Kinerja Manufaktur Indonesia Masuk ke Zona Kontraksi
Kebijakan relaksasi impor dituding menjadi penyebab kinerja indusri manufaktur dalam negeri merosot.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah masuk zona ekspansi selama 34 bulan berturut-turut, kinerja industri manufaktur Indonesia masuk ke zona kontraksi pada Juli 2024. Kontraksi disebabkan berbagai tekanan, seperti penurunan permintaan, gangguan distribusi, dan kenaikan biaya produksi. Terakhir kali Indonesia masuk ke zona kontraksi pada Agustus 2021.
Mengutip Indeks Pembelian Manager (Purchasing Manager's Index/PMI) Indonesia pada Juli 2024 yang dirilis oleh S&P Global, posisi Indonesia anjlok pada level 49,3 atau menurun 1,4 poin dibandingkan pada Juni 2024 yang di level 50,7. Indeks di bawah 50 persen menunjukkan industri tengah terkontraksi, sebaliknya posisi di atas 50 persen menunjukkan industri dalam posisi ekspansi.
Economic Director S&P Global Market Intelligence Paul Smith dalam siaran pers, Kamis (1/8/2024), menjelaskan, penurunan indeks dipicu beberapa aspek, antara lain penurunan permintaan baru dan gangguan pasokan, sehingga menurunkan kapasitas produksi. Kondisi tersebut secara umum terjadi pada pasar dalam negeri ataupun pasar global.
Paul melanjutkan, gangguan rantai pasok terkolerasi dengan ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Waktu pengiriman barang pun menjadi lebih lama sehingga biaya distribusi turut melonjak. Kondisi ini membuat produsen manufaktur menjadi lebih waspada.
”Aktivitas manajer untuk belanja bahan baku produksi menurun. Padahal, belanja manajer ini mengindikasikan manufaktur tengah ekspansi. Saat belanjanya menurun, artinya kondisinya sedang terkontraksi. Namun, dunia usaha dinilai percaya diri dalam 12 bulan mendatang. Penjualan dan kondisi pasar akan membaik pada tahun depan,” ujar Paul.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut bahwa kebijakan relaksasi impor menyebabkan kinerja indusri manufaktur dalam negeri merosot. ”Kami tidak kaget dan logis saja melihat hasil survei ini karena ini semua sudah terprediksi ketika kebijakan relaksasi impor dikeluarkan,” katanya di Jakarta, Kamis.
Pentingnya sinergi
Agus menekankan pentingnya sinergi kebijakan pemerintah untuk mendukung kinerja industri manufaktur dalam negeri. Menurut dia, jika pemerintah bisa segera mengembalikan kebijakan yang pro kepada industri dalam negeri, pihaknya yakin PMI Indonesia akan kembali ke dalam zona ekspansi.
”Oleh sebab itu, para menteri lainnya sebaiknya jangan mengeluarkan kebijakan yang justru semakin membunuh industri,” ucap Agus.
Agus melanjutkan, hasil survei PMI Indonesia pada Juli 2024 bisa membuka mata para menteri dan pemangku kepentingan lainnya akan pentingnya keselarasan langkah dan pandangan dalam membangun industri dalam negeri. Kementerian Perindustrian, menurut dia, tidak bisa berjalan sendiri dalam mengembangkan industri manufaktur dalam negeri. Menjaga kinerja sektor manufaktur bukan saja untuk mempertahankan agar nilai tambah tetap dihasilkan di dalam negeri, tetapi juga melindungi tersedianya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Tren penurunan PMI Indonesia telah berlangsung sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor pada 18 Mei 2024.
Sejak saat itu, berturut-turut PMI pada Mei-Juli 2024 terus menurun bila dibandingkan dengan PMI pada April 2024 (sebelum pemberlakuan relaksasi impor). Pada April 2024, PMI manufaktur ada di level 52,9 yang kemudian turun menjadi 52,1 pada Mei 2024, lalu menjadi 50,7 pada Juni 2024 dan 49,3 di Juli 2024.
Kondisi PMI manufaktur Juli 2024 juga tecermin dalam survei Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juli 2024 yang telah dirilis pada Kamis (31/7/2024). IKI Juli 2024 turun menjadi 52,4 dari IKI Juni 2024 yang sebesar 52,5. Perlambatan nilai IKI pada Juli lalu dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan masih terkontraksinya variabel produksi.
Perlu intervensi
Dihubungi secara terpisah, Kamis, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri mengatakan, menurunnya PMI Indonesia mencerminkan tingkat kepercayaan industri terhadap kondisi pasar saat ini.
PMI adalah indikator untuk melihat seberapa besar belanja kebutuhan bahan baku, komponen, dan barang pendukung untuk proses produksi. Saat belanja bahan baku tinggi, artinya produksinya akan lebih banyak dipicu permintaan yang solid. Ini mengindikasikan industri tengah ekspansi.
”Maka, ketika PMI turun, artinya belanja kebutuhan bahan baku produksi menurun yang mengindikasikan produksi juga akan lebih rendah lantaran permintaan melemah,” kata Yose.
Permintaan di pasar dalam negeri dan luar negeri memang tengah melamah. Di dalam negeri, harga barang produksi manufaktur tengah naik disebabkan melonjaknya ongkos produksi. Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS membuat biaya impor semakin mahal. Pasalnya, bahan baku industri dalam negeri masih banyak bergantung pada impor.
Kondisi tersebut diperparah dengan membanjirnya barang impor dari China. Sebab, beberapa waktu terakhir produksi manufaktur China sedang kelebihan kapasitas karena permintaan global tengah menurun. Barang-barang itu akhirnya masuk ke pasar Indonesia.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku/penolong periode Januari-Juni 2024 mencapai 73,32 persen dari total impor. Adapun barang modal mencapai 17,17 persen dari total impor. Pasar ekspor produk manufaktur Indonesia pun sedang lesu karena pertumbuhan ekonomi global juga tengah melambat.
”Kalau kondisi tersebut tetap berlangsung tanpa intervensi atau kebijakan perubahan, ke depan kondisi PMI Indonesia akan stagnan. Kondisi manufaktur juga akan stagnan,” kata Yose.
Oleh karena itu, lanjut Yose, dunia usaha ataupun pemerintah perlu mengambil kebijakan yang bisa menahan kenaikan ongkos produksi di dalam negeri. Di tengah permintaan yang lesu, pembuatan kebijakan yang kontraproduktif sebaiknya dihindari.