Belakangan kembali mencuat rencana pemerintah yang hendak menarik pungutan kepada masyarakat. Kali ini, pungutan tersebut berupa program asuransi wajib kendaraan tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third party liability/TPL).
Asuransi ini akan memberikan pertanggungan terhadap pihak lain atas kerugian akibat kecelakaan yang disebabkan oleh tertanggung atau peserta asuransi. Ganti rugi itu meliputi biaya santunan, biaya pengobatan, serta kerusakan material.
Saat ini, pelaksanaan program asuransi wajib kendaraan tersebut masih menunggu diterbitkannya peraturan pemerintah melalui persetujuan DPR. Namun, yang jelas, ketentuan mengenai program asuransi wajib ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang pelaksanaannya paling lambat pada 2025.
Dominikus Aditya Putra Pradana (25), pekerja lepas di Semarang, Jawa Tengah, merasa keberatan apabila program tersebut nantinya benar-benar diterapkan. Terlepas dari manfaatnya yang bisa memberikan perlindungan, program asuransi kendaraan tidak seharusnya diwajibkan.
”Saya kurang setuju karena kendaraan juga bukan kebutuhan primer. Rasanya program asuransi wajib oleh pemerintah ini terlalu lebai. Memang asuransi ini penting juga buat masyarakat, tetapi alangkah lebih baiknya kalau itu sifatnya kembali ke kebutuhan setiap orang,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/7/2024).
Alih-alih langsung diterapkan secara nasional, program asuransi wajib ini sebaiknya dikaji terlebih dahulu atau diterapkan secara pilot project di suatu wilayah. Selain itu, perlu dilakukan juga penyuluhan kepada masyarakat agar dapat diterima secara lebih luas.
Menurut Adit, saat ini, kebutuhan masyarakat, terutama kelas menengah, terus membengkak. Dan, pada saat yang bersamaan, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah terus menurun seiring dengan munculnya kasus-kasus korupsi penyelewengan dana.
”Sekarang kasus korupsi juga menjadi sorotan di Semarang. Takutnya, program asuransi ini juga ada bau-bau tindak pidana korupsi. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sudah luntur. Mungkin, enggak usah ada dulu saja. Apalagi, buat kalangan menengah bawah, tanggungannya sudah banyak,” ujarnya.
Adapun, Nelly Situmorang, Tenaga Ahli Kabupaten Nias Barat, warga Jakarta Timur, setuju dengan kebijakan wajib asuransi kendaraan. ”Saya kerap menjelajahi berbagai wilayah dengan kendaraan pribadi, tentu kebijakan ini memproteksi pemilik/pengendara. Oleh karena itu, kewajiban bagi saya untuk memproteksi diri dan harta, karena dalam perjalanan apa pun bisa terjadi. Asalkan, penetapan tarif harus wajar,” katanya.
Menurut Nelly, implementasi kebijakan ini bukan hal baru, karena setiap pembelian kendaraan dengan leasing/kredit, kendaraan wajib asuransi (allrisk) sampai kendaraan lunas. ”Saya sudah pernah mengalami, mobil yang saya tabrak juga dapat perbaikan, tidak harus keluar uang perbaikan dari saya. Bedanya, kebijakan pemerintah ini kan berlaku selama kendaraan itu masih menjadi milik saya, maka wajib untuk membayar asuransi. Langkah ini membantu untuk santunan jika terjadi kecelakaan dalam perjalanan,” kata Nelly.
Pemerintah juga perlu mendorong dan mengoptimalkan peran perusahaan yang memang bergerak di bidang asuransi kendaraan seperti Jasa Raharja.
Lain halnya dengan Arif Mulizar (33), karyawan swasta di Jakarta. ”Saya cenderung tidak setuju dengan kebijakan ini, pemerintah perlu mengkaji ulang skema atau mekanismenya jika ingin berbicara perlindungan kendaraan. Jangan sampai malah membebani rakyat karena pajak kendaraan juga sudah ada,” kata Arif.
Menurut Arif, pemerintah juga perlu mendorong dan mengoptimalkan peran perusahaan yang memang bergerak di bidang asuransi kendaraan seperti Jasa Raharja, dibandingkan menambah beban asuransi kendaraan bermotor dengan pihak lain. Jasa Raharja adalah perusahaan asuransi sosial milik negara yang bertanggung jawab mengelola asuransi kecelakaan lalu lintas, optimalkan saja itu.
Sementara Hery Sugiharto (58), warga Desa Mlatiharjo, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, mengatakan, asuransi kendaraan, baik mobil ataupun sepeda motor, sebaiknya tidak perlu diwajibkan. Lebih baik asuransi itu sifatnya sukarela sesuai kebutuhan setiap orang.
Di wilayah perdesaan di Jawa, asuransi kendaraan tidak begitu dibutuhkan. Pasalnya, risiko penggunaan sepeda motor atau mobil relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah perkotaan.
Jarak tempuh atau pakainya juga relatif lebih pendek dan bisa menyusuri jalan-jalan antardesa yang relatif sepi. Kalau asuransi kendaraan diwajibkan, ya, keuntungannya justru lebih besar pada perusahaan asuransinya dibandingkan manfaatnya bagi kami warga desa.