Mengapa Penjualan BBM Bersubsidi Perlu Dibatasi?
Apa pun bentuk program subsidi bahan bakar tepat sasaran, yang tak kalah penting adalah penegakan aturan di lapangan.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1.Apa saja jenis bahan bakar yang disubsidi negara?
2.Bagaimana penjualan dan pendistribusian bahan bakar bersubsidi?
3.Mengapa penjualan bahan bakar bersubsidi perlu dibatasi?
Bahan bakar terdiri dari dua macam, yaitu bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas atau elpiji. Baru-baru ini publik kembali diramaikan soal rencana pembatasan penjualan BBM bersubsidi mulai 17 Agustus 2024. Alasannya bermacam-macam, seperti untuk menghemat anggaran negara demi pengalokasian program lainnya, serta ditemukannya ketidaktepatan sasaran penyaluran BBM bersubsidi.
Wacana pembatasan dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagram miliknya pada Selasa (9/7/2024). Namun, sejumlah kalangan membantahnya, termasuk Presiden Joko Widodo. Lantas, seberapa penting pembatasan penjualan BBM bersubsidi itu?
Apa saja bahan bakar yang disubsidi negara?
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, pemerintah mengategorikan tiga jenis BBM. Ketiganya adalah jenis BBM tertentu, jenis BBM khusus penugasan, dan jenis BBM umum. Jenis BBM tertentu adalah kerosen dan biosolar, sedangkan BBM khusus penugasan adalah pertalite (RON 90). Adapun jenis BBM umum adalah BBM di luar jenis tertentu dan penugasan, seperti pertamax (RON 92), pertamax turbo, pertamax green 95, pertamina dex, dan dexlite. Dua jenis terakhir adalah kelompok solar.
Berdasar perpres itu, kerosen dan biosolar termasuk jenis BBM yang mendapat subsidi dari negara. Sementara pertalite yang masuk dalam jenis BBM khusus penugasan merupakan BBM yang disubsidi tidak langsung atau diistilahkan sebagai ”kompensasi”. Artinya, pemerintah akan memberikan selisih harga jual kepada masyarakat yang sebesar Rp 10.000 per liter, dengan harga keekonomian pertalite. Besaran selisih itulah yang dibayarkan ke PT Pertamina (Persero) yang disebut sebagai kompensasi meskipun hakikatnya adalah subsidi.
Harga kerosen bersubsidi ditetapkan sebesar Rp 2.500 per liter, sedangkan harga biosolar (solar bersubsidi yang mengandung campuran 30 persen biodiesel per liternya) adalah Rp 6.800 per liter. Harga ketiga jenis BBM tersebut, yakni kerosen bersubsidi, biosolar, dan pertalite, adalah sama di seluruh wilayah Indonesia. Sementara harga kelompok pertamax dan solar nonsubsidi pergerakannya bisa naik turun bergantung pada harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Selain BBM, pemerintah juga menyubsidi elpiji berukuran 3 kilogram. Elpiji nonsubsidi, antara lain, ialah elpiji berukuran 5,5 kilogram, 12 kilogram, dan 50 kilogram. Elpiji bersubsidi dijual seharga Rp 19.000 per tabung hingga Rp 20.000 per tabung.
Baca juga: Babak Lain Wacana Pembatasan Pertalite
Bagaimana penjualan dan pendistribusian bahan bakar bersubsidi?
Bebas dan terbuka. Siapa pun bisa mendapat bahan bakar bersubsidi, baik itu si kaya maupun (apalagi) si miskin. Tak ada pencegahan atau antisipasi agar penjualan bahan bakar bersubsidi benar-benar tepat sasaran, yaitu kepada masyarakat miskin yang membutuhkan. Padahal, pada badan tabung elpiji 3 kilogram tertulis jelas: untuk masyarakat miskin. Namun, si kaya bisa membeli di pengecer dengan mudah.
Begitu pula membeli pertalite di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Mobil pribadi berharga ratusan juta rupiah dengan mudah bisa mengisi pertalite, alih-alih pertamax atau lainnya yang nonsubsidi. Pemandangan ini bisa dengan mudah dijumpai di sejumlah SPBU di banyak tempat.
Memang, sudah lama rencana pembatasan atau pengaturan penjualan bahan bakar bersubsidi akan diterapkan. Tujuannya adalah agar bahan bakar bersubsidi tersebut benar-benar tepat dibeli oleh mereka yang miskin dan layak mendapat subsidi. Rencana tinggal rencana. Sampai sekarang tak ada realisasi nyata.
Baca juga: Muncul Rencana Pembatasan BBM Subsidi, Pertamina Pastikan Digitalisasi
Mengapa penjualan bahan bakar bersubsidi perlu dibatasi?
Tujuannya jelas, yaitu agar tidak ada uang negara yang ”bocor” lantaran anggaran subsidi jatuh ke pihak yang tak layak mendapat subsidi. Subsidi bahan bakar (BBM dan elpiji) besarannya naik turun setiap tahun. Namun, kecenderungannya adalah terus meningkat. Angkanya puluhan triliun hingga ratusan triliun setiap tahunnya.
Tahun 2023, besaran subsidi BBM dan elpiji mencapai Rp 95,6 triliun atau lebih rendah dari realisasi pada 2022 yang sebanyak Rp 115,6 triliun. Namun, realisasi subsidi 2022 itu jauh lebih tinggi dari realisasi pada 2021 yang sebanyak Rp 83,8 triliun. Adapun pada tahun ini, proyeksi besaran subsidi energi adalah Rp 113,3 triliun.
Masalahnya, anggaran subsidi sebesar itu tak seluruhnya tepat sasaran. Subsidi ratusan triliun rupiah justru dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas. Pertalite, misalnya, sebanyak 86 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga dan 14 persen dunia usaha. Dari 86 persen konsumsi pertalite oleh rumah tangga, 80 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20 persen sisanya yang dinikmati warga miskin (40 persen masyarakat terbawah).
Sementara itu, hanya 11 persen solar bersubsidi yang dinikmati oleh rumah tangga, sedangkan 89 persen lainnya dinikmati oleh dunia usaha. Dari seluruh subsidi solar yang dinikmati rumah tangga, 95 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin yang mencakup petani dan nelayan.
Baca juga: Mayoritas Subsidi Energi Dinikmati Warga Mampu
Bagaimana agar subsidi bahan bakar tepat sasaran?
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bersama PT Pertamina (Persero) sedang mematangkan formula mekanisme pembelian BBM dan elpiji bersubsidi. Untuk elpiji bersubsidi pernah diusulkan menggunakan kartu identitas tertentu yang dimiliki si penerima subsidi. Hanya pemilik kartu yang bisa membeli elpiji 3 kilogram dengan harga yang sudah disubsidi.
Adapun untuk BBM bersubsidi, Pertamina membuat aplikasi bernama Subsidi Tepat. Untuk mendapat atau bisa membeli BBM bersubsidi, konsumen harus mendaftarkan diri jenis kendaraan dan jenis usahanya.
Penerapannya, antara lain, pada transaksi BBM bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak. Selain itu, melalui program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Tercatat, sudah ada lebih dari 8.000 SPBU, termasuk yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Apa pun bentuk program agar subsidi bahan bakar tepat sasaran, yang tak kalah penting adalah penegakan aturan di lapangan. Tanpa pengawasan dan penegakan aturan, subsidi bahan bakar berpotensi bocor dan turut dinikmati warga yang tidak berhak mendapat subsidi.