Benang Kusut Harga Tiket Pesawat
Kerugian tak dapat dielakkan oleh kedua jenis maskapai jika pesawat hanya terisi 70 persen.
Polemik dalam industri penerbangan selalu tak jauh dari isu harga tiket pesawat yang dinilai tinggi sehingga kurang terjangkau masyarakat. Antarkementerian pun cenderung bergerak sendiri menjawab persoalan tiket pesawat yang akarnya sama, yakni tarif batas atas.
Komponen apa saja yang membentuk harga tiket? Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie mengilustrasikan melalui penerbangan rute Bandara Soekarno-Hatta, Banten (CGK), ke Bandara Kualanamu, Sumatera Utara (KNO). Besaran hitungan ini tentu berbeda dengan rute lainnya.
Setidaknya ada lima komponen pembentuk harga tiket berikut dengan biayanya penerbangan CGK-KNO. Pertama, harga dasar tarif batas atas (TBA) maskapai sebesar Rp 1.799 juta. Kedua, biaya tambahan (fuel surcharge)10 persen, sebesar Rp 179.900.
Adapun tiga komponen lainnya, dan bukan pendapatan maskapai, adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen sebesar Rp 217.679, Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) Terminal 3 sebesar Rp 168.720, dan Iuran Wajib Jasa Raharja Rp 5.000. Dengan demikian, total biaya yang harus dibayarkan penumpang seperti tertera pada tiket sebesar Rp 2,37 juta.
Baca juga: Maskapai Jadi Kambing Hitam Besaran Tarif Tiket Pesawat
Lantas, berapa estimasi pendapatan maskapai penerbangan rute CGK-KNO? Estimasi pendapatan maskapai didapat dari selisih total penjualan tiket dengan biaya operasional.
Dalam sekali penerbangan, biaya operasional maskapai mencapai Rp 298,7 juta. Biaya dihitung dari harga avtur dan kebutuhan avtur sesuai durasi penerbangan. Seluruh biaya avtur itu mencapai 35 persen dari biaya operasional.
Untuk maskapai dengan layanan penuh (full service carrier/FSC), harga tiket ekonomi (150 kursi) mencapai 100 persen TBA, sedangkan kelas bisnis (12 kursi) bisa ditetapkan hingga 300 persen TBA.
Apabila passenger load factor (PSF) atau tingkat keterisian penuh 100 persen, total penjualan tiket mencapai Rp 334,6 juta (tanpa biasa fuel surcharge). Maka, keuntungan yang didapat sebesar Rp 35,9 juta setara dengan margin 10,7 persen.
Sebaliknya, jika PSF hanya terisi 70 persen, total penjualan tiket Rp 234,2 juta. Maka, maskapai mencatatkan kerugian sebesar Rp 64,4 juta dengan margin 27,5 persen.
Baca juga: Dongkrak Pendapatan, Pelita Air dan Garuda Indonesia Bakal Tambah Pesawat
Cara serupa bisa digunakan menghitung maskapai bertarif rendah (low cost carrier/LCC) dengan kapasitas 186 kursi. Harga tiket yang ditetapkan hanya 85 persen TBA guna membedakan dengan maskapai FSC.
Apabila PSF terisi penuh 100 persen, total penjualan tiket Rp 284,4 juta. Meski semua tiket terjual, maskapai penerbangan tetap mencatat kerugian Rp 14,2 juta dengan margin 5 persen.
Tentu kondisinya makin parah jika PSF hanya terisi 70 persen. Total penjualan tiket hanya sebesar Rp 199,1 juta. Dengan biaya operasional yang sama, jurang kerugian makin lebar dengan Rp 99,6 juta atau 50 persen.
Beruntungnya, pemerintah masih memberikan fuel surcharge 10 persen sehingga masih menciptakan keuntungan bagi maskapai penerbangan jika semua tiket terjual. Namun, kerugian tak dapat dielakkan oleh kedua jenis maskapai jika pesawat hanya terisi 70 persen.
Alvin mengatakan, fuel surcharge merupakan kompensasi bagi maskapai penerbangan imbasharga avtur yang naik signifikan. Hal itu sejalan dengan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari asumsi dasar perumusan TBA tahun 2019.
”Fuel surcharge ini akibat Menteri Perhubungan enggan membuat TBA lebih dinamis, ditinjau, dan diperbarui tiap enam bulan,” ujarnya.
