Banyak pertimbangan untuk membeli mobil listrik. Tak sekadar ikutan tren, fitur, dan biar tampak ”keren”.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
Mobil bertenaga listrik selalu mencuri perhatian. Tak hanya di ajang pameran otomotif, tetapi juga di jalan raya. Gemerlap mobil listrik, mulai dari kecanggihan teknologi yang disematkan hingga soal harga, menjadi perbincangan hangat publik. Apakah konsumen Indonesia langsung tertarik beralih dari mobil bensin ke mobil listrik? Tunggu dulu.
Andika (31) dan Niken (29) tiba di pameran Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Jumat (26/7/2024), dengan niat ingin membeli mobil. Pasangan suami istri ini bahkan kompak mengambil cuti kerja satu hari agar bisa puas melihat satu per satu kendaraan yang ditawarkan oleh 55 merek mobil dalam pameran ini.
Saat berangkat dari rumah, ungkap Andika, mereka tertarik untuk melihat mobil listrik berbasis baterai. Apa pun mereknya. Kami cari mobil listrik yang harganya terjangkau, desainnya keren, dan daya tahan baterainya bisa untuk perjalanan jauh,” kata Andika saat dijumpai di pameran GIIAS, Jumat.
Adapun Niken mengatakan, dirinya ingin menjadi bagian dari masyarakat yang menyetir mobil bebas polusi. Punya mobil listrik baterai sendiri, menurut dia, juga terlihat ”kekinian” di mata teman-teman serta keluarganya. Namun, setelah mencermati lima merek mobil listrik buatan Korea Selatan, China, hingga Vietnam, semangat untuk membeli mobil listrik mereka malah luntur. Alasannya, beragam.
Menurut Andika, harga mobil listrik yang ditawarkan masih terlalu mahal untuk mereka. Karyawan swasta ini mencari mobil listrik yang harganya paling tidak di bawah Rp 300 juta. Memang ada beberapa varian mobil listrik yang dijual di bawah Rp 300 juta, tetapi mereka tidak cocok dengan desainnya.
Selain itu, setelah bertanya banyak hal soal pengisian daya baterai dan pemeliharan, Andika malah makin mengurungkan niatnya membeli mobil listrik. Andika dan Niken yang masih kerap bolak-balik bekerja komuter dari rumahnya di bilangan Suradita, Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, ke Jakarta khawatir kekurangan daya listrik di perjalanan apabila berkendara dengan mobil listrik. Perjalanan lebih dari 60 kilometer pergi-pulang tiap hari itu, lanjut Andhika, membutuhkan mobil yang andal.
Menurut dia, layanan purnajual mobil dari merek-merek yang menawarkan mobil listrik dirasa belum cukup luas. Berbeda dengan merek-merek mobil yang sudah lama ada di Indonesia yang masih dominan menawarkan varian mobil berbahan bakar minyak. Hal itu pulalah yang kian mengendurkan semangatnya.
”Saya khawatir malah nanti mogok di tengah jalan karena habis baterai. Kalau habis bensin, kan, tinggal ke SPBU. Nah, bagaimana kalau mobil listrik? Bengkel-bengkel di pinggir jalan rasanya juga belum ahli utak-atik ini (mesin mobil listrik). Kayaknya masih repot, ya,” ujarnya.
Akhirnya, setelah melihat berbagai merek dan varian yang tak hanya mobil listrik, pilihan mereka jatuh kepada sebuah mobil varian multiguna (multi purpose vehicle/MPV) sebuah pabrikan Jepang berjenis hibrida yang harganya sedikit di bawah Rp 300 juta.
Menurut dia, mobil hibrida setidaknya sudah lebih ramah lingkungan, tetapi masih praktis pemakaiannya. Sebab, mobil hibrida digerakkan kombinasi tenaga bensin dan listrik. Tenaga bensin digunakan menggerakkan mobil saat awal, setelahnya mobil akan menggunakan energi listrik.
”Bukan mobil listrik murni berbaterai, tetapi mobil hibrida bensin dan listrik. Kebetulan ini lebih pas buat kami. Lebih hemat, lebih ramah lingkungan, dan tidak merepotkan saat pengisian dayanya,” ucapnya.
