Apakah Mobil Listrik Benar-benar Menjadi Pilihan Konsumen?
Mobil listrik tengah menjadi primadona di seluruh dunia. Di Indonesia, penjualan mobil listrik masih menantang.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. Apa saja ragam sumber energi kendaraan?
2. Seperti apa perkembangan populasi kendaraan bertenaga listrik?
3. Apa yang menjadi pertimbangan konsumen dalam membeli kendaraan listrik?
4. Bagaimana seharusnya yang dilakukan pemerintah agar pertumbuhan kendaraan listrik maju pesat?
Merujuk pada laman Departemen Energi Amerika Serikat, pada 1832 Robert Anderson mengembangkan kendaraan listrik pertama, tetapi baru pada tahun 1870-an kemudian kendaraan listrik menjadi praktis. Pada periode 1900-1912, kendaraan listrik sangat populer di AS, mencakup sekitar sepertiga dari semua kendaraan di jalan.
Pada 1901, Ferdinand Porsche, pendiri mobil sport dengan nama yang sama, menciptakan Lohner-Porsche Mixte, mobil hibrida pertama di dunia. Kendaraan ini digerakkan oleh listrik yang disimpan dalam baterai dan mesin berbahan bakar gas. Namun, ”umur” kendaraan listrik dan hibrida di AS tak panjang seiring ditemukannya minyak di Texas yang menjadi sumber energi utama kendaraan. Dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang murah waktu itu, pada 1935 nyaris tak terlihat lagi kendaraan listrik di jalanan.
Banyak produsen mobil besar dan kecil mulai mengeksplorasi opsi untuk kendaraan berbahan bakar alternatif. Misalnya, General Motors mengembangkan prototipe untuk mobil listrik perkotaan, yang ditampilkan perusahaan tersebut pada Simposium Pertama Pengembangan Sistem Tenaga Rendah Polusi pada 1973. Tidak ketinggalan pula Jepang dengan Toyota-nya menjadi perusahaan pertama yang memproduksi massal kendaraan hibrida dengan jenama Prius pada 2000.
Bagaimana nasib kendaraan listrik saat ini, terutama di Indonesia?
Baca juga: Mobil Apakah yang Paling Laris di Indonesia?
Apa saja ragam sumber energi kendaraan listrik?
Secara umum, ada tiga ragam sumber energi mobil listrik. Yang pertama adalah mobil bermesin bensin atau diesel yang digabungkan dengan motor listrik. Mobil model ini dikenal sebagai hybrid electric vehicle (HEV). Sistem penggerak dari mesin bensin/solar dan dari motor listriknya dapat digunakan secara bergantian. Pada saat pengereman mobil hibrida, fungsi motor dari penggerak roda menghasilkan daya listrik yang disimpan dalam baterai.
Kedua, kendaraan listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV). Tenaga baterai pada mobil menjadi satu-satunya tenaga penggerak mesin mobil. Dengan demikian, mobil ini tidak menggunakan BBM sama sekali sehingga dikenal sebagai mobil dengan nol emisi. Tenaga listrik pada baterai dapat diisi ulang dengan pengisi daya (charging station).
Ketiga, mirip dengan mobil jenis HEV, ada pula yang namanya plug-in HEV atau PHEV. Mobil jenis ini dapat menggunakan energi penggerak dari mesin bensin/solar dan dari motor listriknya, mirip dengan sistem yang bekerja pada jenis HEV. Bedanya, PHEV memungkinkan untuk mengisi daya baterai lewat stop kontak (charging station) seperti yang dilakukan mobil jenis BEV.
Yang terbilang populer di masyarakat adalah mobil listrik berbasis baterai. Mobil ini sepenuhnya tidak membutuhkan BBM. Mobil jenis ini dikenal sebagai mobil ramah lingkungan.
Baca juga: Kembangkan Mobil Listrik, Produsen Terapkan Strategi Berbeda
Seperti apa perkembangan populasi kendaraan listrik di Indonesia?
Mengutip laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit sepeda motor listrik ”mengaspal” di jalanan pada 2030. Untuk mendukung program tersebut, dibutuhkan 32.000 stasiun pengisian kendaraan listrik untuk umum (SPKLU) di seluruh Indonesia pada 2030.
Secara umum, mobil listrik mulai meramaikan pasar otomotif Indonesia sejak tahun 2020. Kala itu, untuk pertama kalinya pihak agen tunggal pemegang merek (ATPM) memasarkan mobil listrik murni secara massal di Indonesia. Hyundai dengan Ioniq EV dan Kona membuka pasar mobil listrik secara umum di dalam negeri pada November 2020.
