Judi ”Online” Tanggung Jawab Siapa?
Perputaran judi daring diperkirakan bisa mencapai Rp 900 triliun. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas itu semua?
Judi daring atau online semakin meresahkan. Bukan hanya tentang nilai perputaran uangnya, melainkan juga siapa saja bisa terjebak dan tersedot ke dalam pusaran arusnya. Siapa sangka, mereka bisa saja merupakan rekan kerja Anda, teman nongkrong, sanak saudara, atau bahkan keluarga terdekat.
Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2023, sebanyak 3,79 juta warga Indonesia terseret dalam pusaran judi online. Total depositnya mencapai Rp 34 triliun.
Ironisnya, 80 persen dari jumlah pemain judi online tersebut merupakan masyarakat berpenghasilan rendah, di antaranya pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, dan pegawai swasta.
Baca juga: Wajah Bersolek Perjudian Mengarungi Zaman
Mereka melakukan deposit atau top up dana untuk modal berjudi rata-rata kurang dari Rp 100.000. Sebanyak 51 persen merupakan karyawan swasta. Sisanya berturut-turut adalah pengusaha sebanyak 17 persen, pedagang 10 persen, serta pelajar atau mahasiswa 8 persen.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan deposit penjudi terbesar se-Indonesia, yakni Rp 3,49 triliun. Jumlah transaksinya mencapai 24,14 juta kali. Berikutnya adalah Jawa Tengah dengan total deposit senilai Rp 1,93 triliun.
Selanjutnya adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Banten. Deposit penjudi dari setiap wilayah itu senilai Rp 1,78 triliun, Rp 1,33 triliun, dan Rp 1 triliun.
Bagaimana sejarahnya?
Lantas mengapa judi online begitu digandrungi banyak warga, tanpa terkecuali masyarakat kelas bawah? Ini bisa jadi tak bisa dilepaskan dari rekam jejak perjudian di Tanah Air yang sudah berlangsung lama, setidaknya sejak 1960-an, Saat itu, judi fisik atau judi darat berupa undian nomor berhadiah dan kasino resmi beroperasi di Jakarta.
Dalam setahun, total pemasukan dari pajak legalisasi judi tersebut mencapai Rp 600 juta per tahun atau sekitar Rp 64 triliun (asumsi kurs Rp 16.000 per dollar AS). Dana tersebut digunakan untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, perbaikan dan pelebaran jalan, serta fasilitas umum lainnya.
Baca juga: Mengapa Judi "Online" Sulit Diberantas di Indonesia?
Skala judi ”legal” itu pun melebar hingga kancah nasional dengan istilah Nasional Lotre pada 1968. Skema tersebut terus berkembang hingga muncul Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB), Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), dan Kupon Pekan Olahraga Ketangkasan (Porkas). Aneka judi ”legal” itu pun akhirnya sirna seiring dengan berakhirnya era Orde Baru.
Tak bisa dimungkiri, rekam jejak judi secara ”legal” selama beberapa dekade tersebut mengalir dalam ingatan masyarakat. Tak sedikit pula yang menceritakan pahit-manisnya kehidupan ketika era judi ”legal” itu berlangsung. Horizon harapan atas berbagai sisi kehidupan tercipta dari selembar kupon seharga Rp 2.500, kala itu.
Skema tersebut terus berkembang hingga muncul Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB), Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), dan Kupon Pekan Olahraga Ketangkasan (Porkas).
Hingga tiba pada satu titik, masyarakat tak lagi bisa menolerir pertaruhan sekalipun itu dibungkus dalam bentuk sumbangan sukarela oleh pemerintah. Judi tetaplah judi. ”Si Raja Dangdut”, Roma Irama, dengan petikan gitarnya sudah berulang kali berkhotbah bahwa segala janji kemenangan dan kekayaan dalam judi adalah kebohongan.
