Risiko terganggunya reputasi dan keuangan BUMN Karya dengan kinerja baik akibat skema peleburan perlu jadi pertimbangan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah merampingkan formasi tujuh badan usaha milik negara di sektor konstruksi menjadi tiga entitas bisa mewujudkan efisiensi dan perbaikan kinerja BUMN Karya. Namun, di balik itu, terdapat risiko perseroan dengan kinerja baik malah akan terbebani rapor merah BUMN lainnya.
Skema penggabungan yang direncanakan Kementerian BUMN mencakup penggabungan, pertama, PT Adhi Karya (Persero) Tbk dengan PT Brantas Abipraya (Persero) dan PT Nindya Karya (Persero). Ketiga perusahaan akan bergabung dengan fokus pada proyek pembangunan air, rel kereta api, dan sejumlah konteks lain.
Selanjutnya adalah penggabungan antara PT Hutama Karya (Persero) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Penggabungan kedua entitas diekspektasikan dapat meningkatkan fokus perseroan terhadap proyek pembangunan jalan tol, jalan non-tol, dan bangunan kelembagaan.
Adapun skema ketiga, konsolidasi direncanakan terjadi antara PT PP (Persero) Tbk dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Penggabungan kedua perseroan akan berfokus untuk menggarap pelabuhan laut; bandar udara; rekayasa, pengadaan, dan konstruksi; dan bangunan hunian (residensial).
Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung menilai upaya penggabungan itu akan menimbulkan sinergi dan efisiensi kinerja para BUMN Karya. Peleburan ini juga akan mengurangi persaingan di antara BUMN, khususnya terkait lelang proyek.
”Komponen overhead cost (biaya produksi) dan management cost (biaya manajemen) bisa dihemat,” ujarnya dihubungi pada Selasa (16/7/2024).
Peleburan dapat mengurangi persaingan di antara BUMN, khususnya terkait lelang proyek.
Pekan lalu, sebelum memulai rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Menteri BUMN Erick Thohir memastikan komposisi dari peleburan tujuh perusahaan konstruksi itu tidak mengalami perubahan.
Sejauh ini, tambah Erick, Kementerian BUMN telah bersurat ke Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono terkait holding BUMN Karya.
”Saya sudah kirim surat ke Pak Basuki dan sudah di-review (ditinjau) oleh Menteri Keuangan (Sri Mulyani). Kami menunggu saja prosesnya dari Kementerian PUPR,” ujarnya, Rabu (10/7/2024) malam.
Triwulan III-2024
holding
Namun, Kementerian BUMN belum dapat memastikan kapan dua skema integrasinya lainnya akan rampung. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak hanya berada di bawah kewenangan Kementerian BUMN.
Wakil Direktur Utama PT Hutama Karya Aloysius Kiik Ro menyatakan, kesiapan untuk berkonsolidasi dengan Waskita Karya. ”Prinsipnya Hutama Karya akan bersinergi, berintegrasi dengan Waskita Karya. Kami siap sesuai dengan kebijakan (pemerintah),” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT PP Novel Arsyad menuturkan, saat ini seluruh BUMN Karya masih melakukan evaluasi secara internal, baik dari sisi bisnis maupun teknis. Namun, hingga saat ini, setiap perseroan masih menunggu arahan lanjutan dari pemerintah.
”Semua BUMN Karya terkait masih melakukan evaluasi secara bisnisnya, secara teknis, semua dilakukan. Namun, tetap nanti kami menunggu arahan dari Kementerian BUMN,” tuturnya.
Ganggu reputasi
Pengamat BUMN data Datanesia Institute, Herry Gunawan, memandang meski alasan peleburan BUMN Karya cukup dapat dipahami, semestinya peleburan tidak terbagi menjadi tiga entitas. Pasalnya, terdapat risiko holding malah akan membebani perusahaan-perusahaan dengan kinerja keuangan positif.
”Ini ibarat menebar virus ke perusahaan yang sehat. BUMN Karya dengan kinerja ’biru’ seperti Hutama Karya dan PT PP bisa terseret yang kurang baik,” ujarnya.
Skenario peleburan tujuh BUMN Karya menjadi tiga perusahaan berisiko memiliki dampak negatif bukan hanya dari sisi keuangan, tetapi juga dari reputasi perseroan.
”Kinerja Hutama Karya saat ini biru dan akan menerbitkan obligasi. Jika ditempel Waskita Karya, maka risiko obligasinya akan semakin besar. Ini soal reputasi yang kemudian memburuk,” papar Herry.
Ia pun menilai akan lebih baik bahwa jika induk untuk entitas usaha ditentukan berdasarkan wilayah operasional. Mengingat kebutuhan pembangunan infrastruktur masih sangat besar, maka akan lebih baik jika subholding berkantor pusat di daerah operasi.
”Misalnya, Hutama Karya menangani Sumatera dan Kalimantan. Ini sekadar contoh atau PT PP di wilayah Sulawesi, NTB, NTT, Bali, dan Papua misalnya,” kata Herry.
Dengan begitu, lanjutnya, aksi korporasi akan memiliki dampak besar, tak hanya dari sisi penyerapan tenaga kerja, tetapi juga pada pembangunan wilayah sehingga turut menggerakkan ekonomi di daerah.