Warren Buffett Jual 50 Persen Saham Apple, Khawatir Ekonomi Melambat?
Sebagian analis menilai keputusan ini hanya bentuk manajemen portofolio untuk menangkap peluang tren teknologi baru.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan perusahaan milik investor panutan dunia, Warren Buffett, menjual 50 persen saham Apple menimbulkan banyak dugaan. Ada analis yang menduga ini terjadi karena kekhawatiran akan perlambatan ekonomi AS dan global, tetapi sebagian menanggapi ini hanya aksi biasa untuk menyesuaikan valuasi saham perusahaan teknologi tersebut.
Mengutip pemberitaan Reuters, Sabtu (3/8/2024), aksi ini terungkap dari laporan keuangan perusahaan milik Buffett, Berkshire Hathaway, hingga akhir Juni 2024. Perusahaan menjual saham produsen iPhone itu secara bertahap. Pada Januari-Maret, mereka menjual sebanyak 115 juta lembar saham, setelah harga saham naik hingga 23 persen. Kemudian, sampai dengan akhir Juni 2024, Berkshire Hathaway telah menjual sekitar 390 juta saham Apple.
Saat ini, kepemilikan saham Warren Buffett di Apple bersisa 400 juta lembar saham senilai 84 miliar dollar AS, dari sekitar 140 miliar dollar AS pada akhir Maret. Penjualan besar tersebut terjadi setelah Buffett pada Mei lalu menyebut Apple sebagai bisnis yang lebih baik daripada portofolio besar Berkshire lainnya, yakni American Express dan Coca-Cola.
Cathy Seifert, seorang analis di CFRA Research, kepada Reuters, menangkap, aksi ini dilakukan Berkshire Hathaway yang semakin waspada dengan kondisi perekonomian atau valuasi pasar saham yang sudah terlalu tinggi.
Hal ini didukung data Ketenagakerjaan AS yang menunjukkan tingkat pengangguran yang bertambah menjadi 4,3 persen di Juli 2024 dari 4,1 persen di Juni 2024. Ini diikuti data non-farm payrolls yang turun ke 114.000 di Juli dari 179.000 di Juni.
Non-farm payrolls merupakan laporan penggajian sektor tenaga kerja di AS di luar pertanian, yang mencakup sekitar 80 persen tenaga kerja di bidang manufaktur, konstruksi, dan barang.
Seifert menilai hasil tersebut disusul aksi jual pasar saham yang mendorong bursa saham, seperti Nasdaq, yang masuk ke wilayah koreksi. ”Jika Anda melihat keseluruhan gambaran Berkshire dan data ekonomi makro, kesimpulan yang aman adalah Berkshire melakukan aksi defensif,” katanya.
Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project, William Hartanto, saat dihubungi Kompas, Senin (5/8/2024), menilai, keputusan perusahaan Buffett ini lebih karena alasan manajemen portofolio. Valuasi saham Apple yang sudah terlampau besar menjadi alasannya.
”Sosok Warren itu, kan, bukan investor yang main momentum. Kecil kemungkinan dia menjual karena melihat indikasi jenuh beli atau semacamnya,” ujarnya.
Sampai akhir Juni 2024, Apple Inc menjadi perusahaan publik pertama yang memiliki valuasi pasar sebesar 3 triliun dollar AS. Harga saham perusahaan yang didirikan Steve Jobs pada 47 tahun lalu itu naik 2,3 persen pada 193,97 dollar AS atau lebih-kurang Rp 2,917 juta per lembar saham pada sesi penutupan perdagangan Jumat (30/6/2024).
Optimisme pasar terhadap Apple mulai muncul ketika perusahaan itu per awal Juni 2023 meluncurkan sebuah produk yang dianggap visioner untuk masa depan teknologi augmented reality. Produk yang diberi nama Vision Pro ini mendorong para pencinta teknologi, khususnya buatan Apple, untuk menikmati dunia baru yang disebut realitas virtual (Kompas.id, 2/7/2024).
Valuasi saham Apple yang sudah terlampau besar menjadi alasannya.
Sementara itu, William menilai, kekhawatiran pada pelemahan ekonomi AS yang berpengaruh pada global tidak akan berefek lama pada kinerja saham di sektor teknologi. Hal ini didukung potensi bank sentral AS, The Federal Reserve, memangkas suku bunga paling cepat September mendatang.
”Kalau The Fed jadi memangkas suku bunga, kemungkinan malah membantu memperbaiki kinerja,” ujarnya.
Kinerja perusahaan teknologi dalam negeri secara umum lebih baik dari perkiraan pada triwulan II-2024. Hal ini cenderung melawan faktor musiman yang terjadi pada produk teknologi dan konsumer siklikal.
Hal ini diungkapkan analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Christopher Rusli, dalam laporan analisisnya, Senin (5/8/2024). Ia menganalisis saham teknologi seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) yang membaik hingga semester pertama tahun ini.
”Kami berpendapat bahwa tren besar berikutnya di Indonesia adalah live commerce. Segmen ini sedang booming. Sebanyak 83,7 persen masyarakat Indonesia mengaksesnya. E-commerce, yang menyumbang 75,6 persen dari GMV (nilai total barang terjual) sebesar 82 miliar dollar AS, melihat minat konsumen yang tinggi didorong oleh harga yang lebih rendah, pengiriman gratis, dan kenyamanan,” paparnya.
Tren ini membuat BUKA berhasil membukukan adjusted EBITDA negatif pada kuartal II-2024 sebesar minus Rp 41 miliar, lebih baik dibandingkan dengan realisasi triwulan II-2023 yang minus Rp 125 miliar. Kerugian GOTO pada triwulan sama juga susut 61 persen secara tahunan menjadi Rp 2,84 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp 7,21 triliun.
”Meskipun kinerja GOTO dan BUKA membaik, sentimen positif terhadap sektor teknologi diperlukan untuk mendorong harga saham. Potensi penurunan suku bunga pada semester kedua dapat meningkatkan sentimen teknologi,” kata Christopher.