UMKM di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang signifikan dalam mengembangkan bisnis mereka, mulai dari keterbatasan akses terhadap pembiayaan, kurangnya pengetahuan tentang teknologi digital, hingga persaingan ketat dengan produk impor. Banyak pelaku UMKM yang masih kesulitan mendapatkan modal yang cukup karena persyaratan ketat dari lembaga keuangan. Sementara perkembangan teknologi yang cepat sering kali meninggalkan mereka di belakang, terutama dalam hal pemasaran dan manajemen.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, salah satu strategi pengembangan UMKM perlu difokuskan pada peningkatan akses pembiayaan melalui program kredit mikro dan bantuan modal dari pemerintah serta lembaga keuangan lainnya. Selain itu, insentif pajak juga diperlukan agar UMKM lebih berdaya saing. Edukasi tentang digitalisasi juga menjadi kunci penting untuk meningkatkan daya saing UMKM di pasar yang semakin terhubung secara global. Pelatihan dan pendampingan tentang penggunaan platform digital untuk pemasaran dan penjualan produk dapat membantu UMKM menjangkau pasar yang lebih luas dan lebih efisien.
Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam menciptakan ekosistem bisnis yang mendukung perkembangan UMKM dengan menyediakan regulasi yang memudahkan usaha kecil berkembang dan mengurangi hambatan birokrasi.
Menanggapi hal tersebut, Khairul Ihsan (33), peternak dan penyalur produk peternakan di Padang, Sumatera Barat, mengatakan, melihat kondisi saat ini, perpajakan sudah mengimpit pengusaha menengah ke bawah sehingga benar-benar membuat UMKM lambat bangkit. Di sisi lain, pada umumnya pengusaha di level UMKM tidak memiliki kemampuan dan atribut untuk mampu menyajikan dan melaporkan apa yang diharapkan dari pemerintah karena usaha tumbuh dari pengalaman saja.
”Diharapkan ke depan pemerintah bisa menerbitkan regulasi yang berpihak pada sektor ekonomi menengah ke bawah, misalnya di sektor usaha kami, peternakan ayam, perlu adanya pembatasan bagi principle besar untuk melakukan budidaya ayam broiler dan ayam petelur langsung. Seharusnya sektor ini dipegang masyarakat atau peternak rakyat. UMKM juga perlu program dukungan pemerintah untuk mendapat jaminan harga bahan baku yang wajar, misalnya jagung dari petani. Selain itu, untuk dapat meningkatkan skala usaha UMKM, juga perlu mendapat akses jalur dagang yang baik, tidak dimonopoli oleh perusahaan kapital besar,” kata Khairul.
Sementara itu, Maya Rosmalinda (39), pemilik mamayaya.project, produsen produk-produk untuk ibu, bayi, dan keluarga, mengatakan, di tengah era disrupsi digital, pasar bebas dan kondisi pasar yang tidak menentu, pengusaha kecil harus bisa menemukan kembali ”makna mengapa” (why factor) dari usaha yang dijalankan.
”Sebab, sesungguhnya why factor inilah yang akan membuat segala jenis usaha dapat tetap memiliki kemampuan bertahan dan lincah beradaptasi agar tetap relevan dengan keinginan pasar tanpa kehilangan identitas brand dalam jangka panjang,” katanya.
Maya berharap pengusaha memiliki kemudahan akses terhadap kelas-kelas self development dan workshop dari para praktisi agar bisa semakin menguatkan jati diri brand owner dalam menghadapi persaingan di pasar.
Mesni Johara, pemilik UMKM ”Goenagoni” Semarang, mengatakan, selama menjalankan bisnis, selalu ada tantangan yang dihadapi para pelaku UMKM. Sebagai contoh, tantangan permodalan. Banyak UMKM menghadapi kesulitan dalam mendapatkan modal untuk ekspansi, produksi, atau kebutuhan operasional lainnya.
Ia menceritakan, pada masa pandemi Covid-19, Goenagoni pernah mendapatkan pesanan suvenir 2.000 buah per bulan. Namun, ia tak memiliki modal cukup untuk memproduksi suvenir sebanyak itu. Untung saja, ada lembaga keuangan yang mau memberikan pinjaman sehingga pesanan tersebut akhirnya bisa dipenuhi.
”Tantangan lainnya ialah kompetisi yang ketat antara perusahaan besar dan UMKM. Konsekuensinya, kami harus fokus pada keunikan produk yang kami hasilkan, memberikan pelayanan yang baik dan lebih personal kepada pelanggan, dan menjaga kualitas produk secara konsisten,” katanya.
Dinas-dinas pemerintahan daerah semestinya dapat membantu dan memberi peluang untuk kami UMKM semakin bertumbuh dan berkembang, bahkan di tengah situasi perekonomian yang tidak baik-baik saja.
Albertus Wima (33), karyawan swasta dan wirausahawan di Tangerang Selatan, mengungkapkan, dirinya punya warung makan bernama Ayam Bakar Asep dengan salah satu cabangnya berada di di Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Menu yang dijual harganya Rp 17.000-Rp 65.000, bergantung varian menu masakan.
Selama 3 tahun menjalankan bisnis, ia merasakan tantangan yang terbesar adalah dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan pemasaran. Sebagai UMKM yang tidak memiliki kemewahan dalam sisi keuangan, mencari orang yang terampil dan berkomitmen tinggi dengan dan yang sesuai sangat sulit.
”Pemasaran juga cukup sulit karena produk utama yang dipasarkan sifatnya cukup umum dan menurut saya tipikal pasar untuk produk ini sangat sensitif harga sehingga cara bisa bersaing adalah memberikan potongan harga (bisa seasonal atau bulk order). Namun, saya tetap optimistis dengan peluang ke depan dengan menambah beberapa cabang di tempat yang strategis, seperti dekat stasiun KRL, sekolah, atau perkantoran. Harapannya agar usaha saya lebih terkenal luas dan bisa menjangkau lebih banyak pelanggan,” katanya.