaknya pekerjaan terkait perangkat lunak amat bisa dilakukan jarak jauh. Tantangannya terletak pada komunikasi dengan anggota tim yang lain,” katanya.
Baca juga: Meski Banyak PHK, Permintaan Kerja di Bidang Teknologi Masih Tinggi
Tidak semua pengembang (developer), menurut Zain, mampu bekerja jarak jauh, apalagi untuk perusahaan di luar negeri. Selain teknik, keterampilan berkomunikasi, berkoordinasi, dan membangun jejaring pertemanan amat perlu dikuasai.
”Lowongan bekerja jarak jauh, apalagi perusahaan dari luar negeri, akan selalu ada. Terus bermunculan. Namun, jika dibandingkan dengan total lowongan pekerjaan, sepertinya masih sedikit. Kuncinya memang harus aktif membangun jaringan pertemanan profesional, termasuk pertemanan di komunitas,” tutur Zain.
Berawal dari magang
Aurelio Nathanael (20), warga asal Semarang, Jawa Tengah, juga memiliki pengalaman bekerja jarak jauh untuk salah satu perusahaan TIK di Jepang. Sejak Desember 2023, dia melakoni model bekerja ini sebagai analis bisnis. Perusahaan TIK tempatnya bekerja memiliki klien dari berbagai negara di kawasan Eropa dan Indonesia, selain dari Jepang sendiri.
”Awalnya memang saya magang enam bulan di perusahaan itu. Lalu, setelah masuk bulan ketujuh, saya ditawari bekerja jarak jauh dari Semarang. Perusahaan melihat performa saya sungguh baik dalam menangani berbagai proyek yang melibatkan klien internasional,” katanya.
Nathan, begitu sapaannya, merasa hal itu sebagai pengalaman yang akan membantu perkembangan kariernya ke depan. Selain mengasah kemampuan teknik di bidang ilmu komputer, dia bisa menangani klien mancanegara.
Tantangannya terletak pada komunikasi. Harus terbiasa berbahasa Inggris dan paham gaya komunikasi setiap negara.
Profesi baru ini juga memperdalam kemampuan sebagai analis bisnis, memperlancar kemampuan bahasa asing, dan melatih manajemen komunikasi saat berhadapan dengan warga negara asing. Antara lain atas pertimbangan itu, dia menerima tawaran kerja jarak jauh sembari harus menyelesaikan kuliahnya.
”Tantangannya terletak pada komunikasi. Harus terbiasa berbahasa Inggris dan paham gaya komunikasi setiap negara. Hanya saja, secara gaji dan tunjangan penghasilan lebih banyak,” ucapnya.
Berbagai tawaran bekerja jarak jauh yang di antaranya mensyaratkan keterampilan bidang TIK, menurut Nathan, sekarang banyak bermunculan. Profesi sebagai asisten virtual, misalnya, juga kini semakin terbuka menerima klien dari luar negeri dan mengerjakannya dari Indonesia.
Asisten virtual
Founder SGB VA, Tatiana Gromenko, saat dihubungi pada Selasa (13/8/2024) dari Jakarta, mengatakan, pekerjaan seorang asisten virtual (virtual assistent/VA) biasanya membantu wirausaha, termasuk bidang ekonomi digital, untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan administrasi. Misalnya, membuat perencanaan perjalanan, jadwal agenda pertemuan, mengorganisasi suatu acara, data, pemasaran surel, dan pemasaran media sosial.
SGB VA adalah tempat kursus yang membantu individu memperoleh keterampilan untuk menjadi asisten virtual profesional dan dapat bekerja secara jarak jauh dari negara mana pun.
Tren permintaan jasa sebagai VA akan tetap meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Profesi sebagai VA, ia melanjutkan, sudah populer sejak 10 tahun lalu dan semakin populer sejak pandemi Covid-19. Dia mengamati, banyak pemilik usaha merasa pekerjaan-pekerjaan administrasi seperti itu bisa dilakukan oleh seorang pekerja dari jarak jauh sehingga memangkas biaya operasional.