Pada tahun 2020 baru ada 120 unit mobil listrik yang mengaspal, kemudian bertambah sebanyak 685 unit pada tahun berikutnya. Lonjakan begitu terasa pada tahun 2022 dengan 10.327 mobil terjual dalam setahun. Angka itu terus meningkat lagi pada tahun 2023 dengan membukukan 17.062 unit EV diadopsi oleh masyarakat luas.
Mengutip data Gaikindo, pada Januari-Mei 2024 total penjualan mobil masih didominasi mobil berbahan bakar bensin yang porsinya 90,66 persen dari total penjualan mobil nasional. Sisanya, 9,34 persen, dibagi untuk tiga jenis kendaraan elektrifikasi di atas dengan porsi terbesar hibrida listrik dengan 6,41 persen, diikuti mobil listrik berbasis baterai 2,9 persen, dan plug-in hybrid 0,3 persen.
Porsi penjualan mobil berbahan bakar bensin memang menurun, tetapi lambat. Sepanjang tahun lalu, total penjualan mobil berbahan bakar bensin mencapai 92,9 persen. Sisanya, 7,1 persen, penjualan baru yang dibagi ke tiga jenis kendaraan elektrifikasi. Tahun 2021, 2020, dan 2019 porsi penjualan mobil berbahan bakar bensin bahkan masih 99 persen.
Baca juga: Tantangan Berat Tahun 2030, Merealisasikan 2 Juta Unit Mobil Listrik di Indonesia
Apa pertimbangan konsumen saat membeli mobil listrik?
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, 60 persen lebih konsumen otomotif Indonesia selama ini membeli kendaraan dengan harga di bawah Rp 300 juta per unit. Jadi, untuk mengenalkan mobil listrik kepada konsumen di Indonesia, harga jualnya sebaiknya ada di rentang yang sama dengan harga mobil yang menggunakan BBM.
Salah satu isu terkait tingginya harga mobil listrik, menurut Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara, adalah harga baterai yang masih relatif mahal. Harga baterai berkontribusi sekurang-kurangnya 50 persen dari total harga mobil listrik.
Namun, saat ini sudah ada mobil listrik yang dijual lebih murah dari mobil berbahan bakar bensin/solar. Mobil listrik buatan China, misalnya, dijual di Indonesia dengan harga di bawah Rp 300 juta per unit. Fitur mobil pun bisa disebut canggih dan telah disematkan teknologi terbaru.
Harga yang murah bukan menjadi satu-satunya pertimbangan konsumen membeli mobil listrik. Kemudahan dan kepraktisan pengisian daya baterai pada mobil listrik juga menjadi alasan yang penting. Kehabisan daya listrik di jalanan adalah salah satu hal yang dikhawatirkan pemilik mobil listrik.
Baca juga: Maju Mundur Konsumen Membeli Mobil Listrik
Bagaimana agar pertumbuhan kendaraan listrik pesat?
Pemerintah Indonesia sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam perpres ini, diatur mekanisme pemberian insentif. Insentif ini juga diatur dalam berbagai aturan turunan beberapa kementerian, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Untuk perusahaan mobil listrik yang berencana mengimpor mobil listrik baterai dalam keadaan utuh (completely build up/CBU), akan memperoleh keringanan berupa pembebasan bea masuk (BM) impor sepenuhnya. Artinya, bea masuk menjadi nol persen dari sebelumnya 50 persen.
Selain itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebelumnya sebesar 15 persen akan ditanggung pemerintah sehingga jadi nol persen. Namun, karena masih impor CBU dan belum merakit di Indonesia, perusahaan tetap dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen.
Begitu pula dengan impor mobil listrik baterai dalam keadaan komponen (completely knocked down/CKD) akan mendapatkan pembebasan BM yang sebelumnya 10 persen jadi nol persen. Pajak PPnBM, yang sebelumnya 15 persen, ditanggung pemerintah sehingga menjadi nol persen.
Bagi yang sudah merakit dalam negeri dalam bentuk CKD, berarti perusahaan sudah memiliki tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Maka, perusahaan memperoleh keringanan PPN ditanggung pemerintah (DTP) sehingga hanya perlu membayar PPN sebesar 1 persen dari sebelumnya 11 persen.
Baca juga: Insentif Pajak Mestinya Turunkan Harga Mobil Listrik