Kelindan Birokrasi Pupuk Subsidi Ancam Sektor Pertanian
Penyederhanaan rantai birokrasi terkait pupuk subsidi perlu lebih konkret agar tak timbul masalah dalam proses alokasi.
JAKARTA, KOMPAS — Sengkarut persoalan birokrasi dalam proses pengalokasian pupuk subsidi telah menghambat produktivitas di sentra-sentra pertanian nasional. Penyederhanaan birokrasi jadi satu-satunya jalan agar tidak ada lagi masalah dalam proses distribusi dan penyerapan alokasi pupuk subsidi.
Situasi ini menjadi sorotan dalam diskusi kelompok terarah (FGD) harian Kompas (Kompas.id) bertema ”Membangun Sistem Kebijakan Pupuk Subsidi yang Lebih Adaptif dan Efektif demi Menjaga Ketahanan Pangan Nasional” di Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Diskusi dibuka Pemimpin Redaksi harian Kompas (Kompas.id) Sutta Dharmasaputra dengan pembicara kunci Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera serta Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Vivi Yulaswati.
Adapun para pembicara diskusi adalah Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi, anggota Komisi IV DPR Slamet, Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional Sarwo Edhy, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat Otong Wiranta, dan pengamat pertanian Khudori.
Dida mengatakan, pemerintah segera merevisi kebijakan pupuk subsidi agar penyalurannya dapat lebih efektif.
Slamet mengapresiasi hal tersebut karena petani sulit sejahtera sepanjang tidak ada jaminan kebijakan pemerintah terhadap sektor pertanian. ”Agustus yang seharusnya ada perpanjangan kontrak (pupuk subsidi) antara pemerintah dan Pupuk Indonesia belum dilakukan. Ini menunjukkan tingkat keseriusan pemerintah,” ujar Slamet yang mengikuti diskusi secara daring.
Baca juga: Optimalkan Serapan Pupuk Bersubsidi
Dalam kesempatan ini, Rahmad mengemukakan prosedur birokrasi terkait pupuk subsidi yang terlalu panjang menghambat proses penambahan alokasi pupuk subsidi yang semula tahun ini dialokasikan 4,7 juta ton meenjadi 9,55 juta ton.
Padahal, Presiden telah memberikan arahan untuk menambah alokasi pupuk bersubsidi di Februari 2024. Namun, banyaknya alur birokrasi yang harus dilalui membuat surat keputusan (SK) bupati/wali kota tentang alokasi pupuk subsidi baru terbit di akhir Juni 2024.
Lebih dari 150 kabupaten/kota yang sudah dan akan kehabisan pupuk subsidi pada Juli 2024 dan berpotensi terlambat mendapatkan pupuk.
”Begitu di bulan Juni baru sadar ternyata kontrak Kementan (Kementerian Pertanian) dengan PT Pupuk Indonesia terganjal karena anggarannya belum tersedia,” ujar Rahmad.
Kendati Peraturan Menteri Pertanian Nomor B-51/SR.210/M/03/2024 tentang Alokasi Tambahan Pupuk Bersubsidi telah disetujui parlemen, Kementerian Keuangan belum rampung mencairkan dana tambahan subsidi pupuk.
Hal itu, kata Rahmad, menyebabkan lebih dari 150 kabupaten/kota yang sudah dan akan kehabisan pupuk subsidi pada Juli 2024 dan berpotensi terlambat mendapatkan pupuk. Beruntung Kementan bersedia menanggung risiko dan meminta Pupuk Indonesia segera menyalurkan tambahan pupuk bersubsidi.
”Kami garap administrasinya tanpa melanggar hukum karena menyalurkan tanpa adanya kontrak merupakan hal berisiko. Namun, komitmen kami adalah tetap menyalurkan agar tidak ada gangguan di tingkat petani,” tutur Rahmad.
SK kepala daerah untuk alokasi pupuk subsidi di daerah bukanlah satu-satunya contoh rantai birokrasi yang mempengaruhi tingkat penyerapan oleh petani. Di tingkat pusat, rantai birokrasi terkait kebijakan pupuk subsidi, yang tahun 2024 senilai Rp 53,3 triliun, ternyata cukup panjang dengan melibatkan delapan kementerian.
Di luar Kementan yang mengatur jenis komoditas dan jumlah petani yang mendapat pupuk subsidi, implementasi kebijakan pupuk subsidi turut melibatkan Kemenkeu terkait alokasi anggaran dan pembayaran ke produsen pupuk, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait harga dan pasokan gas alam ke industri pupuk.
Selain itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara terlibat berkait perusahaan pelaksana produksi pupuk subsidi, Kementerian Perindustrian terkait sektor industri pupuk dan petrokimia, Kementerian Perdagangan terkait izin perdagangan pupuk, serta Kementerian Dalam Negeri terkait penerbitan SK alokasi pupuk subsidi kepala daerah, hingga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk sinkronisasi lintas kementerian.
Rahmad menambahkan,karena terlalu banyak lembaga yang mengatur kebijakan pupuk subsidi, membuat biaya yang diperlukan untuk proses ini membengkak. Ia mencontohkan dari sisi rumitnya penagihan pupuk subsidi yang dari proses penyaluran perdana hingga terbitnya surat perintah pencairan dana kira-kira butuh lima bulan terdapat biaya bunga yang mencapai triliunan rupiah per tahun.
”Kalau ini bisa disederhanakan, tentunya akan menghemat uang negara. Belum lagi permendag yang mewajibkan Pupuk Indonesia punya stok di setiap kabupaten menimbulkan biaya pemeliharaan mencapai Rp 9 triliun per tahun yang seharusnya ada solusinya dari digitalisasi,” kata Rahmad.
