Pelemahan Daya Beli dan Peredaran Barang Ilegal Gerus Ritel Modern
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia memperkirakan kinerja ritel modern pada semester I-2024 hanya tumbuh 4,8-4,9 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ritel modern tengah tergerus pelemahan daya beli serta peredaran barang ilegal dan bekas. Kondisi itu menjadi beban bagi para peritel modern di tengah tantangan perubahan perilaku belanja konsumen di era perkembangan teknologi digital.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan, kinerja ritel modern pada semester I-2024 hanya tumbuh berkisar 4,8-4,9 persen secara tahunan. Pada semester II-2024, pertumbuhannya diperkirakan stagnan, bahkan berpotensi turun.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey, Rabu (14/8/2024), mengatakan, perlambatan pertumbuhan kinerja ritel pada 2024 dipengaruhi pelemahan daya beli, serta peredaran barang ilegal dan bekas. Lesunya daya beli masyarakat itu terlihat dari sejumlah indikator.
Salah satunya adalah deflasi yang terjadi selama tiga bulan beruntun. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi pada Mei, Juni, dan Juli 2024. Masing-masing deflasinya sebesar 0,03 persen, 0,08 persen, dan 0,18 persen.
Baca juga: Inflasi Beras dan Biaya Pendidikan Terjadi di Tengah Deflasi Bulanan
Menurut Roy, deflasi tersebut lebih mencerminkan penurunan permintaan, bukan kelebihan penawaran. Permintaan turun lantaran banyak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni sekitar 30.000 orang sejak awal 2024. Selain itu, jumlah pekerja informal juga semakin bertambah.
”Mereka yang di-PHK tidak akan lebih memprioritas belanja makanan dan minuman ketimbang belanja lainnya. Para pekerja informal juga kurang lebih sama,” katanya dalam Gambir Trade Talk #15 bertajuk ”Transformasi Ritel Modern di Era Digitalisasi: Peluang dan Tantangan” yang digelar Badan Kebijakan Perdagangan di Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Permintaan turun lantaran banyak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yakni sekitar 30.000 orang sejak awal 2024.
Berdasarkan data BPS, dalam lima tahun terakhir, 2019-2024, jumlah pekerja sektor informal di Indonesia bertambah. Pada Februari 2019 jumlahnya masih 74,09 juta orang atau 57,27 persen dari total penduduk bekerja. Kemudian pada Februari 2024, jumlahnya naik menjadi 84,13 juta orang atau 59,17 persen dari total penduduk bekerja.
Dari sisi penawaran, lanjut Roy, kinerja industri manufaktur nasional justru tengah lesu. Hal itu tergambar dari Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia yang terus turun sejak Maret 2024. Bahkan, pada Juli 2024, PMI tersebut justru berada di bawah ambang batas ekspansi, yakni 50.
Data S&P Global menunjukkan, PMI Manufaktur Indonesia pada Maret-Juni 2024 secara berurutan adalah sebesar 54,2, 52,9, 52,1, dan 50,7. Kemudian pada Juli 2024, PMI tersebut justru terkontraksi atau turun menjadi 49,3.
”Selain deflasi, pelemahan daya beli juga terindikasi dari tergerusnya tabungan kelas menengah. Tidak heran jika muncul istilah mantab atau makan tabungan,” kata Roy.
Baca juga: Belanja Kelas Menengah-Atas Turun, Ritel Modern Berinovasi
Di samping lesunya daya beli, Roy juga menyebutkan peredaran barang ilegal dan bekas turut menggerus kinerja ritel modern. Barang-barang impor tersebut masuk ke Indonesia tanpa terpantau dengan baik. Barang-barang itu juga dijual dengan harga relatif murah, baik secara daring maupun luring.
”Pakaian bekas, misalnya, mudah sekali mendapatkannya di toko-toko daring, bahkan di pusat-pusat keramaian. Ada yang masih mempertahankan merek jenama ternama. Ada juga yang diganti merek lain,” katanya.
