Potensi Raksasa Energi Surya Belum Teroptimalkan, Kenapa?
Kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya baru 675 MW. Padahal, dalam RUEN ada target 6,5 GW pada 2025.
Berada di garis katulistiwa dan beriklim tropis, Indonesia sejatinya terlimpah potensi energi surya. Bahkan, dari total potensi sumber daya energi terbarukan Indonesia yang 3,6 juta megawatt, 3,2 juta megawatt di antaranya ialah energi surya. Namun, hingga kini, untuk mengejar kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya sebesar 1 gigawatt saja sulit. Apa saja hambatan dan tantangan pemanfaatannya?
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Juni 2024, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan di Indonesia sebesar 13.781 megawatt (MW). Dari jumlah tersebut, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) baru 675 MW. Tertinggi ialah air 6.761 MW, disusul bioenergi 3.428 MW, dan panas bumi 2.646 MW.
Sejak 2019, kapasitas terpasang PLTS hanya bertambah sekitar 533 MW. Padahal, sejak beberapa tahun lalu lalu, peningkatan pemanfaatan energi surya terus didorong agar memasuki orde gigawatt (mencapai kapasitas 1 GW/1.000 MW). Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang berlaku, kapasitas terpasang PLTS diproyeksikan sebesar 6.500 MW pada 2025. Sementara saat ini, 2024, masih 675 MW.
Perekayasa Ahli Utama pada Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Arya Rezavidi dalam diskusi menjelang Indonesia Solar Summit 2024, yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (13/8/2024), mengatakan, ada sejumlah tantangan yang membuat energi surya atau solar photovoltaic (PV) belum termanfaatkan optimal.
Pertama ialah terkait target-target energi terbarukan, termasuk PLTS, yang kerap tak tercapai serta minim evaluasi. Kedua ialah harga energi terbarukan yang masih terbilang tidak menarik bagi pengembang. ”Sebab, harga energi terbarukan selalu dibandingkan dengan biaya pembagkit energi fosil yang tidak memperhitungkan biaya eksternal,” kata Arya.
Selain itu, sifat intermitensi (dipengaruhi faktor cuaca) pada PLTS juga kerap kali menjadi penyebab belum optimalnya pengembangan pembangkit itu. Dibutuhkan teknologi sistem penyimpanan energi baterai guna mengatasi hal itu. Namun, akan dibutuhkan biaya lebih untuk itu.
Baca juga: Solusi Tantangan Transisi Energi lewat PLTS Terapung Saguling
Tantangan lainnya, imbuh Arya, yakni masih relatif minimnya insentif pada PLTS sehingga harus langsung bersaing dengan pembangkit jenis lain yang sudah lama berkembang. Selain itu, belum siapnya rantai pasok industri serta daya saing industri panel surya di Indonesia juga turut memengaruhi lambatnya perkembangan energi surya.
Melihat sederet tantangan tersebut, menurut Arya, perlu ada kemauan politik (political will) yang kuat terkait target pengembangan energi surya di tingkat nasional. Target pun didorong rasional serta terarah. ”Juga, ada kerangka kebijakan regulasi yang mendukung, beserta turunannya. Jadi, antara satu regulasi dan regulasi lain tak saling mematikan. Selain itu, harus konsisten,” ujarnya.
Selain itu, dalam hal mobilisasi investasi, ia mendorong pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta swasta bersinergi untuk menggaet pendanaan dalam pengembangan energi surya. Keterlibatan berbagai pihak dalam rangka pemanfaata energi surya untuk mendukung emisi nol bersih (NZE) 2060 penting.
Rendahnya permintaan
Analis sistem ketenagalistrikan dan energi terbarukan IESR Alvin Putra menuturkan, lambatnya pengembangan energi surya antara lain karena industri manufaktur modul surya belum berkembang sesuai harapan. Itu tak terlepas dari masih relatif rendahnya permintaan dari dalam negeri. Proyek-proyek pembangunan PLTS dalam rangka mengejar target-target realisasi energi terbarukan perlu dipacu.
Ia menambahkan, insentif yang diberikan dalam pengembangan PLTS di Indonesia juga belum memadai sehingga pembangunan masif belum terjadi. ”Negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan China sudah lebih dulu mengembangkan sehingga lebih terintegrasi serta hemat biaya. Namun, kita juga bisa belajar dari Malaysia yang memberi kebebasan pajak 100 persen untuk usaha-usaha perintis,” ujar Alvin.
Baca juga: Nelayan ”Banting Jaring” Jadi Tenaga Pemasangan PLTS
Alvin pun mendorong Indonesia perlu meningkatkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan global dalam pengembangan energi surya. ”Lalu, didukung dengan regulasi (kepastian hukum). Sebab, dalam beberapa tahun terakhir aturan terkait PLTS sudah berubah lima kali,” katanya.