Seperti diberitakan Kompas (16/7/2024), dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah secara hibrida dipimpin Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang turut dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Rahmad, di Jakarta, Senin (15/7/2024), Tito meminta ada pertemuan khusus melibatkan Kemenkeu, Badan Pemeriksa Keuangan, Kementan, Pupuk Indonesia, Kemendag, dan pemerintah daerah yang sudah dan akan kehabisan pupuk. Dalam rapat itu juga terungkap, pemerintah akan menyederhanakan rantai birokrasi pupuk subsidi menjadi satu komando atau penanggung jawab.
Baca juga: Ratusan Daerah Terancam Terlambat Dapatkan Pupuk Subsidi Tahap Kedua
Kendala petani
Otong menjelaskan, penyaluran pupuk bersubsidi di daerah bergantung pada kepala daerah menerbitkan SK penetapan alokasi pupuk subsidi. ”Saat SK terbit di tengah musim tanam atau malah menjelang panen, tentu petani yang terdaftar dalam e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Elektronik) enggan menebus pupuk subsidi jatah mereka,” ujarnya.
Berdasarkan regulasi saat ini, sistem verifikasi dan validasi petani menebus pupuk subsidi cukup rumit, mulai dari wajah petani harus persis dengan foto di kartu tanda penduduk sampai tanda tangan juga identik dengan tanda tangan digitalnya. Kondisi ini membuat kerap terjadi permasalahan di kios (lini IV) yang menyebabkan petani terdaftar gagal menebus pupuk subsidi.
Khudori menggambarkan, idealnya petani bisa mendapatkan pupuk subsidi semudah membeli bahan bakar minyak bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
Banyaknya regulasi yang mengatur pupuk bersubsidi, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan menteri, kata Khudori, justru saling tumpang tindih, terutama dalam menentukan petani yang berhak mendapat pupuk bersubsidi. ”Perlu ada harmonisasi regulasi ini agar jelas siapa yang berhak menerima subsidi,” kata Khudori.
Melihat kelindan masalah birokrasi terkait pupuk subsidi, Pupuk Indonesia mendukung rencana pemerintah yang akan menyederhanakan rantai birokrasi pupuk subsidi menjadi satu komando atau penanggung jawab. Upaya itu dinilai sebagai solusi atas keterlambatan penyaluran pupuk subsidi akibat lambatnya proses birokrasi.
Selain itu, Rahmad juga mengusulkan adanya perbaikan kebijakan pupuk subsidi dari hulu ke hilir, mulai dari penggunaan harga indeks pasar untuk penentuan nilai subsidi, penentuan harga gas bumi tertentu jangka panjang, skema penyaluran melalui distributor langsung, hingga audit kebutuhan pupuk per tiga tahun.
”Pupuk Indonesia akan selalu mendukung upaya pemerintah dalam menyempurnakan tata kelola penyaluran pupuk bersubsidi melalui penyelarasan kebijakan-kebijakan tiap kementerian/lembaga demi terwujudnya ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan,” kata Rahmad.
Menurut kesaksian Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat Otong Wiranta, selama ini, penyaluran pupuk bersubsidi di daerah bergantung pada secepat apa para gubernur, bupati, dan wali kota menerbitkan SK penetapan alokasi pupuk subsidi kepada petani di wilayahnya.
”Di saat SK terbit di tengah musim tanam atau malah menjelang panen, tentu petani yang terdaftar dalam e-RDKK enggan menebus pupuk subsidi jatah mereka,” ujar Otong.
Berdasarkan regulasi saat ini, sistem untuk memperoleh pupuk subsidi, menurut dia, cukup menyulitkan petani. Selain itu, kerap terjadi permasalahan juga di tingkat kios yang menyebabkan petani terdaftar gagal mendapatkan pupuk subsidi.
Idealnya petani bisa mendapatkan pupuk subsidi semudah warga membeli bahan bakar minyak bersubsidi.
Vivi memaparkan, saat ini pemerintah terus berupaya memperbaiki beberapa prinsip pelaksanaan subsidi pupuk. Bappenas tengah memperbaiki data e-RDKK dan juga Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) dengan menggunakan nomor induk kependudukan (NIK). Harapannya, pendataan penduduk termasuk petani jadi semakin baik dan penerima subsidi pupuk bisa lebih tepat sasaran.
Baca juga: Subsidi Pupuk Akan Diubah Jadi Bantuan Langsung
Saat ini terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi petani untuk dapat menerima pupuk subsidi, antara lain data petani harus terdaftar di Simluhtan dan di Pupuk Indonesia melalui e-RDKK, memiliki kartu tani sebagai identitas yang valid, dan petani harus memiliki atau mengusahakan sebidang tanah tidak lebih dari 2 hektar.
”Ini agak sulit karena sebagiannya dilakukan melalui gapoktan (gabungan kelompok tani) yang tentunya persyaratan ini tidak sepenuhnya berjalan dengan baik dan tentunya komoditas yang sesuai dengan kebutuhan yang disubsidi,” ujarnya.
Dengan berbagai persoalan tersebut, pemerintah saat ini sudah mulai merancang transformasi kebijakan subsidi pupuk yang tentunya ini juga menjadi salah satu transformasi yang dilakukan dalam konteks transformasi pangan. ”Kami akan mereformasi subsidi dari barang menjadi ke orang sehingga kita menyebutnya bantuan langsung petani. Ini arahan Presiden. Kemudian dilakukan melalui transfer direct cash, penerima berbasis kelompok menjadi penerima berbasis individu, ini tentunya by name by address kita sangat bergantung pada data,” kata Vivi.