G20 Bahas Pajak atas Kekayaan Golongan Superkaya, Bagaimana Sikap RI?
Pemerintah sudah mengenakan pajak atas penghasilan orang-orang superkaya, tetapi belum memajaki kekayaan bersih mereka.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengenaan pajak minimum bagi miliarder dunia sedang alot dibicarakan di Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun ini. Inisiatif yang digaungkan presidensi Brasil itu ingin menyasar pajak sebesar minimum 2 persen atas kekayaan orang-orang superkaya dunia. Indonesia diharapkan berani menggali potensi pajak yang sama.
Dilansir dari pemberitaan Bloomberg, ide memajaki golongan super kaya dunia secara merata itu awalnya diinisiasi Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva. Gagasan itu didukung sejumlah anggota negara G20 lainnya, meski di sisi lain ada penolakan yang cukup kuat dari beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat.
Lewat skema pajak kekayaan global tersebut, ada sekitar 3.000 orang terkaya dunia yang kekayaannya akan dipajaki dengan tarif minimum 2 persen. Pengumpulan pajak atas aset kekayaan para konglomerat itu diharapkan bisa menarik dana hingga 250 miliar dollar AS per tahun atau setara Rp 4.702 triliun.
Dana sebesar itu akan digunakan untuk mendanai aksi mitigasi perubahan iklim serta mengatasi kelaparan dan kemiskinan di berbagai negara. Pemerintah Indonesia ikut terlibat dalam pembahasan itu, diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang sudah bertolak ke Rio De Janeiro, Brasil, sejak 23 Juli 2024 lalu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Susiwijono Moegiarso, Kamis (25/7/2024), mengatakan, Indonesia ikut memantau baik-baik perkembangan pembahasan gagasan pajak minimum kekayaan global di forum G20 tersebut.
Terlebih, saat ini Indonesia sedang mengikuti proses aksesi sebagai anggota ”klub negara maju” alias Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD). Dengan demikian, berbagai kesepakatan global, khususnya terkait perpajakan, bisa ikut berimplikasi pada kebijakan yang diterapkan Indonesia.
”Kalau nanti ada implikasi (dari pajak kekayaan global) itu terhadap pemenuhan standar kita dalam aksesi OECD, pasti akan langsung kita follow up. Kebetulan, urusan kebijakan fiskal dalam tim nasional untuk aksesi OECD itu dikoordinasikan Bu Menteri Keuangan, jadi beliau yang akan langsung mengoordinasikannya,” kata Susiwijono di Jakarta.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia juga sepakat menerapkan kebijakan perpajakan global lainnya yang didorong OECD, yaitu Pajak Minimum Global atau Global Minimum Tax (GMT).
Lewat kebijakan itu, pemerintah akan memajaki korporasi multinasional besar yang beroperasi di dalam negeri dengan tarif minimum 15 persen atas penghasilan yang mereka dapat dari Indonesia. Dalam menyusun rancangan kebijakan fiskal tahun 2025, kebijakan itu dijadikan salah satu andalan pemerintah untuk mengerek setoran pajak.
Redistribusi kekayaan
Pemerintah sebenarnya sudah mengenakan pajak atas orang-orang superkaya (high net worth individual/HNWI) di Indonesia. Namun, yang dipajaki baru pendapatan (income) mereka lewat Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21) yang dipungut progresif, bukan nilai kekayaan bersih yang dimiliki para taipan tersebut.
Sementara, melalui pajak kekayaan, obyek yang dipungut pajak akan lebih luas, bukan sekadar penghasilan. Mulai dari aset kekayaan bersih, seperti tabungan/giro, deposito perbankan, saham, properti, dan kendaraan; hasil transfer kekayaan, seperti warisan, donasi, dan hiba; serta kekayaan lain, seperti keuntungan dari hasil investasi atau penjualan aset (capital gain).
Pendiri Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengatakan, di tengah diskusus global yang semakin progresif, Indonesia perlu menerapkan pajak kekayaan atas wajib pajak super kaya. Pemajakan yang berani terhadap harta para konglomerat akan memunculkan sumber pendanaan yang besar untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan di masyarakat.
”Salah satu fungsi pajak adalah redistribusi kekayaan. Jangan sampai kekayaan hanya dipegang segelintir orang,” kata Raden saat dihubungi di Jakarta.
Ia menuturkan, pengenaan pajak atas penghasilan kelompok superkaya saja tidak cukup. Selama ini, kekayaan yang tidak dipajaki kerap menjadi ”celah” para miliarder untuk menghindari kewajiban perpajakan yang lebih tinggi.
Padahal, penghasilan orang-orang superkaya yang dipajaki selama ini tidak seberapa dibandingkan dengan total nilai kekayaan bersih mereka yang selama ini praktis bebas pajak.
”Dengan berbagai skema, banyak kenaikan kekayaan yang berasal dari praktik penghindaran pajak sehingga tidak dikenai pajak. Dengan pajak kekayaan, pengusaha superkaya tetap bayar pajak kepada negara dari kekayaannya,” kata Raden yang pernah bertugas di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan selama dua dekade.
Penerapan pajak kekayaan butuh dorongan dari kepala negara.
Perlu kemauan politik
Ia yakin ekstensifikasi pajak melalui menerapkan pajak kekayaan bisa mengerek penerimaan negara dan meningkatkan rasio pajak (tax ratio) yang selama ini stagnan di level rendah. Kebijakan itu juga bisa memenuhi kebutuhan pendanaan pemerintah yang membengkak di tengah masa transisi pemerintahan.
Akan tetapi, untuk menerapkan pajak kekayaan di Indonesia perlu kemauan politik yang kuat. Itu sepenuhnya tergantung pada presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan naik jabatan pada Oktober 2024 ini.
”Penerapan pajak kekayaan butuh dorongan dari kepala negara. Kalau hanya keinginan dari DJP atau Kementerian Keuangan saja, bisa jadi kandas di DPR. Orang kaya akan bergerilya di DPR agar tidak meloloskan undang-undang terkait pajak kekayaan tersebut,” ujarnya.
Peneliti Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar meyakini pajak kekayaan sangat dibutuhkan untuk memenuhi asas keadilan sosial dan menggenjot penerimaan negara secara signifikan. Namun, ia ragu kebijakan itu bisa diterapkan secara global maupun domestik.
Secara global, tidak terlihat ada kekompakan di antara negara-negara G20 untuk menyepakati usulan Brasil itu. Apalagi, AS yang selama ini memiliki pengaruh kuat, menolak usulan itu. Tidak ada pula disinsentif bagi negara yang tidak menerapkan pajak kekayaan, sehingga usulan kebijakan itu minim daya dorong.
Sementara, secara domestik, perlu ada payung hukum baru berupa undang-undang, mengingat pajak kekayaan ini akan menjadi jenis pungutan pajak baru di Indonesia. Pembentukan UU ini akan melibatkan proses politik yang sangat panjang. ”Berdasarkan pengalaman sebelumnya, ini akan sulit direalisasikan,” ujar Fajry.