Alarm Peringatan Melemahnya Manufaktur
Jebloknya posisi industri manufaktur dari ekspansi menjadi kontraksi jadi alarm peringatan yang tak boleh diacuhkan.
Di dunia kebencanaan, kita mengenal berbagai jenis alat deteksi dini kebencanaan. Di perairan kita mengenal tsunami buoy untuk mendeteksi lebih dini adanya tsunami sehingga petugas di darat bisa langsung mengevakuasi warga. Begitu pula saat bencana erupsi gunung api, petugas punya tahapan sistem alarm peringatan warga, mulai dari normal, waspada, siaga, hingga awas.
Lantas bagaimana di sektor industri manufaktur? Alarm ”peringatan bahaya” di industri manufaktur saat ini juga telah berbunyi nyaring.
Industri manufaktur Indonesia jeblok dari posisi ekspansi menjadi posisi kontraksi. Ini tecermin dari Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers Index/PMI) Indonesia pada Juli 2024 yang dirilis oleh S&P Global.
PMI manufaktur Indonesia anjlok, dari 50,7 per Juni 2024 ke 49,3 alias turun 1,4 poin per Juli 2024.
Dalam laporan itu, PMI manufaktur Indonesia anjlok, dari 50,7 per Juni 2024 ke 49,3 alias turun 1,4 poin per Juli 2024. Indeks di bawah 50 menunjukkan industri tengah terkontraksi. Sementara indeks di atas 50 menunjukkan industri dalam posisi ekspansi.
Kontraksi ini merupakan yang pertama kali terjadi setelah 34 bulan berturut-turut PMI manufaktur Indonesia dalam posisi ekspansi. Terakhir, Indonesia dalam posisi kontraksi pada Agustus 2021, masih berada dalam situasi tekanan ekonomi akibat pandemi. Kini, Indonesia sudah lama melewati periode pandemi, tetapi industri manufaktur kembali jeblok ke fase kontraksi.
PMI adalah indikator untuk melihat seberapa besar belanja kebutuhan bahan baku, komponen, dan barang pendukung untuk proses produksi manufaktur. Saat manajer pabrik belanja banyak bahan baku, artinya ada banyak permintaan. Ini mengindikasikan industri tengah ekspansi. Sebaliknya, saat belanja bahan baku merosot, artinya industri lesu alias terkontraksi.
Namun, sejak beberapa bulan terakhir, industri manufaktur Indonesia sejatinya sudah banyak tertekan. Rilis PMI manufaktur oleh S&P Global ini hanya memperkuat bunyi alarm peringatan yang sejatinya sudah lama berbunyi, tapi kurang didengar.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang dihimpun dari pemberitaan media massa, sejak Januari-Juli 2024, diperkirakan sudah terjadi PHK terhadap 11.000 buruh industri.
Sejak beberapa bulan terakhir sudah terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya, khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang dihimpun dari pemberitaan media massa, sejak Januari-Juli 2024, diperkirakan sudah terjadi PHK terhadap 11.000 buruh industri.
PHK itu tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ini belum termasuk PHK dari pelaku industri kecil menengah TPT, seperti penjahit dan pedagang kain atau konfeksi yang berjumlah ribuan.
Permintaan turun
Salah satu pemicu industri tertekan adalah munculnya kebijakan yang justru kontraproduktif dengan pertumbuhan industri dan malah mendukung deindustrialisasi alias pelemahan industri.
Hal ini tecermin dari munculnya kebijakan yang malah membiarkan Tanah Air menjadi destinasi produk impor karena berbagai kebijakan yang kontra produktif dengan pertumbuhan industri.
Kebijakan yang malah mendorong deindustrialisasi dan membuka keran impor ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang revisi ketiga Permendag No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Baca juga: Kinerja Manufaktur Indonesia Masuk ke Zona Kontraksi
Sebab, aturan itu menghapuskan pertimbangan teknis Kementerian Perindustrian saat pelaku usaha ingin mengimpor suatu komoditas tertentu.
Dampak langsungnya dirasakan banyak industri domestik, antara lain TPT dan keramik. Banjir barang impor langsung menggempur dan menggerus pasar dalam negeri.
Mempermudah impor sama saja membiarkan negara lain memajukan industrialisasinya dan menghambat industri dalam negeri. Sebab, pelaku industri dalam negeri jadi sulit berjualan karena pasar lokal justru diisi barang impor.