Kisah hampir serupa juga dialami Zia (34). Wirausahawan bidang kuliner ini datang ke pameran karena penasaran dengan beragam mobil listrik yang dilihatnya dari iklan di media sosial dan di jalanan. Namun, ketika sudah melihat langsung dan mencari tahu lebih lanjut, Zia memutuskan belum akan membeli mobil listrik.
”Mobil listrik sepertinya terlalu canggih, ya. Nanti malah repot di jalan kalau ada masalah. Mobil yang biasa saja (mobil berbahan bakar bensin),” ujarnya terkekeh.
Namun, ada pula konsumen yang memang sudah mantab untuk membeli mobil listrik. Ariawan (43), misalnya, memutuskan membeli mobil listrik pabrikan Korea Selatan lantaran tertarik dengan desain dan fitur yang ditawarkan. Mobil ini akan menambah koleksi mobil di rumahnya. Sebelumnya, ia sudah punya mobil sedan yang masih mengonsumsi bensin.
”Saya mau upgrade biar kekinian dengan mobil listrik,” tuturnya.
Tumbuh lambat
Kendati sedang tren, pasar penjualan kendaraan listrik di Indonesia masih lambat. Kendaraan listrik atau bisa juga disebut kendaraan rendah emisi (low carbon emission vehicles/LCEV) terdiri dari tiga jenis kendaraan, yakni mobil listrik berbasis baterai, hibrida listrik, dan plug-in hybrid.
Mengutip data Gaikindo, pada Januari-Mei 2024 total penjualan mobil masih didominasi mobil berbahan bakar bensin yang porsinya 90,66 persen dari total penjualan mobil nasional. Sisanya 9,34 persen dibagi untuk tiga jenis kendaraan elektrifikasi di atas dengan porsi terbesar hibrida listrik dengan 6,41 persen, diikuti mobil listrik berbasis baterai 2,9 persen, dan plug-in hybrid 0,3 persen.
Porsi penjualan mobil berbahan bakar bensin memang menurun, tetapi lambat. Sepanjang tahun lalu, total penjualan mobil berbahan bakar bensin mencapai 92,9 persen. Sisanya sebesar 7,1 persen penjualan baru yang dibagi ke tiga jenis kendaraan elektrifikasi. Tahun 2021, 2020, dan 2019 porsi penjualan mobil berbahan bakar bensin bahkan masih 99 persen.
Pangsa pasar kendaraan elektrifikasi di Indonesia memang masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lainnya. Di Eropa, pada 2023 pangsa pasar kendaraan terelektrifikasi mencapai 52,3 persen, di China telah mencapai 40 persen, Thailand 23,8 persen, dan Amerika Serikat 16,3 persen.
Menurut Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto, salah satu penyebab masih lambatnya pertumbuhan pasar kendaraan terelektrifikasi ini dikarenakan harga mobil yang masih belum terjangkau. Ia mengatakan, pasar mobil yang paling gemuk adalah yang harganya di kisaran Rp 100 juta-Rp 300 juta per unit, sedangkan harga kendaraan terelektrifikasi rata-rata masih di atas harga tersebut.
Ia mengatakan, berbagai pajak yang dikenakan pada kendaraan terelektrifikasi ini membuat harganya terkerek naik. Jongkie berharap ada insentif keringanan pajak sehingga harga mobil jenis ini bisa lebih terjangkau.
Pemerintah sebenarnya sudah mengupayakan pertumbuhan populasi mobil listrik melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Perpres No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Insentif itu memberi berbagai keringanan pajak, antara lain pembebasan bea masuk impor, Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Deputi Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menjelaskan, insentif yang diberikan itu diharapkan bisa membuat harga jual kendaraan listrik menjadi lebih terjangkau karena banyak biaya pajak yang dibebaskan.
Hal ini dimaksudkan tak hanya untuk merangsang pertumbuhan populasi mobil listrik, tetapi juga untuk mendorong masuknya investasi pabrikan mobil listrik baterai dunia. Insentif ini juga untuk mendorong program transisi energi pemerintah. Apalagi, Indonesia berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060.
Jadi, apakah Anda tertarik untuk membeli mobil listrik?