Bukan hal yang mudah bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses keuangan sehingga dibutuhkan peran semua pihak.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
Jarum jam menunjukkan pukul 13.15 WIB. Awan mendung menggelayuti mega-mega di atas Pendopo Kantor Bupati Toba, Sumatera Utara, Jumat (9/8/2024) siang. Kendati demikian, barisan kursi-kursi putih yang telah tersusun rapi di pendopo itu tetap terisi oleh ratusan orang.
Mereka berasal dari berbagai macam lapisan. Ada yang datang dengan masih mengenakan pakaian sekolah, ada yang datang lengkap dengan seragam kantornya, dan ada pula yang datang tergopoh-gopoh dengan menggunakan kruk, alat bantu jalan. Di sekitar pendopo tempat mereka berkumpul tampak spanduk bertuliskan ”Disabilitas Cakap Keuangan, Keuangan Semakin Inklusif”.
Darwis Malau (25), salah satu peserta, masih setia duduk di barisan kursi depan mendengarkan aneka tips dalam memilih produk dan layanan jasa keuangan, serta haknya untuk memperoleh akses keuangan. Sebab, tidak mudah baginya mendapatkan pinjaman dari bank untuk mendirikan usaha.
Sebelumnya, penyandang disabilitas fisik itu pernah coba mengajukan pinjaman kepada bank untuk mulai merintis usaha pangkas rambut. Namun, pengajuannya ditolak lantaran pihak bank meragukan kemampuan Darwis membayar cicilan.
Tak dinyana, Darwis kembali mengajukan pinjaman modal usaha senilai Rp 50 juta dan akhirnya disetujui oleh PT Bank Pemerintah Daerah Sumatera Utara atau Bank Sumut pada 2022. Uang tersebut segera digunakannya untuk menyewa sebuah kios dan memulai usaha pangkas rambut.
”Sebelumnya kerja dengan orang di pangkas rambut juga sejak 2018. Di situ, saya belajar pangkas rambut otodidak. Sampai akhirnya memutuskan untuk buat usaha sendiri karena harus ada keluarga yang harus dinafkahi,” katanya.
Meski sempat diragukan oleh lingkungan sekitarnya, Darwis tetap fokus untuk melanjutkan usaha yang telah didambakannya. Alhasil, kini ia dapat meraup omzet senilai Rp 200.000-Rp 300.000 per hari dan bisa mempekerjakan satu rekannya.
Dengan penghasilan tersebut, Darwis merasa mampu mencukupi kebutuhannya dan tidak ketinggalan membayar kewajibannya. ”Enggak keberatan dengan cicilannya karena saya juga ada pekerjaan sampingan, seperti mengasah pisau cukur. Lumayan dapat tambahan juga,” ujarnya.
Pengalaman Darwis adalah potret kecil dari jutaan penyandang disabilitas yang pada akhirnya mampu mencecap akses keuangan. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hanya 22 persen penyandang disabilitas yang memiliki rekening di lembaga keuangan.
Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2022 mencapai 28,05 juta orang. Artinya, terdapat sekitar 21,8 juta penyandang disabilitas yang belum memiliki rekening di lembaga keuangan atau dengan kata lain, tingkat literasi dan inklusi keuangan bagi kalangan disabilitas masih minim.
Masyarakat penyandang disabilitas perlu dibekali dengan keterampilan literasi keuangan agar menjadi lebih mandiri secara finansial dan hidup sejahtera.
Padahal, para penyandang disabilitas berhak mendapatkan akses sekaligus literasi keuangan sehingga mampu mandiri dalam hal finansial. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan, para penyandang disabilitas berhak memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan nonperbankan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi menegaskan, pemenuhan literasi dan inklusi keuangan bagi para penyandang disabilitas telah dijamin oleh undang-Undang. Maka, kelompok penyandang disabilitas menjadi salah satu sasaran prioritas program edukasi keuangan dalam Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) 2021-2025.
”Masyarakat penyandang disabilitas perlu dibekali dengan keterampilan literasi keuangan agar menjadi lebih mandiri secara finansial dan hidup sejahtera,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara edukasi keuangan di Pendopo Bupati Toba.
Bersama dengan lembaga jasa keuangan terkait, OJK menyelenggarakan edukasi kepada para penyandang disabilitas, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pegawai pemerintah daerah di wilayah Sumatera Utara, baik secara daring maupun tatap muka. Materi tersebut terdiri dari Pengenalan OJK, Waspada Investasi dan Pinjaman Online Ilegal, Kredit Usaha Rakyat (KUR), Tabungan Emas, dan Asuransi Sosial BPJS Ketenagakerjaan.
Bupati Toba Poltak Sitorus menyampaikan, kegiatan edukasi keuangan tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi para penyandang disabilitas agar lebih cakap dalam mengelola keuangan pribadi dan terampil dalam memilih produk dan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan. Selain itu, mereka juga diharapkan lebih waspada terhadap penawaran investasi dan pinjaman online ilegal.
”Mudah-mudahan kegiatan yang kita laksanakan berdampak positif bagi percepatan akses keuangan di Kabupaten Toba dan di daerah lain. Semoga momentum edukasi ini juga dapat memberikan tambahan literasi tentang mekanisme akses keuangan formal kepada saudara-saudari kami penyandang disabilitas dalam rangka mendorong perekonomian daerah,” tuturnya secara daring.
Friderica, yang juga akrab disapa Kik,i menambahkan, OJK telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Regulasi ini antara lain mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) untuk menciptakan ekosistem yang ramah bagi disabilitas termasuk dengan menyediakan layanan khusus.
Beberapa layanan khusus tersebut, yakni formulir berhuruf braille bagi penyandang disabilitas netra dan infrastruktur layanan. Lalu, layanan berupa antrean prioritas bagi penyandang disabilitas, ATM ramah difabel, serta media informasi yang memudahkan penyandang disabilitas untuk memperoleh produk dan layanan keuangan.
”Kami mendorong PUJK untuk menyediakan ekosistem yang lebih inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas,” tutur Kiki.
Direktur Bisnis dan Syariah Bank Sumut Syafrizalsyah mengatakan, saat ini, pihaknya telah memiliki tujuh nasabah kredit usaha rakyat (KUR) yang berasal dari kalangan penyandang disabilitas. Adapun syarat pengajuan kredit yang diberikan sama layaknya nasabah pada umumnya.
Namun, sebelum kredit diberikan, para nasabah mulai diberikan pemahaman tentang kredit, cara menjalankan usaha, literasi keuangan, dan cara pemasaran. Layanan tersebut dilakukan dengan cara jemput bola atau secara langsung menghampiri nasabah.
”Dari tujuh nasabah penyandang disabilitas, statusnya lancar semua. Kami mengajarkan pertama-tama bukan untuk membayar angsuran, melainkan untuk menabung sehingga dengan sendirinya mereka mampu menyiapkan diri untuk membayar angsuran tanpa memikirkannya,” tuturnya saat ditemui di Balige, Kabupaten Toba.