Sejak Permendag No 8/2024 diberlakukan pada 18 Mei 2024, barang impor konsumsi meningkat. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor barang konsumsi pada Mei 2024 mencapai 1,73 miliar dollar AS. Pada Juni 2024, impor barang konsumsi meningkat 2,48 persen menjadi 1,77 miliar dollar AS.
Pada Januari-Juni 2024, impor barang mencapai 9,51 persen dari total impor. Angka ini meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 8,99 persen dari total impor.
Tidak mudah mengekspor barang ke suatu negara jika harganya tidak kompetitif.
Saat pasar dalam negeri diisi banyak barang impor, upaya industri domestik melakukan ekspor juga belum bisa jadi solusi. Sebab, saat ini tengah terjadi pelambatan ekonomi global. Artinya, permintaan dari negara tujuan ekspor juga tengah menurun.
Belum lagi berbagai ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah yang memanas sejak April 2024, menimbulkan persoalan distribusi. Pengiriman barang yang melalui perairan Timur Tengah jadi lebih lambat. Durasi dan biaya pengiriman pun ikut membengkak.
Belum lagi bicara daya saing. Tidak mudah mengekspor barang ke suatu negara jika harganya tidak kompetitif. Ini menuntut efisiensi seluruh rantai produksi dan distribusi, termasuk skema perjanjian dagang bilateral dan multilateral.
Tekanan lain
Tak hanya itu, berbagai tekanan lain juga datang dalam berbagai bentuk. Tren melemahnya nilai tukar rupiah juga ikut melemahkan industri.
Pada 1 Januari 2024, mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada level Rp 15.493. Pada perdagangan Jumat (2/8/2024), nilai tukar rupiah ditutup pada level Rp 16.234. Artinya, sejak awal tahun hingga Jumat kemarin, nilai tukar rupiah telah melemah Rp 741 atau 4,78 persen.
Baca juga: Butuh Antisipasi Dampak Konflik Timur Tengah pada Rantai Pasok dan Rupiah
Industri manufaktur Indonesia masih banyak bergantung pada bahan baku impor. Mengutip data Badan BPS, impor bahan baku/penolong mendominasi impor secara keseluruhan. Pada periode Januari-Juni 2024, porsinya mencapai 73,32 persen dari total impor. Adapun barang modal mencapai 17,17 persen dari total impor.
Melemahnya rupiah menyebabkan biaya impor melambung. Apalagi, impor bahan baku dan bahan penolong masih tinggi. Ujung-ujungnya, harga barang menjadi kurang kompetitif sehingga penjualan barang tersendat. Performa industri pun melambat.
Kontribusi besar
Berbagai tekanan yang dialami industri manufaktur harus segera disikapi dengan tindakan tepat. Sebab, industri manufaktur adalah kontributor terbesar dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Pada triwulan I-2024, industri pengolahan atau manufaktur berkontribusi 19,28 persen dari total PDB. Sektor ini berkontribusi 0,86 persen untuk pertumbuhan ekonomi nasional pada periode itu yang mencapai 5,11 persen.
Jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan atau manufaktur mencapai 18,88 juta orang atau 13,28 persen dari total pekerja di Indonesia.
Sektor industri pengolahan juga jadi salah satu sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia. Mengutip data terbaru BPS, jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan atau manufaktur mencapai 18,88 juta orang atau 13,28 persen dari total pekerja di Indonesia.
Dengan kontribusi untuk perekonomian yang besar itulah, industri manufaktur semestinya bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Belajar dari berbagai pengalaman negara-negara maju, salah satu syarat menjadi negara maju adalah mengubah karakteristik ekonomi negara, dari konsumen ke produsen.
Apalagi Indonesia sedang bermimpi untuk menjadi negara maju pada 2045 atau 100 tahun usia kemerdekaan. Indonesia ditargetkan mencatat pendapatan per kapita 30.300 dollar AS pada 2045.
Asumsinya, produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 9,8 triliun dollar AS. Dengan ini, Indonesia diproyeksikan menjadi negara dengan perekonomian terbesar kelima dunia.
Jangan lupakan industri! Jangan kasih kendur manufaktur!
Guna mencapai mimpi itu, pihaknya menyiapkan dua skenario, yaitu transformatif dan sangat optimistis. Skenario transformatif menyebutkan, Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah pada 2041 apabila mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun.
Dengan skenario sangat optimistis, Indonesia bisa mencapai hal tersebut lebih cepat, yakni pada 2038. Asuminya, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen per tahun. Asumsi-asumsi itu mensyaratkan akselerasi pertumbuhan industri.
Masih berani bermimpi Indonesia maju? Jangan lupakan industri! Jangan kasih kendur manufaktur!