Bertambah, Jumlah Anak yang Terpaksa Bekerja di Indonesia Timur
Pembangunan industri yang sedang marak di timur kurang memperhatikan pencegahan pekerja anak.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proporsi pekerja anak paling tinggi cenderung berada di provinsi-provinsi di Indonesia bagian timur. Hal ini diduga karena pembangunan industri yang sedang marak dilakukan pemerintah di sana kurang memperhatikan pencegahan pekerja anak.
Definisi proporsi pekerja anak, sesuai Badan Pusat Statistik (BPS), adalah semua anak berumur 5-12 tahun yang bekerja, penduduk umur 13-14 tahun yang bekerja lebih dari 15 jam per minggu, serta penduduk usia 15-17 tahun yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu dibandingkan jumlah penduduk umur 5-17 tahun.
National Programme Officer ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Abdul Hakim, yang ditemui di sela-sela peluncuran Peta Jalan Indonesia Bebas Pekerja Anak Lanjutan, Senin (22/7/2024), di Jakarta, mengatakan, saat laporan riset data pekerja anak pertama kali dirilis BPS pada 2009, proporsi pekerja anak paling tinggi cenderung ada di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kondisi seperti ini dia sebut bertahan beberapa tahun terakhir. Intervensi pemerintah untuk mencegah ataupun menekan jumlah pekerja anak di Jawa gencar sehingga lama-lama proporsi turun.
Mengutip laman BPS, pada 2018, provinsi dengan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja paling tinggi ada di Sulawesi Tenggara, mencapai 5,32 persen, disusul Sulawesi Tengah (4,67 persen) dan Sulawesi Selatan (4,63 persen). Pada 2019, tiga provinsi teratas dengan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja bergeser ke Sulawesi Tenggara (4,07 persen), Sulawesi Selatan (3,44 persen), dan Gorontalo (3,10 persen).
Selanjutnya, pada 2020, tiga provinsi teratas dengan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja adalah Sulawesi Tenggara (6,43 persen), Sulawesi Utara (4,61 persen), dan Nusa Tenggara Barat (4,56 persen). Lalu, pada 2021, tiga provinsi teratas dengan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja adalah Sulawesi Tenggara (4,98 persen), Kalimantan Utara (3,81 persen), dan Sulawesi Tengah (3,72 persen).
Berikutnya, pada 2022, tiga provinsi teratas dengan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja adalah Gorontalo (6,78 persen), Sulawesi Barat (6,31 persen), dan Nusa Tenggara Timur (5,12 persen). Adapun pada 2023, tiga provinsi teratas dengan persentase anak usia 10-17 tahun yang bekerja adalah Sulawesi Barat (5,61 persen), Gorontalo (5,37 persen), dan Nusa Tenggara Timur (5,1 persen).
”Tantangan pencegahan ataupun menekan jumlah pekerja anak saat ini berbeda dibanding dulu. Faktor pendorong anak bekerja semakin kompleks karena ada isu perubahan iklim dan teknologi digital,” kata Abdul.
Isu perubahan iklim, menurut dia, di satu sisi bisa membantu menyetop anak bekerja. Akan tetapi, di sisi lain, isu perubahan iklim memicu perubahan industri, seperti gagal panen, sehingga menyebabkan orang dewasa kehilangan sebagian pendapatan. Akibatnya, mau tidak mau anak harus membantu dengan cara bekerja.
Terkait teknologi digital, Abdul berpendapat, mulanya teknologi mampu menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru sehingga membantu penyerapan lapangan kerja orang dewasa. Misalnya, orang-orang dewasa yang bekerja pada platform digital. Namun, bekerja pada platform digital tidak selamanya memberikan keuntungan berkelanjutan. Orang dewasa yang bekerja di sana harus siap dengan kebijakan platform yang berubah. Lagi-lagi, sejumlah anak harus membantu mencukupi keuangan keluarga dengan bekerja.
Faktor pendorong anak bekerja semakin kompleks karena ada isu perubahan iklim dan teknologi digital.
Direktur Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Nur Hygiawati Rahayu, yang hadir dalam acara itu, mengatakan, faktor ekonomi ikut mendorong anak-anak harus bekerja.
Dia menyebutkan, lebih kurang 40 juta pekerja di Indonesia berupah di bawah Rp 5 juta per bulan. ”Pemerintah berusaha melakukan intervensi yang salah satunya menciptakan program-program dukungan sosial untuk keluarga,” ucapnya.
Indonesia 2045
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Yuli Adiratna menyampaikan, pihaknya menyusun Peta Jalan Indonesia Bebas Pekerja Anak Lanjutan yang menargetkan pada 2045, saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan, bisa bebas dari pekerja anak. Peta jalan ini melibatkan kementerian/lembaga.
”Tidak akan berhenti pada peluncuran peta jalan. Kami mengajak pengusaha, serikat pekerja, ataupun pemerintah daerah agar bersama-sama mendukung Indonesia bebas pekerja anak. Masing-masing kementerian/lembaga juga mempunyai peran,” katanya.
Menaker Ida Fauziyah dalam pidato sambutan peluncuran peta jalan menyampaikan, sesuai data BPS tahun 2023, jumlah pekerja anak usia 5-17 tahun sebesar 1,01 juta orang. Jumlah ini cenderung stagnan apabila dibandingkan tahun 2022 dengan jumlah juga sekitar 1,01 juta orang.
”Angka ini bukanlah jumlah yang sedikit. Karena itu, diperlukan suatu komitmen kita bersama untuk menanggulanginya,“ ujar Ida.
Hingga saat ini, katanya, Kemenaker tidak berhenti melakukan penanggulangan pekerja anak demi terwujudnya Indonesia Emas 2045. Salah satu upayanya adalah menarik pekerja anak dari tempat kerja, yang dari tahun 2008 hingga 2020 mencapai 143.456 pekerja anak. Kemenaker juga berupaya meningkatkan pemahaman lewat sosialisasi kepada dunia usaha dan masyarakat tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA).
”Besok 23 Juli kita rayakan Hari Anak Nasional, mari kita berikan kado terindah kepada anak-anak Indonesia dengan berkomitmen bersama melalui peta jalan ini,” ujar Ida.