IHSG masih berpotensi melemah karena tekanan jual dan kewaspadaan pada pertumbuhan ekonomi global.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada Selasa (6/8/2024) bergerak positif setelah kemarin terjun bebas 3,4 persen dalam sehari, dari 7.308 ke 7.059. Namun, IHSG masih berpotensi melemah karena tekanan jual dan kewaspadaan akan pertumbuhan ekonomi global.
Setelah ditutup di level 7.059 pada Senin (5/8/2024), IHSG tumbuh positif. Sampai akhir perdagangan sesi pertama, Selasa, IHSG naik lebih dari 1,11 ke level sekitar 7.137. Sebanyak 11 indeks saham berdasarkan sektor menghijau.
Berbaliknya arah pertumbuhan IHSG hari ini sejalan dengan pergerakan beberapa bursa saham di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan pantauan, bursa Nikkei Jepang memimpin kenaikan 9,8 persen ke 34.416, setelah kemarin mengalami penurunan harian hingga 12,4 persen, terparah sejak momen Black Monday pada 1987. Bursa Hang Seng Hongkong tumbuh 0,46 persen, bursa Shanghai naik tipis 0,041 persen, dan bursa S&P/ASX 200 Australia bergerak ke 0,24 persen.
Sebaliknya, indeks bursa di Amerika Serikat masih anjlok. Bursa S&P 500 terpangkas 3 persen, Nasdaq anjlok lebih dari 3 persen, dan Dow Jones Industrial Average negatif 2,6 persen. Dari Eropa, indeks bursa gabungan Eropa, Europe 600, terkoreksi hampir 3 persen.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, memperkirakan, pergerakan IHSG hari ini merupakan pemulihan teknikal (technical rebound) setelah kemarin IHSG terkoreksi agresif. ”Terdapat peluang technical rebound paling tidak untuk menguji level 7.082-7.134 yang sudah tercapai,” ujarnya kepada Kompas.
Hingga akhir perdagangan hari ini, IHSG diperkirakan masih menguat terbatas. Di sisi lain, ada juga potensi koreksi IHSG ke rentang area 6.949-6.987.
Potensi koreksi kemungkinan terjadi untuk menutup celah perdagangan antara 27 dan 28 Juni ketika IHSG bertolak dari level di bawah 7.000 hingga 1,37 persen. Celah itu menunjukkan minat beli yang tinggi dan berlanjut hingga sepanjang Juli.
Terkait pelemahan IHSG yang signifikan dalam sehari kemarin, Herditya membaca masih adanya kekhawatiran di kalangan investor membuat aksi penjualan saham meningkat. ”Diperkirakan tekanan jual masih akan terjadi untuk menutup gap yang sempat terjadi di IHSG beberapa waktu lalu,” tuturnya.
Fundamental domestik
Dalam jangka pendek, pengamat pasar modal, Lanjar Nafi, menilai IHSG masih mampu tumbuh positif dengan sentimen fundamental dalam negeri yang masih relatif kuat.
Hal itu didasarkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih positif sebesar 5,05 persen secara tahunan pada triwulan II-2024. Stabilitas itu didukung oleh terjaganya pertumbuhan belanja rumah tangga sebesar 4,9 persen secara tahunan.
Dari segi perdagangan, surplus neraca perdagangan sebesar 2,39 miliar dollar AS pada Juni 2024 menunjukkan bahwa ekspor Indonesia masih cukup kuat meskipun ada penurunan harga komoditas global. Situasi ini menurut dia cukup untuk menangkal potensi resesi di negara besar seperti Amerika Serikat.
Sinyal resesi AS antara lain terbaca dari data tingkat pengangguran yang naik menjadi 4,3 persen di Juli 2024 dari 4,1 persen di Juni 2024. Ini diikuti data non-farm payrolls yang turun ke 114.000 di Juli dari 179.000 di Juni. Non-farm payrolls merupakan laporan penggajian sektor tenaga kerja di AS di luar pertanian, yang mencakup sekitar 80 persen tenaga kerja di bidang manufaktur, konstruksi, dan barang.
”Pasar saham Indonesia saya lihat memiliki fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan dari pasar modal global, didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil, sektor keuangan yang kuat, dan inflasi yang terkendali,” katanya.
Menanggapi potensi ekonomi AS, Lanjar melanjutkan, dalam jangka pendek, Indonesia akan diuntungkan oleh beberapa kondisi, seperti pelemahan dollar AS yang membuat rupiah bertahan atau menguat. Kondisi ini selanjutnya membuat investor berspekulasi Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin, lebih banyak dari ekspektasi sebelumnya 25 basis poin dari posisi saat ini 6,25 persen.
”Tapi, tetap saja, ketidakpastian global dan potensi resesi di negara-negara besar tetap menjadi risiko yang harus diwaspadai,” ucapnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dalam Konferensi Pers Rapat Bulanan Dewan Komisioner OJK secara virtual, Senin (5/8/2024), menyampaikan, pihaknya menyikapi volatilitas pasar di dunia ini dengan terus mencermati dan mengkaji potensi dampak.
Ketidakpastian global dan potensi resesi di negara-negara besar tetap menjadi risiko yang harus diwaspadai.
Tren investasi di Indonesia, menurut dia, saat ini dan ke depan masih terjaga baik. Hal ini berdasarkan perkembangan penyaluran kredit investasi, penghimpunan dana pasar modal, serta pertumbuhan asuransi yang mendukung investasi dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan pertumbuhan ekonomi RI dan sektor-sektor riil.
Bagaimana pun, ia tetap meminta seluruh lembaga jasa keuangan untuk melakukan perhitungan risiko serta mengantisipasi volatilitas pasar global dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat di pasar saham, obligasi, dan sebagainya.
”Dalam kondisi itu, bagaimana (pun) kita tetap menjaga stabilitas keuangan dan stabilitas ekonomi dari segi aspek pertumbuhan ekonomi yang baik, juga pertumbuhan di sektor riil, adalah yang utama, serta menjaga tingkat kepercayaan terhadap perekonomian ataupun tentu sektor keuangan Indonesia,” kata Mahendra.