Biaya gas alam pada produksi urea sebesar 71 persen, sedangkan pada NPK 5 persen. HGBT dipastikan berlanjut pada 2025.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan harga gas murah untuk tujuh jenis industri dipastikan bakal berlanjut. Pemerintah memastikan pemenuhan kebutuhan gas untuk industri pupuk akan terus menjadi prioritas karena menyangkut ketahanan pangan. Di sisi lain, pemerintah terus mencari sumber-sumber gas baru serta mengupayakan sejumlah proyek hulu gas bumi dapat beroperasi sesuai target.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (9/7/2024), memutuskan, harga gas bumi tertentu (HGBT) senilai 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) untuk tujuh jenis industri dilanjutkan. Ketujuh industri itu adalah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet (Kompas.id, 9/7).
Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mirza Mahendra mengatakan, ketersediaan gas saat ini tidak cukup jika harus mengakomodasi perluasan penerima manfaat gas murah. Oleh karena itu, yang dibutuhkan ialah investasi untuk menemukan sumber-sumber gas baru dan membuatnya segera beroperasi.
Namun, ia memastikan pasokan gas untuk industri pupuk selalu menjadi prioritas. ”Untuk pupuk, dalam (program) HGBT, kami all-out. Pupuk sangat prioritas. Tahun ini, (ketersediaan) memang fluktuatif. Namun, tahun 2025 dan setelahnya, jika proyek-proyek (hulu gas) on stream (operasi) sesuai target, pasokan aman,” kata Mirza di sela-sela diskusi ”Kontribusi Energi terhadap Produktivitas Pertanian” yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics, Selasa (16/7/2024).
Mirza mengakui, salah satu hambatan implementasi HGBT secara optimal ialah terkait pasokan. Namun, ada harapan ke depan seiring adanya sejumlah proyek guna mendukung peningkatan ketersediaan gas bumi. Akan tetapi, tren penemuan sumber-sumber gas baru ada di laut lepas (offshore) dan laut dalam. Pada akhirnya, arah pengembangan gas bumi pada gas alam cair (liquified natural gas/LNG), yang nantinya akan membutuhkan biaya lebih tinggi ketimbang gas pipa.
Pupuk sangat prioritas.
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pupuk Indonesia (Persero) Jamsaton Nababan menuturkan, biaya gas alam dalam produksi urea sebesar 71 persen dari total biaya. Sementara pada NPK 5 persen. Dengan kondisi itu, setiap kenaikan harga pupuk sebesar 1 dollar AS per juta standar kaki kubik gas per hari (MMSCFD) akan berdampak pada peningkatan beban anggaran subsidi Rp 2,23 triliun dan penurunan alokasi subsidi 0,6 juta ton.
Oleh karena itu, gas seharga 6 dollar AS per MMBTU akan terus dibutuhkan industri pupuk. Apalagi, Pupuk Indonesia, yang memiliki 5 anak usaha yang memproduksi pupuk, akan membutuhkan semakin banyak gas alam sebagai bahan baku dalam beberapa tahun mendatang. Itu antara lain karena adanya proyek ekspansi hingga penggantian pabrik-pabrik pupuk tua di sejumlah anak usaha Pupuk Indonesia tersebut.
”Saat ini, kebutuhan 820 MMSCFD, lalu akan meningkat menjadi 850/MMSCFD pada 2027, 900 MMSCFD pada 2029, dan sekitar 1.000 MMSCFD pada 2030. Ketergantungan pupuk pada gas alam sangat dominan,” kata Jamsaton.
Komprehensif
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin menuturkan, produksi pupuk di Indonesia amat bergantung pada harga energi. Kebijakan HGBT yang akan berakhir pada 31 Desember 2024 telah diputuskan untuk dilanjutkan pada 2025. Namun, hingga kini, HGBT 2025 belum ditetapkan sehingga ia mendorong hal tersebut dibenahi, termasuk dengan perbaikan regulasi.
”Maka, Keputusan Menteri ESDM (yang mengatur HGBT) perlu diperbaiki serta dibahas secara komprehensif. Sebab, (kepastian harga) itu penting jika ingin mendukung ekspansi pabrik pupuk di Indonesia,” katanya.
Akan tetapi, di sisi lain, Bustanul mencatat bahwa praktik pemupukan yang dilakukan pada tanaman pertanian tidak banyak memengaruhi produktivitas. Itu antara lain karena kurangnya pendampingan dari penyuluh kepada para petani untuk menggunakannya secara tepat. ”Ditambah, waktu penyuluh habis oleh penyusunan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK),” kata Bustanul.