Mengejar Pajak Kekayaan ”Crazy Rich” Indonesia, Prabowo Berani?
Di tengah ancaman defisit APBN dan beban utang pemerintah, ada momentum untuk mengkaji penerapan pajak kekayaan.
Selepas pandemi Covid-19, ketika orang miskin bertambah banyak dan kelas menengah kian terjepit, orang-orang kaya di Indonesia ternyata semakin kaya. Forbes mencatat, Indonesia adalah negara ke-20 dengan jumlah miliarder terbanyak di dunia pada tahun 2023.
Kekayaan Hartono bersaudara, Robert Budi dan Michael Hartono, naik 300 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun) dalam satu tahun. Pemilik Bank Central Asia (BCA) dan perusahaan rokok Djarum itu adalah orang terkaya nomor satu RI dengan total kekayaan 48 miliar dollar AS (Rp 747 triliun).
Ada pula taipan petrokimia dan energi Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific Group, yang kekayaan bersihnya naik lebih dari delapan kali lipat menjadi 43,7 miliar dollar AS (Rp 712,3 triliun). Kekayaan orang terkaya kelima Indonesia, Anthoni Salim, bos Indofood dan Salim Group, juga melonjak sebesar 2,8 miliar dollar AS (43 triliun) pada 2023.
Forbes mencatat, total kekayaan bersih kolektif para taipan dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia itu mencatat rekor kenaikan sebesar 40 persen pada 2023. Jika digabung, total nilai kekayaan bersih mereka kini menyentuh 252 miliar dollar AS atau Rp 3.924 triliun.
Jumlah kekayaan para taipan itu bahkan sudah melampaui total nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun 2024 yang sebesar Rp 3.325,1 triliun.
Meski demikian, pemerintah sampai saat ini belum mengenakan pajak atas kekayaan bersih dari total gabungan aset orang-orang superkaya, atau yang dikenal dengan pajak kekayaan (wealth tax).
Memang, orang tajir melintir di Indonesia bukannya bebas dari pajak. Mereka tetap membayar pajak seperti warga kelas menengah. Antara lain, pungutan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dengan tarif progresif yang dinaikkan dari 30 persen menjadi 35 persen untuk orang-orang dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun.
Mereka juga membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas aset tanah dan properti yang mereka miliki, serta Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) alias pajak konsumsi atas barang mewah seperti mobil, kapal pesiar, perhiasan, dan rumah. Orang kaya yang umumnya punya perusahaan juga perlu menanggung PPh Badan.
Baca juga: G20 Bahas Pajak atas Kekayaan Golongan Superkaya, Bagaimana Sikap RI?
Namun, itu saja tidak cukup. Berdasarkan penelitian The Prakarsa ”Penerapan Pajak Kekayaan di Indonesia: Potensi dan Peluang”, sebagian besar penghasilan orang-orang superkaya atau high net wealth individual (HNWI) bersifat pasif, bukan penghasilan aktif seperti upah atau gaji.
Penghasilan mereka lebih banyak datang dari royalti, bunga, dividen, investasi dan hasil penjualan aset (capital gain). Artinya, ada potensi pajak yang belum tergali dengan optimal. Peluang orang-orang superkaya tidak terkena pungutan PPh progresif, karena mereka bukan penerima upah atau berpenghasilan aktif.
Potensi besar
Padahal, jika pajak kekayaan diterapkan, potensinya bagi penerimaan negara akan sangat besar. Simulasi yang dibuat The Prakarsa menunjukkan, dengan asumsi ada sekitar 4.600 orang Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 10 juta dollar AS atau Rp 144 miliar, potensi tambahan penerimaannya adalah Rp 54 triliun sampai Rp 155,3 triliun per tahun.
Direktur Eksekutif The Prakarsa AH Maftuchan mengatakan, pajak kekayaan bisa menjadi opsi sumber pendapatan domestik dan mendongkrak pendapatan negara secara signifikan. Berbagai kajian memperkirakan, pajak progresif atas kekayaan bersih dapat menghasilkan penerimaan negara berkisar 3-10,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Penerapan pajak kekayaan bisa mendorong redistribusi pendapatan dan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi yang ada di masyarakat. ”Itu bisa digunakan untuk mendanai berbagai program sosial, menciptakan pemerataan ekonomi, dan mendanai program pembangunan lainnya,” katanya, Jumat (26/7/2024).
Menurut dia, model pajak kekayaan yang bisa diterapkan adalah skema tarif progresif 1-2 persen. Semakin besar nilai kekayaan bersih yang dimiliki seseorang, semakin tinggi tarif pajaknya. Skema ini paling memungkinkan karena pajak yang dipungut tidak terlalu tinggi, tetapi potensi penerimaannya tetap relatif signifikan.
Dengan skema itu, 100 orang paling kaya di Indonesia (kekayaan Rp 6,4 triliun-di atas Rp 10 triliun) akan menyetorkan pajak sebesar Rp 60,2 triliun. Sementara orang kaya lainnya (kekayaan Rp 144 miliar-Rp 6,4 triliun) menyumbangkan Rp 18,4 triliun. Dalam setahun, total potensi penerimaan pajaknya adalah Rp 78,5 triliun.