Tatiana memperkirakan, tren permintaan jasa sebagai VA akan tetap meningkat pada tahun-tahun mendatang. Apalagi, saat ini tersedia aneka platform digital yang memudahkan seorang VA dengan pemberi kerja, seperti Upwork dan Linkedin. Di komunitas, para VA pun aktif memberikan info lowongan pekerjaan.
Lebih dari 10.000 orang mengikuti kursus berbayar sebagai VA di SGB VA. Mereka datang dari berbagai latar belakang usia, mulai dari 20 tahun hingga di atas 50 tahun. Selama kursus, peserta diajari langkah-langkah menjadi VA, seperti membangun portofolio.
Kebanyakan dari total peserta kursus telah bekerja untuk klien-klien mancanegara, seperti dari Malaysia, Kanada, dan Singapura. Mereka bisa memperoleh penghasilan layak tanpa harus ke kantor ataupun meninggalkan pekerjaan utama dan peran pengasuhan anak.
Sebagai gambaran, untuk VA pemula, hanya dengan bekerja per tiap 2 jam per hari untuk satu klien, bisa meraup total upah Rp 4 juta per bulan. Seorang VA bisa bekerja untuk lebih dari satu klien.
Mobilitas pekerja berkurang
Country Marketing Manager Jobstreet by Seek di Indonesia Sawitri Hertoto mengatakan, terdapat peningkatan jumlah tenaga kerja Indonesia yang bersedia untuk melakukan kerja model jarak jauh, yakni dari 55 persen pada 2020 menjadi 71 persen pada 2023. Ia merujuk data ini dari laporan Seek Decoding Global Talent 2024.
Dia meyakini fenomena seperti itu juga terjadi dalam lingkup wilayah Asia Tenggara dan global. Peningkatan minat bekerja jarak jauh ini berbanding terbalik dengan tingkat ketertarikan pekerja untuk bekerja di luar negeri yang cenderung menurun.
Baca juga: Indonesia Masuk Negara yang Memiliki Pekerja Platform Daring Terbanyak
Untuk tenaga kerja Indonesia, ada penurunan minat bekerja dengan pindah ke luar negeri dari 82 persen pada 2018 menjadi 67 persen pada 2023. Sementara di global, ada penurunan minat dari 71 persen pada 2018 menjadi 63 persen pada 2023.
”Bekerja jarak jauh memungkinkan pekerja untuk mendapatkan beberapa manfaat bekerja dengan perusahaan dari luar negeri. Misalnya, pengalaman kerja yang baru dan kompensasi yang lebih menarik tanpa perlu menghadapi hambatan seperti masalah imigrasi, izin kerja dan visa, biaya relokasi, kendala bahasa, dan kesulitan membawa keluarga,” ucap Sawitri.
Rawan
Meski bekerja jarak jauh, apalagi untuk perusahaan bidang TIK di luar negeri, tampaknya menggiurkan, ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai. Sebagai contoh, upah lebih murah daripada yang diperjanjikan. Laporan jurnalisme ”The Platform Proletariat” yang diunggah di laman Pulitzercenter.org, Kamis (22/7/2024), mengelaborasi persoalan ini.
Laporan ini mengungkapkan, Brasil sudah menjadi salah satu pasar terbesar bagi perusahaan teknologi besar yang merekrut tenaga kerja digital murah. Para peneliti menunjukkan, pandemi mengintensifkan proses ini dalam beberapa tahun terakhir. Krisis ekonomi Brasil dan keinginan untuk tinggal di rumah, serta meningkatnya konsumsi media sosial dan internet menjadi kombinasi yang efektif.
Tidak ada data yang dapat diandalkan tentang berapa banyak warga Brasil yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan ini sebagai referensi untuk regulasi ketenagakerjaan atau kebijakan perlindungan.
Artinya, posisi hukum pekerja sangat lemah.
