PPN Ditengarai Tetap Naik, Daya Beli Masyarakat Semakin Tertekan
Barang harian yang bakal naik harganya adalah pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan kebersihan, obat, kosmetik.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pajak Pertambahan Nilai atau PPN kemungkinan besar akan tetap dinaikkan menjadi 12 persen mulai tahun depan. Untuk menjaga daya beli masyarakatkelas menengah agar tidak terlalu tertekan, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan fiskal lain, seperti keringanan pajak bagi masyarakat dan sektor tertentu.
Sinyal bahwa PPN akan tetap dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Kamis (8/8/2024).
Menurut dia, kenaikan PPN sudah merupakan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sejauh ini, belum ada pembahasan di kalangan pemerintah untuk menunda penerapan kenaikan tarif PPN tersebut.
Dampak kenaikan PPN sudah pasti akan dirasakan dan ditanggung langsung masyarakat. Pendiri Kantor Konsultan Pajak PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mengatakan, kenaikan tarif pajak itu dipastikan akan menambah inflasi antara 0,5 persen dan 1 persen.
Sebab, imbas dari kenaikan tarif PPN adalah meningkatnya harga sejumlah barang dan jasa di pasaran. ”Harga-harga yang dibayar masyarakat setidaknya 1 persen lebih mahal dari tahun 2024. Secara teoretis, kenaikan tarif PPN ini pada akhirnya akan ditanggung langsung oleh konsumen akhir. Dampaknya ada di masyarakat,” kata Raden, Senin (12/8/2024).
Beberapa jenis barang sehari-hari yang akan mengalami kenaikan harga antara lain pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan mandi dan kebersihan rumah tangga, obat-obatan yang dijual bebas (over the counter), dan kosmetik. Adapun kebutuhan pokok, seperti sembako dan beberapa jenis jasa, termasuk angkutan umum, dikecualikan dari pungutan PPN.
Tekanan pada masyarakat akan semakin terasa karena akhir-akhir ini daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, sedang mengalami tren menurun. Indikasinya adalah laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang stagnan di bawah 5 persen selama tiga triwulan terakhir secara berturut-turut.
Perlu ada kebijakan fiskal lain yang mendampingi kenaikan tarif pajak itu agar daya beli kelas menengah tidak terlalu anjlok dan dunia usaha tidak terpukul.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) juga menunjukkan bahwa jumlah populasi kelas menengah di Indonesia telah menurun 8,5 juta orang dalam kurun 2018-2023.
”Pemutusan hubungan kerja (PHK) industri tekstil sudah sering terdengar. Beberapa manufaktur juga gulung tikar. Tingkat penjualan otomotif juga lesu. Penerimaan PPN bahkan sedikit turun. Ini merupakan beberapa tanda bahwa daya beli masyarakat memang sedang turun,” ujar Raden.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai kebijakan menaikkan PPN juga akan berdampak secara makro. Kenaikan PPN akan semakin menekan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang berkontribusi hingga 60 persen terhadap perekonomian nasional.
Kenaikan PPN di tengah kondisi permintaan yang lesu dan daya beli masyarakat yang terganggu justru kontraproduktif dengan target ambisius pemerintahan Prabowo Subianto untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen pada tahun kedua dan ketiga kepemimpinannya.
”Seharusnya ada kajian yang lebih mendalam karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan. Kalau pelemahan daya beli masyarakat terus dibebani kebijakan fiskal yang kontraproduktif, target pemerintah menaikkan pertumbuhan secara agresif akan terkendala,” kata Ajib.
Kalaupun PPN tetap harus dinaikkan karena pemerintah butuh tambahan penerimaan negara, perlu ada kebijakan fiskal lain yang mendampingi kenaikan tarif pajak itu agar daya beli kelas menengah tidak terlalu anjlok dan dunia usaha tidak terpukul.
Ajib, misalnya, menyarankan dua kebijakan pendamping berupa menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau membebaskan sebagian masyarakat dari pajak, serta memberikan keringanan pajak di sejumlah sektor yang menjadi lokomotif penggerak ekonomi.
Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101 Tahun 2016, besaran PTKP di Indonesia adalah Rp 54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp 4,5 juta per bulan. Artinya, selama ini orang-orang dengan penghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan tidak perlu membayar pajak penghasilan.
Menurut Ajib, untuk meringankan beban keuangan kelas menengah, batas PTKP itu bisa dinaikkan. Misalnya, menjadi setidaknya Rp 100 juta per tahun atau Rp 8,3 juta per bulan. Artinya, orang-orang dengan penghasilan di bawah Rp 8,3 juta bisa bebas dari pajak penghasilan.
”Ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan (pendapatan) akan cenderung dibelanjakan sehingga uang akan kembali berputar di perekonomian dan negara tetap mendapat pemasukan,” ujarnya.
Batas PTKP itu bisa dinaikkan.
Kebijakan kedua yang bisa diberikan adalah memberikan keringanan pajak di sektor-sektor yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Misalnya, insentif PPN Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) untuk sektor properti, atau keringanan pajak untuk hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan, yang banyak menyerap tenaga kerja. Berbagai kebijakan di sisi suplai itu bisa ikut memperkuat demand atau permintaan di sisi masyarakat.
Kebijakan insentif pajak itu tetap perlu dikaji dihitung dengan matang agar biaya yang perlu dikeluarkan (tax cost) pemerintah tetap setimpal dengan hasilnya. Pengelolaan fiskal negara tetap harus dilakukan berhati-hati. Di satu sisi, memberi dorongan ke sektor swasta agar berjalan baik. Di sisi lain, penerimaan negara juga tetap terjaga.
”Prinsipnya pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan menaikkan tarif PPN. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” kata Ajib.
Sementara itu, Raden mengusulkan agar pemerintah memberi insentif yang bersifat produktif bagi masyarakat. Misalnya, memberi insentif berupa modal kerja bagi pengusaha mikro dan kecil dalam bentuk pinjaman tanpa bunga. ”Tujuannya agar roda ekonomi bergerak dan menimbulkan efek domino bagi perekonomian nasional,” ujarnya.