Sepeda Listrik Banyak Dikendarai Anak di Jalan Raya, Bagaimana Aturannya?
Total 647 kecelakaan yang melibatkan sepeda listrik sepanjang Januari-Juni 2024. Kecelakaan juga melibatkan anak-anak.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
Sepeda listrik tengah naik daun karena mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Penggunaannya pun relatif lebih mudah ketimbang mengendarai sepeda motor. Namun, di balik popularitasnya, sebagian besar masyarakat belum sadar akan penggunaannya. Tak heran, anak-anak pun mengendari sepeda listrik hingga jalan raya.
Menurut data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri terjadi total 647 kecelakaan yang melibatkan sepeda listrik sepanjang Januari-Juni 2024. Dengan demikian, rata-rata kecelakaan yang melibatkan sepeda listrik mencapai lebih dari 100 kasus per bulan. Puncak kejadian terjadi pada Maret lalu dengan 131 kejadian. Korban kecelakaan tak terbatas pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Pengaturan soal sepeda listrik tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Namun, banyak orang masih melanggar ketentuan yang berlaku.
”Sepeda listrik dan (sepeda) motor listrik berbeda. Sepeda dibatasi kecepatan (maksimum) 25 kilometer per jam. Penggunaannya itu harusnya hanya dalam lingkungan, bukan di jalan raya. Oleh karena itu, peran orangtua harus kuat (untuk mengatur anaknya berkendara),” tutur Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub Danto Restyawan di Jakarta, Jumat (19/7/2024).
Berbeda dengan sepeda kayuh, untuk mengemudikan sepeda listrik, pengguna tinggal mengatur gas. Namun, kini ada pula sepeda motor listrik yang diproduksi menggunakan pedal sehingga seolah-olah tergolong sepeda listrik.
”Itu supaya enggak kena pajak, enggak memiliki surat tanda nomor kendaraan (STNK). Namun, praktik ini berbahaya sehingga sedang kami tertibkan,” kata Danto.
Dalam Permenhub PM 45/2020, sepeda listrik harus memenuhi persyaratan keselamatan. Syarat itu mencakup terpasangnya lampu utama; lampu posisi belakang, kiri, dan kanan; sistem rem berfungsi; klakson/bel; serta, kecepatan maksimum 25 km per jam.
Pengguna sepeda listrik wajib mengenakan helm dengan usia pengguna minimal 12 tahun, didampingi orang dewasa. Sepeda listrik juga tidak diizinkan mengangkut penumpang, kecuali dilengkapi tempat duduk penumpang.
Idealnya, para pengguna beroperasi di kawasan khusus, di antaranya lajur sepeda, permukiman, kawasan wisata, dan area di luar jalan raya. Meski demikian, realitasnya, banyak anak dan remaja menggunakan sepeda listrik ini hingga ke jalan raya. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan di jalan raya.
Danto mengatakan, Kemenhub dan pihak terkait lainnya tak dapat bergerak sendiri menertibkan mereka. Orangtua dan warga lingkungan semestinya dapat berpartisipasi membantu.
”Kami hanya bisa imbau, tetapi kalau di jalan raya, ya kami enggak bisa (menindak). Kami akan terus kampanyekan,” katanya.
Korban kecelakaan tak terbatas pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak.
Kepala Subdirektorat dan Kemitraan Keselamatan Kemenhub Iwan Budiyono mengatakan, risiko terjadinya kecelakaan memang didominasi manusia. Proporsi faktor manusia sebagai pemicu kecelakaan mencapai 90 persen. Faktor lain adalah kendaraan, prasarana jalan, serta alam.
”Nah, itu yang kami sampaikan bahwa memang penanganan terkait dengan menekan angka kecelakaan itu tak bisa hanya satu aspek, tetapi multi-aspek,” ujar Iwan.
Menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, sepeda listrik berisiko menimbulkan kecelakaan di jalan karena banyak pengguna memanfaatkannya hingga jalan raya meski trotoar bisa dilewati kendaraan ini.
”Sepeda listrik itu tidak berbunyi dan berkecepatan rendah, apalagi di jalan umum. Jalan nasional tak banyak trotoar. Trotoar yang ada banyak yang tak cukup buat sepeda,” katanya.
Menurut Djoko, cara pengendalian dimulai dari hulu. Saat pembelian dilakukan, pembeli harus diingatkan bahwa kendaraan ini tak boleh dioperasikan di jalan umum. ”Pemberitahuan ini bisa disampaikan pihak dealer. Ada edukasi bagi pembeli,”ujar Djoko. Penyalahgunaan sepeda listrik ini, lanjut Dia, menunjukkan pemahaman masyarakat yang rendah, diikuti pula dengan penegakan hukum yang masih rendah.
Selain edukasi dari pihak penjual, Korlantas serta Dinas Perhubungan tiap daerah perlu melakukan sosialisasi dan mengingatkan secara rutin. Pengawasan orangtua terhadap anak-anak harus ditingkatkan.
”Semua pihak harus berperan, termasuk edukasi di sekolah juga. Keselamatan tak mengenal ini tugas siapa, tetapi tanggung jawab bersama,” kata Djoko.
Kampanye keselamatan perlu dilakukan rutin dan terus berulang, intens, tidak hanya dilakukan pada saat tertentu. Salah satu cara paling efektif adalah memasukkan materi dalam kurikulum sekolah. Dengan begini, anak-anak akan dituntut menerima dan memahami materi keselamatan yang ada. Jangan sampai anak-anak menjadi korban sekaligus pemicu kecelakaan di jalan yang dapat merugikan pengendara lain.