Waralaba Lokal Berpotensi, tetapi Kalah Bersaing di Negeri Sendiri
Bisnis waralaba lokal Indonesia membutuhkan program inkubasi. Potensinya ada pada olahan pangan lokal dan pangsa pasar.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas bisnis franchise alias waralaba lokal dinilai masih belum mampu mengimbangi waralaba asing. Waralaba lokal akan mampu bertumbuh apabila pemerintah serius menggarapnya dengan menyediakan program inkubasi. Apalagi, Indonesia memiliki potensi, seperti kekhasan produk olahan makanan lokal dan pangsa pasar domestik.
Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar, Rabu (7/8/2024), mengatakan, saat ini, pangsa pasar Indonesia dikuasai oleh waralaba asing. Padahal, Indonesia memiliki potensi besar bagi pertumbuhan bisnis waralaba lokal, salah satunya permintaan dari pasar domestik.
”Indonesia dalam bidang franchise, kalau boleh saya bilang, ketinggalan jauh dibanding negara-negara lain. Dibandingkan dengan Filipina, dengan Malaysia, dengan Singapura, dan dengan Taiwan kita ketinggalan. Jaminannya hanya Indonesia mempunyai pasar domestik yang cukup besar itu tergantung juga dari middle class income group,” katanya dalam Konferensi Pers Pameran Bisnis Lisensi, Waralaba, dan Kemitraan atau International Franchise, License and Business Concept Expo and Conference (IFRA) 2024, di Jakarta.
Berdasarkan catatan Anang, jumlah merek waralaba asing yang beroperasi di Indonesia per akhir 2022 kira-kira mencapai 700 merek dengan rata-rata pertumbuhan 5 persen per tahun. Di sisi lain, waralaba lokal tercatat hanya sekitar 130 merek dengan pertumbuhan cenderung stagnan sejak sebelum pandemi Covid-19.
Sementara itu, pertumbuhan yang cukup signifikan justru ada pada bidang bussiness opportunity, yakni 8-10 persen. Berbeda dengan franchise yang memberikan hak paten bisnis dan format bisnisnya kepada pihak lain, business opportunity hanya memberikan produk, metode, serta alat kerja dengan pembekalan di awal tanpa mensyaratkan penerapan format bisnis oleh pemilik.
Alih-alih memberikan ruang bagi waralaba lokal, bisnis kemitraan di Indonesia justru didominasi oleh business opportunity yang cenderung ingin meraih tujuan secara instan sehingga jarang yang dapat bertahan lama. Dari jangka waktunya, waralaba biasanya terhitung telah menjalankan bisnis lebih dari 5 tahun, sedangkan bussines opportunity hanya 3 tahun.
Padahal, franchise seharusnya dilakukan mulai dari inkubator dengan pembinaan dan pendampingan paling sedikit dua tahun, masing-masing 10 bulan.
Menurut Anang, fenomena tersebut menggambarkan mentalitas berbisnis yang cenderung asal-asalan, kurang bersungguh-sungguh, dan minim pengalaman. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran pemerintah melalui program inkubasi, meliputi pendampingan dan pelatihan.
”Kita itu sering kali berbisnis secara asal-asalan. Di sisi lain, pemerintah kalau sudah jadi (bisnis tumbuh), langsung masuk dalam pameran. Padahal, franchise seharusnya dilakukan mulai dari inkubator dengan pembinaan dan pendampingan paling sedikit dua tahun,” tuturnya.
Anang menambahkan, peluang bagi waralaba lokal bertumbuh ada pada sektor makanan dan minuman, khususnya makanan cepat saji. Hal ini mengingat salah satu kunci bagi pertumbuhan waralaba adalah nilai keunikan dan Indonesia memiliki beragam makanan khas daerah.
Mengutip data Kementerian Perdagangan, sektor usaha yang paling banyak diwaralabakan, antara lain makanan dan minuman atau food and beverages (FnB) sebanyak 47,92 persen dan ritel 15,28 persen. Selain itu, ada pula jasa pendidikan nonformal 10,42 persen, jasa kecantikan dan kesehatan 10,42 persen, laundry 6,25 persen. Seluruh sektor tersebut berdasarkan persebarannya masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di Jakarta, disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat.
Pameran
Salah satu upaya untuk mendorong bisnis waralaba ialah melalui pameran. Anang berpendapat, pameran dapat menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan pola franchise yang benar sehingga berdampak bagi perekonomian sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan.
”Dengan mengandalkan pasar domestik, waralaba lokal dapat bertumbuh dan pada gilirannya diharapkan mampu menarik investasi sehingga ekonomi Indonesia akan berputar,” tuturnya.
Salah satu gelaran pameran waralaba tersebut, yakni IFRA 2024, yang akan diselenggarakan pada 16-18 Agustus 2024 di Jakarta Convention Center dan pada 16 Agustus-16 September 2024 secara daring melalui situs www.ifraindonesia.com. Kegiatan ini akan diikuti oleh 185 perusahaan dan 225 merek dengan target nilai transaksi mencapai Rp 1,5 triliun.
Presiden Direktur PT Dyandra Promosindo Daswar Marpaung mengatakan, IFRA merupakan wadah yang strategis untuk memasarkan merek, membangun jaringan dengan para profesional dan menyajikan fakta di industri. Di sisi lain, gelaran ini juga akan membuka potensi bisnis yang dibutuhkan melalui waralaba dan lisensi.
”Besar harapan kami bahwa IFRA 2024 dapat memberikan semangat kepada seluruh pelaku bisnis dan kepentingan di industri waralaba, agar bisa saling terus mendukung satu sama lain dan terus berinovasi dalam mengembangkan usahanya demi memajukan industri waralaba Indonesia,” ujarnya.
Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga (Persero) Mars Ega Legowo Putra menambahkan, pihaknya siap untuk bekerja sama dengan para pelaku bisnis yang ingin mengembangkan bisnisnya. Kerja sama tersebut salah satunya dengan menyediakan tempat di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
”Kami mempunyai database yang sangat detail, behaviour pelakunya, sebarannya, bahkan, kami bisa menganalisis purchasing power-nya, rata-rata transaksi, pocket-nya berapa, berapa persen kira-kira ini yang ditransaksikan? Dalam menganalisis bisnis, kami mempunyai sesuatu yang mungkin bisa kita kolaborasikan,” ujarnya.