Sementara itu, Chief Financial Officer PT Trina Mas Agra Indonesia, perusahaan pengembang modul dan sel surya di Indonesia, Wilson Kurniawan mengatakan, dari sisi perusahaan, industri sel dan modul surya memerlukan dukungan berupa kepastian serta percepatan permintaan (demand). Selain itu, prioritas penggunaan panel surya produksi dalam negeri, serta regulasi dan inisiatif untuk menumbuhkan industi pendukung panel surya.
Di samping itu, ia mendorong peningkatan investasi hulu modul surya serta pengenaan bea impor untuk melindungi pabrikan dalam negeri. Ia pun meminta kebijakan pemerintah lebih konsisten, seperti dalam ketentuan terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
PLTS terapung
Selain berbagai persoalan menyangkut regulasi, insentif, rendahnya permintaan, hingga persaingan dengan pembangkit energi fosil, tantangan lain dari pengembangan PLTS di darat ialah sulit serta mahalnya pembebasan lahan. Oleh karena itu, selain dengan pemanfaatan atap (PLTS atap), pemerintah juga menggencarkan pembangunan PLTS terapung yang memanfaatkan permukaan perairan, seperti waduk dan bendungan.
PLTS Terapung Cirata, yang memanfaatkan genangan Waduk Cirata, di Jawa Barat, menjadi proyek PLTS terapung pertama di Indonesia sekaligus terbesar di Asia Tenggara. PLTS terapung hasil kerja sama PLN Nusantara Power dan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Masdar, itu berkapasitas 192 megawatt-peak (MWp) tersebut telah beroperasi sejak 2023.
Baca juga: Relaksasi Penggunaan Produk Domestik Bakal Ungkit Jumlah Proyek Energi Terbarukan
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi mengatakan, PLTS terapung ditargetkan berkembang masif seiring turunnya harga komponen modul surya global. Aturan yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga memungkinkan pemanfaatan bendungan hingga 20 persen dari luas genangan.
Menurut Eniya, saat ini, pemerintah fokus pada pengembangan PLTS terapung pada permukaan genangan waduk serta bendungan. ”Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan serta meraih net zero emission (NZE) lebih cepat dari (target) tahun 2060,” ujarnya.
Keberhasilan pengoperasian PLTS Terapung Cirata mendorong pengembangan jenis energi terbarukan yang sama di lokasi-lokasi lain. Saat ini, ada puluhan lokasi yang masuk dalam rencana pembangunan PLTS terapung selanjutnya, dengan tambahan kapasitas total sekitar 2.000 MW. Di antaranya ialah PLTS Terapung Saguling (Jabar), PLTS Terapung Singkarak (Sumatera Barat), dan PLTS Terapung Karangkates (Jawa Timur).
Baru-baru ini juga terbit Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang diundangkan pada 30 Juli 2024. Di samping itu, terbit pula Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Modul Surya.
Itu dalam rangka meringankan ketentuan TKDN, yang sebelumnya diatur Permenperin Nomor 54 Tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (kini telah dicabut). Selama ini, aturan mengenai TKDN dinilai menghambat pengembangan energi tebarukan yang membuat sejumlah proyek tertunda.
Dalam peraturan baru, relaksasi pada PLTS diberikan dengan dua syarat. Pertama ialah pembangkit dengan perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA) paling lambat ditandatangani 31 Desember 2024. Kedua, operasi komersial (COD) paling lambat 30 Juni 2026.
Pemberian relaksasi tersebut ialah dibolehkannya impor modul surya hingga 30 Juni 2025 dengan ketentuan perusahaan berkomitmen investasi untuk memproduksi modul surya di dalam negeri. Selain itu, juga memenuhi ketentuan TKDN modul surya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan bidang perindustrian.
Selain itu, catatan Kompas, pengembangan PLTS atap terkendala kondisi kelebihan kapasitas (over capacity) pada sistem kelistrikan Jawa Bali. Dengan kondisi tersebut, listrik yang dihasilkan dari PLTS atap diarahkan untuk dikonsumsi untuk rumah tangga atau industri sendiri. Artinya, jika ada kelebihan daya yang dihasilkan tidak bisa diekspor atau dijual ke PLN.
Namun, seiring telah tumbuh kembalinya perekonomian pascapandemi Covid-19, Alvin Putra meyakini, persoalan kelebihan kapasitas pada sistem Jawa Bali bisa tuntas dalam 2-3 tahun ke depan. Dengan demikian, diharapkan berbagai kendala terkait kondisi kelebihan pasokan PLN tersebut bisa tak lagi menjadi penghalang dalam pengembangan energi surya.
Kini, kolaborasi Indonesia ataupun PLN dengan perusahaan tingkat global dalam pengembangan energi surya terus tumbuh. Di sisi lain, industri manufaktur modul surya juga mulai hadir. Sinyal positif itu perlu disertai evaluasi terkait dengan melesetnya sejumlah target yang sebelumnya ditetapkan. Kepastian hukum juga menjadi elemen penting dalam menjaga iklim investasi.