Para pemuka agama pun terus menyerukan bahwa judi adalah tindakan terlarang dan berbuah dosa. Alhasil, mereka yang telanjur doyan berjudi harus sembunyi-sembunyi lantaran takut ketahuan tetangga dan membuat malu sanak saudara. Belum lagi jika kepergok aparat, masa depan hancur dan keluarga pun ”babak belur”.
Mengapa kini makin marak?
Namun, kini, dengan sentuhan teknologi digital, wajah perjudian pun bersolek. Para pemain judi tidak harus bertatap muka satu sama lain atau mendatangi lokasi bandar untuk bermain. Cukup dengan gawai yang tersambung internet dan akun rekening bank atau dompet digital, mereka sudah bisa berjudi tanpa takut dipergoki tetangganya, keluarga, hingga aparat.
”(Judi) Sudah sangat private, dari yang dulu bersifat komunal, sekarang private. Makanya, (judi daring) saat ini menjadi marak,” ujar Direktur Analisis dan Pemeriksaan II PPATK Danang Tri Hartono dalam Seminar Edukatif Pencegahan Judi ”Online” dan Literasi Digital Cyber Security secara daring, Rabu (24/7/2024).
Pemain hanya diminta menyertakan nomor rekening bank atau dompet digital, nomor telepon, dan alamat e-mail untuk bisa mendapatkan akun di situs judi.
Selain itu, janji-janji manis pelipatgandaan uang lewat judi online pun marak disiarkan, baik melalui pesan Whatsapp maupun pesan singkat (SMS). Iming-iming tersebut, misalnya, cukup dengan Rp 50.000 akan menang besar (jackpot) sebesar Rp 2 juta.
Dari sisi akses, pemain hanya diminta menyertakan nomor rekening bank atau dompet digital, nomor telepon, dan alamat e-mail untuk bisa mendapatkan akun di situs judi. Bahkan, nominal deposit pun terbilang sangat terjangkau, yakni mulai dari Rp 10.000.
”Orang yang punya rekening dengan saldo Rp 10.000 sudah bisa punya harapan bisa dapat lebih besar. Saluran deposit juga diperbanyak dan permainannya semakin bermacam-macam, ada efek suaranya, efek gambarnya bikin ketagihan. Apalagi kalau sudah ada petir, jackpot. Selalu ada efek-efek kecanduan,” kata Danang.
Berapa perputaran uangnya?
Begitu menggiurkan dan mudahnya akses membuat nilai perputaran dana judi online meroket. Pada triwulan I-2024, jumlah transaksi judi daring tercatat 59,22 juta kali transaksi dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 101,23 triliun, naik 43 persen secara tahunan.
Lonjakan transaksi judi online tersebut terjadi sejak pandemi Covid-19 merebak atau beriringan dengan meningkatnya penetrasi transaksi digital di Tanah Air. Jumlah transaksi judi daring pada 2020 yang melonjak 205 persen secara tahunan diikuti dengan peningkatan total nilai perputaran dana sebesar 155 persen secara tahunan.
Total nilai perputaran dana judi daring selama 2017-2023 mencapai Rp 517,31 triliun dengan 325,13 juta kali transaksi.
Selama 2023, jumlah transaksi terkait judi daring tercatat 168,34 juta kali transaksi dengan nilai perputaran dana senilai Rp 327,05 triliun, melejit 213 persen secara tahunan.
Total nilai perputaran dana judi daring selama 2017-2023 mencapai Rp 517,31 triliun dengan 325,13 juta kali transaksi. Bahkan, nilai perputaran judi online pada 2024 berpotensi mencapai Rp 900 triliun.
Apa upaya pemerintah?
Pemerintah akhirnya turun tangan dengan membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Judi Daring yang akan bekerja hingga Desember 2024. Satgas ini bertanggung jawab atas pemberantasan judi online, mulai dari pencegahan hingga penegakan hukum.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyebut, upaya pencegahan yang telah dilakukan antara lain pemblokiran situs judi online dan pemblokiran rekening bank terindikasi sebagai rekening penampung. Namun, upaya-upaya tersebut hanya mampu menekan 30 persen dari keseluruhan aktivitas judi online.
