Konektivitas, Dambaan di Wilayah Terluar
Konektivitas jadi penentu masa depan masyarakat, terutama di daerah pedalaman.
Jauh di daerah terluar Indonesia, moda transportasi udara amat dibutuhkan masyarakat setempat. Mobilitas tak lagi bisa mengandalkan kapal dan perahu sebagai satu-satunya moda transportasi sebab pergerakannya berisiko terhenti, bahkan lumpuh ketika ombak sedang tinggi. Penduduk setempat pun berharap fasilitas transportasi logistik memadai guna memenuhi kebutuhan dasarnya.
Bandara Letung yang terletak di Pulau Jemaja, Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, misalnya, berhasil memberi pilihan moda transportasi udara bagi masyarakat untuk bergerak dari satu pulau ke pulau lain. Alih-alih menghabiskan waktu hingga belasan jam terombang-ambing di lautan, waktu tempuh melalui udara dapat terpangkas menjadi sekitar satu jam saja dari Batam ke Pulau Jemaja. Waktu perjalanan menjadi lebih terprediksi bagi warga yang akan menuju wilayah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan (3TP).
Baca juga: Mutiara Tersembunyi di Kepulauan Anambas
Data Bandara Letung menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, terjadi pergerakan tren positif pada kuantitas pesawat yang beroperasi, penumpang, serta muatan bagasi. Pada 2019, misalnya, terdapat 185 pesawat yang bermobilitas di sana. Angka itu meningkat tajam pada 2023 menjadi 282 pergerakan. Meski sempat turun pada 2021 menjadi 156 pergerakan karena pandemi Covid-19, pemulihan terjadi sejak 2022. Hal serupa tentu juga terjadi pada pergerakan penumpang, dari 15.272 penumpang yang dilayani bandara pada 2019 naik menjadi 19.844 penumpang pada 2023.
Jumlah kargo alias muatan bagasi penumpang juga terus meningkat, Pada 2019, tercatat 38,4 ton, meningkat 94,6 persen pada 2023 menjadi 74,3 ton.
”Kami bekerja sama dengan Wings Air, insya Allah, kami akan membuka pengangkutan kargo karena selama ini kargo hanya bisa lewat kapal laut. Barang kargo bisa sampai (dengan kapal laut) apabila cuaca baik. Namun, kalau cuaca buruk, barang tak akan bisa sampai,” tutur Kepala Bandara Letung Andy Hendra Suryaka di Jemaja, Kepulauan Anambas, Rabu (24/7/2024).
Pengembangan bandara yang sedang direnovasi ini diharapkan makin menggeliatkan perekonomian sekitar. Ada efek pengganda yang dirasakan masyarakat.
Tokoh Lembaga Adat Melayu (LAM), Syahlan Jaya (72), mengatakan, penduduk di Pulau Jemaja hidup serba kekurangan dalam segala aspek, termasuk ekonomi dan transportasi. Keberadaan Bandara Letung telah membuka lebih banyak lapangan kerja, apalagi kini ekosistem pariwisata mulai terbentuk. Sejumlah turis, baik domesik maupun mancanegara, mulai berdatangan.
”Jadi, masyarakat ada kesempatan untuk bekerja ke sini. Sebelum ada bandara, rata-rata penduduk bekerja sebagai nelayan dan petani. Ketika ombak besar, nelayan istirahat dulu, petani juga istirahat karena musim tak bersahabat,” ujar Jaya.
Baca juga: Anambas, Mutiara di Halaman Depan Indonesia
Kedatangan wisatawan itu mulai mendongkrak perekonomian penduduk setempat. Salah satunya terlihat dari mulai mulai banyak warga yang membuka warung. Situasi ini berhasil menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Meski demikian, penduduk asli berharap agar bandara sungguh-sungguh bisa digunakan oleh lebih banyak orang. Tak hanya dinikmati kelas menengah atas, tetapi juga kelompok ekonomi bawah.
”Kalau bisa, Kementerian Perhubungan mengatur agar harga tiket jangan terlalu mahal, (sebaiknya) disubsidi, karena daerah ini baru mau berkembang. Kami terkendala karena ekonomi terpengaruh dari luar daerah,” kata Antoni (38), perwakilan lain LAM.
Akan tetapi, di balik perbaikan kehidupan yang dirasakan masyarakat Anambas, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Sejauh ini, fasilitas kesehatan di pulau yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia itu masih minim. Apabila warga sakit, banyak yang harus dirujuk ke daerah lain di luar pulau.
Acap kali pasien harus menanti ombak reda jika butuh dirujuk ke tempat lain sebab mereka tak memungkinkan menyewa pesawat perintis.
Jadi, agak kontradiksi ketika bandara sudah berkembang, tetapi jaringan internet masih sulit.
Dari Letung ke Batam, salah satu kota besar di Kepulauan Riau, butuh waktu sekitar 20 jam via laut. Belum lagi kapal penumpang dari PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) tak tersedia tiap hari. Kapal itu bersandar di Letung sekali dalam 10-12 hari.
”Kalau ombak tinggi, kapal enggak bisa jalan. Satu-satunya, ya, pesawat,” ujar Antoni.
Kebutuhan sinyal seluler
Salah satu hal isu yang dianggap sepele di tempat lain, tetapi amat signifikan di Anambas adalah persoalan jaringan telekomunikasi. Sinyal seluler yang sudah menjadi kebutuhan pokok di daerah lain nyatanya belum stabil dirasakan warga.
Andy mengatakan, ia telah berkirim surat ke berbagai pihak dengan dukungan pemerintah daerah (pemda) agar layanan telekomunikasi dapat masuk dan membantu daerah-daerah 3TP. Beberapa menara pemancar (BTS) memang sudah terbangun, tetapi keberadaannya tak begitu membawa perubahan.