Lilian, salah satu warga Brasil, bukan nama sebenarnya, mulanya merupakan pekerja kantoran. Ia kemudian memutuskan bekerja dengan model jarak jauh di Appen, sebuah platform yang menyubkontrakkan pekerja untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat dari perusahaan-perusahaan teknologi besar untuk produksi, klasifikasi, dan analisis data.
Lilian bekerja enam hari kerja dengan jadwal yang fleksibel. Namun, ia hanya dibayar 250 dollar AS per bulan, tanpa jaminan sosial.
Bisnis-bisnis seperti tempat Lilian bekerja umumnya tidak memiliki perwakilan hukum di Brasil. Artinya, posisi hukum pekerja sangat lemah.
Sisi gelap lainnya adalah adanya risiko lowongan pekerjaan bodong. Beredar di media sosial, informasi lowongan pekerjaan bodong biasanya mengiming-imingi fleksibilitas bekerja jarak jauh dengan nominal upah yang fantastis.
Ada yang bodong
Dalam lingkup profesi sebagai VA pun, Tatiana membenarkan lowongan pekerjaan bodong marak. Berdasarkan pengamatannya, pemberi kerja palsu biasanya kirim pesan lewat akun media sosial dan menawarkan upah 10.000 dollar AS per hari. Tawaran seperti ini, meski menggiurkan, jelas menyesatkan. Dia berulang kali memperingatkan agar peserta kursusnya tidak tertipu.
Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo, saat dihubungi pada Kamis (15/8/2024), di Jakarta, berpendapat, ekonomi gig yang salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan industri TIK terbukti membuka peluang bisnis, penghasilan, dan lapangan pekerjaan baru, terutama untuk jenis pekerjaan berkarakter fleksibel dan minim hambatan sehingga cocok bagi pencari kerja yang kesulitan mengakses pasar kerja.
Baca juga: Menanti Janji Regulasi Perlindungan Pekerja Gig
Masalah yang belum terpecahkan ialah memastikan para pekerjanya dapat mengakses kerja layak setidaknya sesuai standar perburuhan internasional. Dalam hal kerja layak, Indonesia masih gagap dalam memberikan pelindungan bagi pekerja ekonomi gig yang terkait klasifikasi hubungan kerja, remunerasi, waktu kerja, pemutusan kontrak kerja, mekanisme perselisihan industrial, kebebasan berserikat, dan jaminan sosial.
”Kompleksitas pengaturan ekonomi gig dan pelindungan pekerjanya bertambah karena mayoritas perusahaan platform digital itu berada di luar negeri. Berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO), markas 60 persen perusahaan platform ekonomi digital besar terkonsentrasi di negara Uni Eropa atau Amerika Serikat,” katanya.
Ikhsan menambahkan, Sindikasi mendorong negara melibatkan serikat pekerja untuk mulai mengatur tata kelola ekonomi gig yang bukan hanya berorientasi pada bisnis, melainkan juga implementasi kerja layak. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga harus aktif mendorong pengaturan ekonomi gig pada forum internasional.
Sementara itu, Guru Besar Bidang Sistem Informasi Universitas Katolik Soegijapranata Ridwan Sanjaya berpendapat, kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka ikut memengaruhi berbagai kampus mendorong mahasiswanya untuk magang, termasuk magang pada perusahaan di luar negeri, tanpa pembekalan literasi digital dan pasar kerja yang cukup.
Kampus dapat berperan memberikan literasi sisi positif dan potensi negatif dari pasar tenaga kerja yang sedang berkembang.
Mahasiswa, dia melanjutkan, mungkin juga mendapatkan kebebasan untuk memilih pekerjaan magang dari internet yang diharapkan bisa memudahkan terserap pasar kerja setelah lulus.
”Saat ini akses informasi terbuka secara global, mudah diakses, dan murah. Jadi, informasi lowongan pekerjaan dengan model bekerja jarak jauh pada perusahaan asing pun mudah diakses. Kampus dapat berperan memberikan literasi sisi positif dan potensi negatif dari pasar tenaga kerja yang sedang berkembang,” katanya.