Rencana efisiensi
Sepekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bakal melakukan efisiensi biaya penerbangan dan penurunan harga tiket pesawat. Selama itu pula, isu terus bergulir dengan beragam respons dari para pemangku industri aviasi.
Pekan lalu, melalui akun Instagramnya, Luhut mengatakan, harga tiket penerbangan cukup tinggi seperti dikeluhkan banyak orang. Berdasarkan data Asosiasi Perhubungan Udara Internasional (IATA), Luhut mengemukakan, ada 4,7 miliar penumpang global atau 200 juta penumpang lebih banyak ketimbang pada tahun 2019. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berpenduduk tinggi, harga tiket penerbangan Indonesia jadi yang termahal kedua setelah Brasil.
Baca juga: Komunitas Penerbangan Cermati Upaya Luhut Turunkan Harga Tiket Pesawat
Merespons kondisi ini, lanjut Luhut, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket. Ia menyebut ada lima langkah untuk mencapai hal itu.
Pertama, efisiensi operasi biaya pesawat. Kedua, pembebasan bea masuk dan pembukaan larangan terbatas barang impor tertentu. Ketiga, perhitungan ulang skema tarif. Keempat, evaluasi pendapatan kargo. Kelima, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
”Terhitung sejak rapat ini dilakukan, seluruh langkah tersebut di atas selanjutnya akan dikomandoi langsung oleh Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Mereka akan mengevaluasi secara detail harga tiket pesawat setiap bulan,” ujar Luhut secara tertulis, Kamis (11/7/2024).
Hingga kini, belum ada informasi lebih lanjut mengenai bentuk konkret perencanaan pemerintah ini. Siapa saja pihak-pihak yang tergabung dalam satuan tugas itu juga belum diumumkan.
Baca juga: Mengapa Harga Tiket Pesawat Mahal?
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati menyambut positif rencana Luhut. Rapat koordinasi lintas pemangku kepentingan perlu dilakukan guna menindaklanjuti usulan ini.
”Tentu, kami sangat menyambut baik hal ini karena pada dasarnya soal harga tiket harus dibahas secara lintas sektoral. Komponen harga ini melibatkan banyak faktor, mulai dari harga bahan bakar, pajak, impor suku cadang, dan lain-lain di luar tugas dan fungsi Kementerian Perhubungan (Kemenhub),” ujar Adita.
Pesawat terbang terparkir di depan Gedung GMF AeroAsia di Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (7/6/2021). Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menyebutkan bahwa kinerja industri penerbangan dalam negeri merosot tajam pada 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19.
Lima tahun tidak naik
Respons positif juga disampaikan pimpinan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Namun, ada aspek lain yang selama ini membebani maskapai penerbangan sehingga efisiensi tak optimal.
”Dukung saja (rencana Kemenko Marves), tetapi yang menjadi masalah kami adalah tarif batas atas (TBA). Sudah lima tahun enggak naik. Inflasi, dollar AS, dan avtur sudah naik. Ada juga yang melanggar TBA, tetapi dibiarkan,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/7/2024).
Hal senada diutarkan Ketua Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja. Biaya-biaya penerbangan saat ini memang sangat tinggi, bahkan melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan pemerintah sejak 2019.
”Akibatnya, maskapai rugi dan mengoperasikan penerbangan untuk sekadar dapat hidup dan tak dapat mengembangkan usahanya,” ujar Denon.
Apalagi sebagian besar biaya penerbangan sangat terpengaruh kurs dollar AS. Makin kuat nilai dollar AS terhadap rupiah, biaya penerbangan akan terkerek naik.
Pesimistis
Menurut pengamat penerbangan Gerry Soejatman, harga tiket pesawat sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan kurs dollar AS. Harga minyak dunia yang terus merangkak naik berimbas ke harga avtur. Ini sudah terjadi sejak 2016. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang melemah turut menambah beban maskapai penerbangan sehingga harga tiket pesawat pun naik.
Pada layanan maskapai bertarif rendah (low cost carrier/LCC), biaya per jam pada tiap kursi tersedia akhirnya naik dari kisaran Rp 350.000-Rp 480.000 menjadi Rp 550.000-Rp 600.000.
Baca juga: Tekan Harga Tiket Pesawat, Inaca: Biaya Penerbangan Perlu Dikurangi
Rencana penurunan tarif tiket pesawat sebetulnya disambut pesimisme oleh Gerry. Ia menilai, tak ada solusi untuk menurunkan harga secara signifikan. Sebab, faktor utama ada pada harga minyak dunia dan kurs dollar AS yang berubah-ubah berdasarkan kondisi global.
