Perdagangan Karbon di Indonesia Meningkat, Insentif Masih Minim
Insentif dinilai penting karena pengurangan emisi berbiaya mahal, yang, antara lain, untuk ongkos penggunaan teknologi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan karbon di Indonesia oleh pelaku industri secara perlahan terus meningkat. Namun, insentif untuk menggairahkan transaksi tersebut dinilai masih minim. Hal ini dibutuhkan oleh sektor swasta yang mulai sadar untuk memitigasi dengan menjalankan bisnis berkelanjutan atau ramah lingkungan.
Perdagangan karbon yang salah satunya dikerjakan dengan mekanisme pengimbangan (offset) unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan kegiatan manusia atau industri, dikerjakan Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) PT Bursa Efek Indonesia Tbk, di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak peluncuran bursa tersebut pada 26 September 2023 hingga 19 Juli 2024, jumlah kredit karbon yang dijualbelikan telah mencapai 609.005 ton unit karbondioksida (CO2) senilai Rp 36,8 miliar.
”Sedangkan untuk pengguna jasa karbon yang telah terdaftar di IDXCarbon sudah mencapai 68 entitas institusi dari 16 partisipan di September 2023,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi, saat memberikan sambutan dalam webinar ”Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia” yang diselenggarakan Gatra, Selasa (23/7/2024).
Tiga di antara partisipan adalah penjual unit karbon, yakni Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) lewat pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Lahendong Unit 5 dan 6, proyek pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) Muara Karang, dan proyek pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTMh) Gunung Bugul. Adapun 65 partisipan lainnya adalah pembeli unit karbon dari proyek rendah emisi itu sebagai komplementer untuk memenuhi kewajiban pengurangan emisi karbon.
IDXCarbon juga telah memfasilitasi aktivitas pembelian unit karbon untuk pemenuhan kewajiban penurunan emisi oleh 168 individu, 96 perusahaan, dan satu kegiatan acara dengan total volume 417.753 ton CO2.
”Perdagangan unit karbon di bursa karbon tersebut menunjukkan perkembangan yang cukup mengembirakan, jika dibandingkan dengan perkembangan bursa karbon di kawasan, seperti Malaysia ataupun Jepang yang memerlukan waktu. Tapi, tentunya dibandingkan dengan hal tersebut masih tetap kecil dan masih tetap harus perlu upaya-upaya untuk meningkatkan hal tersebut,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, pada kesempatan sama, menambahkan, di subsektor pembangkit listrik juga sudah dilakukan perdagangan karbon sejak awal 2023 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong transisi energi ke arah keberlanjutan. Perdagangan karbon, menurut rencana, dilakukan tiga fase hingga tahun 2030, dengan target memperkecil emisi karbon dan meningkatkan transisi energi terbarukan pada pembangkit listrik.
Pada fase pertama yang akan berakhir di pengujung 2024, mereka telah mengajak sejumlah pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil, baik yang terhubung dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau untuk kepentingan sendiri di wilayah usaha non-PLN (captive power).
”Sepanjang 2023, jumlah peserta mencapai 99 unit, terdiri dari pembangkit batubara yang terhubung jaringan PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 megawatt. Tahun ini, peserta menjadi 146 unit dengan tambahan kapasitas PLTU batubara lebih dari atau sama dengan 25 gigawatt,” kata Dadan.
Dari kepesertaan tersebut, mereka mentransaksikan 7,1 juta ton CO2 senilai Rp 84,17 miliar. Nilai tersebut berasal dari transaksi perdagangan emisi melalui mekanisme langsung, ataupun mekanisme perdagangan di IDXCarbon.
”Perdagangan karbon ini hal baru. Maka, kami terus melakukan sosialisasi, peningkatan kapasitas, evaluasi, dan memfasilitasi pemangku kepentingan yang terlibat, tidak hanya dari sektor listrik, tetapi juga energi baru terbarukan, penghematan energi, termasuk fokus pada pengembangan carbon capture and storage,” kata Dadan.
Butuh insentif
Lastyo Kuntoaji Lukito, Ketua Umum Asosiasi Ahli Emisi Karbon Indonesia (ACEXI), sebuah perkumpulan ahli dan praktisi emisi karbon, mengungkapkan, untuk meningkatkan partisipasi dalam mengendalikan emisi karbon, insentif perlu dikedepankan. Hal ini dibutuhkan oleh sektor swasta yang mulai sadar untuk memitigasi dengan menjalankan bisnis berkelanjutan atau ramah lingkungan.
”Kadang-kadang informasinya kurang detail atau masih berpikir untuk apa kami melakukan (pengurangan emisi karbon). Jadi, perlu ada insentif juga buat kami,” tuturnya.
Insentif dinilai penting karena upaya pengurangan emisi berbiaya mahal, yang antara lain untuk ongkos kebutuhan penggunaan teknologi terstandar. Insentif lain yang dibutuhkan adalah pemangkasan waktu dan biaya untuk penerbitan dokumen inventarisasi emisi karbon, yakni Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi bagi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) atau Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang ditetapkan negara.
Baik PTBAE-PU maupun SPE-GRK dinilai dan didaftarkan oleh Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ini dibutuhkan pelaku usaha untuk mengimplementasikan kebijakan nilai ekonomi karbon, salah satunya lewat perdagangan karbon.
Di sisi lain, SRN-PPI dinilai belum siap untuk mengakomodasi inventarisasi karbon di banyak jenis usaha. Sejauh ini, menurut catatan mereka, baru ada 49 metodologi dari lima kategori, jika mengacu pada Lembaga Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Senada, Direktur Lingkungan Hidup pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Priyanto Rohmatullah mengakui, sedikitnya metodologi terverifikasi yang mengacu pada standar internasional dalam pengaturan karbon, menjadi tantangan industri masuk ke pasar karbon. Tidak hanya itu, tantangan juga datang dari permintaan kredit karbon yang rendah karena pemerintah belum menetapkan batas jumlah emisi yang wajib diperdagangkan, serta kesulitan keuangan internal industri saat ini.