”Saat ini yang paling urgen adalah jaringan internet di bandara. Jadi, agak kontradiksi ketika bandara sudah berkembang, tetapi jaringan internet masih sulit,” ujarnya.
Baca juga: Ironi di Hulu Sungai Kayan: Menara BTS Tak Berfungsi
Beragam upaya telah dilakukan pihak Bandara Letung dibantu Dinas Komunikasi dan Informatika daerah agar penyedia layanan seluler membuka jaringan di sana. Namun, penyedia jasa menolak karena minimnya pengguna di sekitar bandara. Alhasil, seluruh biaya telekomunikasi yang mencapai puluhan juta per bulan harus menjadi beban bandara yang sejatinya tidak memiliki anggaran mencukupi untuk menutup beban biaya tersebut.
”Penumpang telah membayar airport tax. Kami bertanggung jawab menyediakan layanan, termasuk jaringan internet, tetapi belum berhasil disediakan. Antara penyedia layanan dan kami belum menemukan jalan tengahnya,” tutur Andy.
Semestinya fungsi badan usaha milik negara (BUMN) telekomunikasi bisa hadir di daerah 3TP demi kemaslahatan banyak orang. Namun, persoalan biaya lagi-lagi menghambat. Warga pun mengharapkan ada kebijakan yang dikedepankan bagi daerah-daerah terpencil.
Untuk bertahan dalam keadaan seadanya, masyarakat dan pihak bandara menyiasati dengan berbagi koneksi internet dari sinyal ponsel ke laptop (tethering). Meski sinyal kerap timbul-tenggelam, cara ini dianggap lebih efektif ketimbang terkoneksi dari modem internet.
Tak hanya itu, acap kali mereka harus pergi ke Pantai Padang Melang guna mendapatkan koneksi internet yang lebih mumpuni. Jarak yang harus ditempuh sekitar 8,3 kilometer (km) dengan pencahayaan yang begitu minim kala malam hari.
Pendapatan tak optimal
Persoalan lain datang dari potensi alam yang tak tergarap optimal. Masyarakat berharap bisa mengekspor hasil bumi dan lautnya dengan lebih efisien sehingga pendapatan yang masuk ke kantong pun akan lebih besar.
Antoni mengutarakan, Anambas sebagai kepulauan terluar yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan menawarkan hasil laut yang segar dan beraneka ragam. Dalam sebulan, warga dapat menangkap ratusan ton ikan ”super” yang dijual dengan harga tinggi di daerah lain, seperti Batam, bahkan Singapura dan Hong Kong.
Ikan Napoleon, misalnya, sebagai hewan yang turut dijaga kelestariannya, penangkapannya dibatasi maksimal 10 ton per bulan. Hasil laut ini bisa dijual seharga Rp 1 juta-Rp 2 juta per kilogramnya. Ada pula kerapu yang turut mendongkrak pendapatan masyarakat.
Selama ini, proses ekspor hanya melalui jalur laut. Waktu tempuh ke Singapura bisa mencapai dua minggu, sedangkan durasi ke Hong Kong mencapai satu bulan. Belum lagi kapal-kapal ini harus singgah ke sejumlah tempat lain sehingga makin menggerus pendapatan bersih masyarakat Anambas sebagai nelayan, pihak pertama yang mengumpulkan hasil laut tersebut.
”Di sana (daerah-daerah lain) ditekan lagi harganya. Jadi, kami enggak dapat harga yang maksimal lagi,” kata Antoni.
Perjalanan laut memang dinilai kurang efisien sebab waktunya sangat lama dengan risiko yang lebih tinggi. Kebutuhan mesin pendingin, es, pergudangan, dan listrik juga makin besar. Pesawat kargo yang lebih efisien diharapkan bisa menjawab beragam persoalan itu.
Baca juga: Sumber Air Mengering, Warga Anambas Kesulitan Air
Pengamat penerbangan, Gatot Rahardjo, mengatakan, kawasan 3TP biasanya disokong penerbangan perintis. Dalam konteks ini, maskapai Susi Air berperan sebagai garda terdepan. Tujuan penerbangan ini untuk menjembatani penerbangan komersial.
”Jadi, penerbangan perintis akan membentuk dan menguatkan pasar atau perekonomian daerah. Nanti, kalau sudah siap, baru dikembangkan ke penerbangan komersial,” ujarnya.
Masyarakat daerah 3TP memang perekonomiannya biasanya bergantung dari luar daerahnya. Apabila perekonomian terus menggeliat, mereka baru bisa menjual barang ke luar daerah.
Kenyataan ini menggambarkan begitu pentingnya konektivitas antardaerah. Tak hanya perekonomian yang dipertaruhkan, tetapi nyawa manusia pun bergantung pada dukungan moda transportasi daerah.
Masyarakat yang tinggal di pedalaman memiliki kebutuhan yang sama seperti penduduk perkotaan. Memang membangun konektivitas dan fasilitas di daerah pedalaman butuh upaya lebih, tetapi bukan berarti mereka patut dianaktirikan.
Anambas hanyalah satu dari banyaknya daerah pedalaman lain di Indonesia yang membutuhkan fasilitas dasar guna memenuhi kebutuhan pokok penduduknya. Pekerjaan rumah yang dilakukan pemerintah serta pemegang kepentingan terkait tentu masih banyak. Ego sektoral dan kepentingan kelompok perlu dikesampingkan demi memperbaiki nasib banyak orang.
Tonton juga: Dua Kapal Vietnam Kedapatan Menangkap Ikan di Perairan Konservasi Indonesia