”Mau pakai subsidi? Dasar subsidinya apa? Tiket pesawat bukan barang dasar pokok kehidupan,” katanya.
Ia justru berharap ada revisi TBA. Apabila opsi itu diambil, memang benar kenaikan TBA justru meningkatkan harga tiket pesawat karena harga avtur dan kurs dollar tengah tak bersahabat. Namun, ketika kedua komponen itu kembali stabil, biaya operasional maskapai akan menurun. Maskapai juga akan menurunkan harga pada saat hari normal (low season).
Sebenarnya peraturan penentuan TBA sudah ada. Unsur itu dihitung berdasarkan biaya-biaya yang dihadapi maskapai, termasuk efek load factor atau tingkat keterisian kursi. Regulasi ini semestinya ditinjau setiap 3-6 bulan.
”Seharusnya ini sudah direvisi sejak lama, tetapi saat pandemi Covid-19, load factor yang digunakan untuk perhitungan TBA tidak sesuai, makanya dibiarkan dulu,” kata Gerry.
Baca juga: Pemerintah Bentuk Komite Supervisi Harga Tiket Pesawat, Efektivitasnya Diragukan
Namun, sejak masa pemulihan pandemi Covid-19 pada 2022, belum ada penyesuaian TBA lagi kecuali diadakannya biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge). Hal itu dilakukan karena ada kenaikan biaya bahan bakar saat terjadi perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada harga minyak dunia.
Ketika ditanya penyebab TBA tak kunjung direvisi, Gerry hanya menjawab keputusan itu kembali pada kemauan politik (political will)serta objektivitas pemerintah. Padahal, kunci memperbaiki industri penerbangan salah satunya dengan merevisi regulasi tersebut.
”Solusi jangka panjangnya adalah meniadakan TBA dan meningkatkan kemampuan supervisi regulator dalam menjamin kompetisi industri penerbangan. Sayangnya, tak ada solusi yang enak dalam jangka pendek. Ini pil pahit yang harus diterima semua pihak. Sepertinya belum ada yang mau menelannya,” tutur Gerry.
Terkait TBA itu, menjelang akhir tahun lalu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengakui, pemerintah tak mudah menciptakan satu solusi secara langsung untuk menaikkan TBA. Daya beli masyarakat yang terbatas, khususnya kawasan Indonesia bagian timur, perlu dipertimbangkan.
”Kami tetap mengacu atau memperhatikan tarif batas atas ini. Tapi, mungkin tarif batas atas daerah tertentu yang diberlakukan, tidak semuanya,” kata Budi.
Situasi ini berisiko buruk bagi penumpang.
Pihaknya akan membuat disparitas penyesuaian harga, bergantung tujuan penumpang, tetapi pihaknya menilai tak semua masyarakat mampu menjangkaunya. Pihaknya sudah menerima banyak catatan terkait harga tiket yang tinggi. Di luar itu semua, hal terpenting yang bisa dilakukan saat ini adalah jumlah pesawat tercukupi dengan suku cadang tersedia maksimal.
”Sekarang, pesawat yang parkir karena tak ada suku cadang itu banyak sekali. Nah, bagaimana kita membuat suku cadang itu ada, mendapatkan insentif, sehingga (suku cadangnya) dikerjakan di Indonesia, menghemat devisa, lalu juga memberikan pekerjaan di sini,” tuturnya (Kompas.id, 3/11/2023).
Menurut Alvin, apabila TBA konsisten dimutakhirkan tiap enam bulan, tak perlu ada fuel surcharge. Harga tiket juga realistis naik-turun, tak jadi komoditas politik, sehingga harus membentuk komite khusus.
Menurut Alvin, situasi ini berisiko buruk bagi penumpang. Maskapai penerbangan dapat memangkas biaya aspek non-keselamatan seiring dengan pengurangan fasilitas, baik kuantitas maupun kualitasnya. Maskapai terpaksa memangkas jadwal dan rute, bahkan dapat berhenti beroperasi.
Baca juga: Akankah Harga Tiket Pesawat Terjangkau Kembali?
TBA memang telah menjadi polemik berkepanjangan. Kala para pelaku usaha penerbangan menjerit akibat TBA yang diatur, masyarakat pun tak mendapat kepastian mengenai harga tiket pesawat sehingga cenderung menyalahkan maskapai. Kebijaksanaan pemerintah dinanti guna menengahi sekaligus menjadi solusi atas persoalan ini.