Untuk itu, Aprindo berharap ada penguatan daya beli, terutama bagi kelas menengah dan bawah. Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan perdagangan barang-barang ilegal dan pakaian bekas agar tidak merugikan pelaku usaha dalam negeri.
Peluang pertumbuhan
Dalam acara itu, juga terungkap peluang pertumbuhan ritel di tengah berbagai tantangan, termasuk di era pesatnya perkembangan teknologi digital. Ritel bisa tetap tumbuh di kawasan-kawasan pertumbuhan baru, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), dan bertransformasi menjadi ritel omnichannel.
Ritel omnichannel merupakan salah satu model bisnis ritel melalui berbagai platform yang bertujuan untuk menyajikan pengalaman berbelanja konsumen. Platform itu mengintegrasikan toko daring, toko fisik, aplikasi seluler, media sosial, bahkan jaringan logistik.
IKN menjadi salah satu peluang peritel modern untuk meningkatkan ekspansi usaha.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kasan Muhri menuturkan, IKN menjadi salah satu peluang peritel modern untuk meningkatkan ekspansi usaha. Hal itu mengingat potensi kebutuhan makanan dan minuman serta kebutuhan harian lain di ibu kota baru cukup besar.
Dengan pembangunan ritel modern di dalam kawasan itu, pertumbuhan ekonomi baru akan terbentuk. ”Namun, saya belum mendengar ritel modern mau buka di IKN. Padahal hotel, rumah sakit, lembaga pendidikan, bahkan pusat pelatihan olahraga mulai berinvestasi di sana,” katanya.
Baca juga: Pengembang Mulai Merapat ke IKN
Dalam forum yang sama, Direktur Perdagangan, Investasi, dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Laksmi Kusumawati menyatakan optimistis ritel modern di Indonesia akan terus tumbuh. Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia menunjukkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Juli 2024 sebesar 212 atau tumbuh 4,3 persen secara tahunan.
Beberapa kelompok barang yang pertumbuhan penjualannya cukup signifikan adalah suku cadang dan aksesori, makanan dan minuman, tembakau, bahan bakar kendaraan bermotor, serta subkelompok sandang dan barang lain. ”Pada 3-6 bulan ke depan, ekspektasi penjualan eceran diperkirakan akan terus meningkat,” kata Laksmi.
Pada 3-6 bulan ke depan, ekspektasi penjualan eceran diperkirakan akan terus meningkat.
Ia juga menyebutkan, peningkatan kinerja ritel modern bakal ditopang e-dagang. Secara global, e-dagang diperkirakan bakal menyumbang 24 persen penjualan ritel pada 2027. Kontribusi tersebut meningkat dibandingkan 2023 yang sebesar 21 persen.
Pada 2022-2027, nilai e-dagang ritel global berpotensi meningkat hingga 1,4 triliun dollar AS. Sekitar 64 persen potensi tersebut diperkirakan berasal dari negara-negara berkembang, termasuk China, India, dan Indonesia.
”Oleh karena itu, mau tidak mau, ritel modern di Indonesia harus mengadopsi teknologi digital. Salah satu model bisnis yang bisa dikembangkan adalah ritel omnichannel,” ujar Laksmi.
Ritel modern, lanjut Laksmi, juga bisa menerapkan teknologi internet untuk segala (IoT). Dengan mengadopsi teknologi itu, operasional ritel bakal lebih efisien, kebiasaan belanja konsumen dapat dimonitor, serta inventarisasi barang menjadi lebih tertata dan terjaga secara real time.
Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi e-dagang di Indonesia pada 2023 sebesar Rp 453,75 triliun atau turun 4,73 persen secara tahunan. Meskipun begitu, volume transaksi e-dagang itu tetap tumbuh dari 3,49 miliar transaksi pada 2022 menjadi 3,37 miliar transaksi pada 2024.
Pada 2024, nilai transaksi e-dagang di Indonesia diprediksi tumbuh 2,8 persen menjadi Rp 487 triliun. Kemudian pada 2025, nilai tersebut bakal meningkat 3,3 persen menjadi Rp 503 triliun.