Begitu sistem pembayarannya tercekik, saya yakin itu bisa mengurangi akses judi online sampai 90 persen. Selebihnya, tinggal orang kaya saja yang main judi.
”Begitu sistem pembayarannya tercekik, saya yakin itu bisa mengurangi akses judi online sampai 90 persen. Selebihnya, tinggal orang kaya saja yang main judi. Berarti, pencegahan atau penindakan di sistem pembayaran itu 90 persen bisa menghabisi judi online,” katanya kepada Kompas, Senin (29/7/2024).
Selama 17 Juli 2023-23 Juli 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir 2,6 juta situs judi online. Kemenkominfo juga telah menutup network access provider (NAP) Kamboja dan Filipina, serta akan menutup akses jaringan privat virtual (VPN) gratis.
Apa yang dilakukan OJK dan bank?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meminta perbankan untuk memblokir 6.000 rekening berdasarkan data yang disampaikan oleh Kemenkominfo. Selain itu, OJK turut meminta untuk menutup rekening yang berada dalam satu customer identification file (CIF) yang sama.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan, OJK terus berkoordinasi dengan pemerintah dan aparat penegak hukum guna memberantas judi online.
OJK juga turut meminta perbankan untuk mendalami rekening-rekening yang terindikasi terlibat dalam aktivitas judi online dan melaksanakan uji tuntas lanjutan (enhanced due diligence).
”Apabila pemilik rekening sama dan dalam transaksinya diindikasikan memiliki pola yang sama terindikasi tindakan ilegal (judi online), kami minta dihentikan aksesnya secara keseluruhan dan memasukkan pemilik rekening tadi itu dalam daftar hitam atau blacklisting,” tuturnya dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK secara daring, Senin (5/8/2024).
Bagaimana melacak transaksi?
Selain melalui rekening perbankan, akses deposit judi online juga terbuka melalui dompet digital. Terkait dengan hal itu, PPATK turut mengindikasikan adanya perputaran dana yang berasal dari akun-akun keuangan lembaga nonbank.
Dalam hal ini, salah satu terobosan yang baru saja digagas dalam sistem pembayaran ialah identitas pembayaran (payment ID). Dokumen kebijakan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 baru saja diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Melalui skema ini, setiap transaksi yang dilakukan oleh individu akan terlacak dan tercatat dalam pusat data. Kemudian, berbagai transaksi tersebut akan dianalisis menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) agar dapat memprofil individu, baik untuk kebutuhan credit scoring maupun deteksi fraud.
”Di data juga, kita berharap bisa punya paymentID. Nah, ini yang sekarang tadi diskusinya, susah sekali untuk menangkap para pelaku judol(judi online). Kita berharap ada payment info dan payment ID yang bisa menangkap itu dan tentunya kita terus melakukan penguatan dan konsultasi industri,” ujar Deputi Gubernur BI Doni P Joewono dalam diskusi bertajuk ”The Digital Leap: Paving The Way for The Economic and Finance Transformation” secara daring, Sabtu (3/8/2024).
Baca juga: Menkominfo Budi Arie: 80 Persen Pemain Judi ”Online” Setor Deposit di Bawah Rp 100.000
Dari berbagai upaya tersebut, lantas, akankah judi online dapat diberantas secara total dari hulu hingga hilir? Keseriusan dari setiap kementerian/lembaga dalam menjalankan tugasnya tengah diuji. Pencegahan tanpa penindakan tidak akan berarti, begitu pula sebaliknya.
Bahkan, ada satu lagi yang belum dilakoni, yakni rehabilitasi. Sebab, judi online bukan sekadar parasit di masyarakat, ia semacam heroin yang memberikan dampak halusinasi berupa fatamorgana kemenangan sekaligus mengikat candu yang tiada habisnya.