”Itu sudah senilai 6,15 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun 2021. Lebih tinggi dari realisasi penerimaan sejumlah jenis pajak pada 2021, bahkan melebihi total penerimaan PPh melalui program pengampunan pajak (tax amnesty) tahun 2016 dan 2022,” kata Maftuchan.
Meski potensinya besar, penerapan pajak kekayaan perlu dikaji matang agar tidak memunculkan resistensi dan mendorong terjadinya ”eksodus” atau kaburnya orang kaya dari Indonesia.
Baca juga: Pemerintah Buru Pajak Orang Kaya, Antisipasi Celah Penghindaran
Konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mengatakan, tarif yang ditetapkan cukup 2,5-5 persen dari total kekayaan, dan hanya ditujukan untuk orang kaya dengan kekayaan Rp 500 miliar yang jumlahnya sekitar 600 orang.
”Batasan kekayaan yang dikenai pajak kalau dibuat terlalu rendah nanti bisa menimbulkan resistensi. Tetapi, kalau wajib pajak yang kekayaannya sudah di atas Rp 500 miliar, saya kira kalau mau protes sepertinya akan malu,” ujar Raden.
Momentum ada, berani tidak?
Di tengah kondisi keuangan negara yang ”seret”, momentum untuk menerapkan pajak kekayaan sebenarnya ada. Penerimaan pajak telah anjlok sepanjang paruh awal tahun ini. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memperkirakan, setoran pajak sampai akhir tahun tidak akan memenuhi target.
Di sisi lain, belanja negara sedang besar-besarnya. Total beban utang pemerintah pun membengkak hingga sudah menembus Rp 8.000 triliun. Ke depan, tanggungan belanja pemerintah akan semakin besar di bawah pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Maftuchan mengatakan, di tengah ancaman defisit APBN dan beban utang yang melebar itu, pajak kekayaan bisa jadi solusi untuk mendongkrak penerimaan pajak secara signifikan dan mendanai berbagai kebijakan dan program pemerintah.
Secara global, ada pula momentum berupa pembahasan rencana pengenaan pajak kekayaan global (global wealth tax) sebesar 2 persen yang saat ini menjadi agenda utama dan paling disoroti dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio De Janeiro, Brasil, tahun ini.
Tak hanya itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sedang menyusun Konvensi Pajak PBB (UN Tax Convention), di mana salah satu poinnya adalah pajak kekayaan. ”Indonesia menjadi salah satu panel ahli di Komite Pajak PBB, jadi kita semestinya bisa memainkan peran itu dalam mengembangkan konsensus global,” katanya.
Namun, apakah rezim baru berani? Berdasarkan pengalamannya selama 20 tahun bertugas di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu, tutur Raden, pemerintah kerap menghindari kebijakan pajak yang membuat kegaduhan seperti pajak kekayaan. Apalagi, para konglomerat umumnya memiliki pengaruh politik yang kuat terhadap pembentukan kebijakan.
Di sisi lain, estensifikasi pajak melalui penerapan pajak kekayaan juga tidak termasuk dalam visi-misi Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka saat pemilu.
Baca juga: ”Putar Otak” Dongkrak Pajak, Prabowo Sasar Ekonomi Bawah Tanah
”Ada nuansa ‘jangan sampai membuat gaduh’ di kalangan pimpinan Ditjen Pajak. Jadi, saya kira ini butuh dorongan dari kepala negara. Kalau tidak, pasti akan kandas, orang-orang kaya akan bergerilya di DPR agar kebijakan itu tidak lolos,” tutur Raden.
Peneliti Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menambahkan, sistem pajak Indonesia memang masih bisa dibuat lebih progresif. Namun, secara politik, ia ragu itu bisa diterapkan. Pasalnya, sistem politik Indonesia masih berbiaya tinggi dan membutuhkan logistik yang besar. Salah satu sumbernya dari para konglomerat.
”Sistem politik kita yang belum dewasa. Selama politik kita tidak bertarung dalam ranah ideologi, kebijakan pajak kita akan selalu cari aman. Ide pajak yang radikal, yang betul-betul eat the rich, istilahnya, sulit untuk direalisasikan,” katanya.
Akan tetapi, jika pajak kekayaan sulit diterapkan, menurut dia, masih ada banyak cara lain untuk meningkatkan progresivitas pajak dan meningkatkan kontribusi orang kaya terhadap penerimaan negara.
Ia mencontohkan, saat ini tarif PPh Final masih terlalu rendah. Padahal, penghasilan utama orang superkaya adalah dari imbal hasil surat berharga dan sewa aset. Namun, sumber pendapatan pasif seperti itu belum dikenakan tarif PPh Final yang optimal. ”Jadi, ini saja dulu yang dicarikan solusinya. Lebih feasible, meski saya yakin akan tetap gaduh,” ujarnya.