Kisah Mantap Kenya Kelola Panas Bumi, Diawali Krisis Minyak...
Lebih dari 40 persen pasokan kelistrikan di Kenya disumbang oleh energi panas bumi.
Kapasitas terpasang energi panas bumi di Kenya, negara di sisi timur Benua Afrika, yang sebesar 988 megawatt (MW), memang masih kalah dari sejumlah negara di dunia, seperti Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, Turki, dan Meksiko. Namun, dari persentase bauran ketenagalistrikan, Kenya juaranya. Lebih dari 40 persen kelistrikan di negara tersebut disumbang panas bumi. Semua tidak terlepas dari krisis minyak bumi pada 1970-an.
Panas bumi (geothermal) ialah jenis energi terbarukan yang dapat berperan sebagai pemikul beban dasar (baseload) karena beroperasi andal selama 24 jam dalam 7 hari, tanpa bergantung kondisi cuaca. Namun, pengembangannya tidak sederhana. Indonesia, misalnya, dengan potensi panas bumi sekitar 23.500 MW, kapasitas terpasang pada 2023 baru 10 persen saja. Selain tantangan pembiayaan, pengembangan panas bumi memerlukan waktu dan disertai berbagai risiko.
Lain Indonesia, lain pula Kenya. Negara berpenduduk sekitar 55 juta jiwa itu sejak puluhan tahun lalu konsisten dan bertahap mengembangkan panas bumi, salah satunya terdorong oleh krisis minyak pada awal 1970-an. Kala itu, sejumlah organisasi tingkat global, termasuk Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan Japan International Cooperation Agency, memberi dukungan finansial dan teknis dalam eksplorasi panas bumi.
Pada 1971, pengeboran sumur eksplorasi panas bumi menjadi langkah awal dalam pencarian jawaban krisis energi di Kenya saat itu. Inisiatif itu rupanya berbuah positif. Pada periode 1981-1985, kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di Kenya mencapai 45 MW yang datang dari tiga unit pembangkit pertama mereka di Olkaria, wilayah di sisi selatan Danau Naivasha.
”Kami tidak tahu akan seperti apa negara ini jika tak ada dorongan yang diakibatkan krisis minyak. Panas bumi andal 24 jam dan tak terpengaruh fluktuasi iklim karena kami menggunakan air yang terakumulasi di bawah tanah selama ribuan tahun. Ini kontribusi kami terhadap dunia yang lebih bersih,” ujar Peketsa Mangi, General Manager Panas Bumi pada KenGen, perusahaan listrik milik negara Kenya, seperti dilaporkan The Guardian, Kamis (25/1/2024).
Baca juga: Panen Energi Terbarukan di Uruguay
Kini, di Olkaria, sekitar 90 kilometer (km) dari Nairobi, ada hampir 300 sumur panas bumi yang menghasilkan uap untuk menggerakkan turbin di lima unit Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) KenGen. Apabila dikombinasikan, 15 kepala sumur serta unit-unit pembangkit menghasilkan kapasitas sebesar 799 MW. Ditambah kapasitas produsen listrik swasta, total kapasitas terpasang panas bumi mencapai 988,7 MW.
Kondisi itu membuat Kenya menjadi salah satu negara yang mayoritas pasokan kelistrikannya berasal dari energi terbarukan. Saat ini, kontribusi energi terbarukan dalam bauran ketenagalistrikan di Kenya sebesar 91 persen, meliputi 47 persen panas bumi, 30 persen tenaga hidro, 12 persen tenaga angin, dan 2 persen tenaga surya. Negara seluas sekitar 580.000 kilometer persegi itu menargetkan transisi ke energi terbarukan sepenuhnya pada 2030.
Target itu diusung seiring keyakinan KenGen bahwa negara itu memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas panas buminya hingga 10.000 MW. Potensi itu jauh lebih tinggi dari beban puncak kelistrikan di Kenya yang saat ini sekitar 2.000 MW. Sebagai perbandingan, beban puncak kelistrikan di Indonesia, khususnya saat Lebaran, yakni hampir 30.000 MW. Sementara di Britania Raya beban puncak mencapai sekitar 61.000 MW.
Seruan dari Afrika
Bisa dibilang, Kenya menjadi salah satu garda terdepan dalam transisi energi di Afrika. Presiden Kenya William Ruto telah memelopori kampanye Afrika untuk menghentikan bahan bakar fosil di benua itu. Pada September 2023, dilakukan deklarasi yang menyerukan reformasi keuangan internasional. Sebab, sistem keuangan global saat ini dinilai tak seimbang dan menghambat pengembangan energi terbarukan di Afrika.
”Meskipun Afrika diperkirakan memiliki 40 persen sumber daya energi terbarukan, hanya 60 miliar dollar AS atau 2 persen dari 3 triliun dollar AS investasi energi terbarukan dalam dekade terakhir yang masuk ke Afrika,” tulis pernyataan dalam deklarasi tersebut.
Saat Kenya dan negara-negara Afrika lain menanti adanya reformasi keuangan, pengembangan energi terbarukan Olkaria berjalan secara positif. ”Hari-hari berjalan dengan baik di sini. Saat semua studi ilmiah dan sumber daya keuangan optimal dalam pengembangan panas bumi ini, maka akan menjadi kekuatan bagi negara. Investasi tergunakan dengan baik,” kata Mangi.
Dikutip dari Reuters, Kenya bakal menjadi pemain utama panas bumi di tingkat global. Sebab, mereka memiliki pembangkit panas bumi dalam konstruksi yang lebih banyak ketimbang negara mana pun di dunia. Mereka berambisi menggandakan kapasitas output panas bumi pada 2030, sebagai bagian dari rencana ambisius dalam pengembangan energi hijau.
Seiring meningkatnya perekonomian Afrika secara cepat, dengan jumlah populasi diperkirakan mencapai 1,7 miliar jiwa pada 2030, industri-industri penyedia lapangan kerja serta akselerasi transisi energi global diyakini akan mendapat perlakuan istimewa dari pemerintahan ataupun komunitas global.
Upaya-upaya tersebut pada akhirnya dinilai dapat membantu sektor panas bumi dalam menghadapi persaingan dengan sumber-sumber energi lain di masa mendatang. Itu termasuk terkait kebutuhan investasi pembangkit panas bumi yang lebih besar dibandingkan dengan jenis energi lain.
Pada Mei 2024, inisiatif kerja sama dilakukan Kenya dengan AS dalam pengembangan manufaktur hijau di Kenya. Kerja sama itu antara lain bertujuan untuk terus mengakselerasi produksi energi bersih, membangun rantai pasok baterai dan kendaraan listrik, serta mendorong masuknya investasi oleh perusahaan-perusahaan AS dalam hal industri di bidang energi terbarukan.
”Pemanfaatan energi bersih oleh Kenya dan teknologi yang dimiliki AS memiliki potensi besar, terutama terkait dengan pusat data (data center) serta kecerdasan buatan,” kata Presiden Wlliam Ruto, dikutip dari The Washington Post.
Baca juga: Menanti Terobosan Kebijakan Pengembangan Panas Bumi Nasional
Diminati Indonesia
Keberhasilan Kenya dalam mengembangkan energi terbarukan, khususnya panas bumi, juga mengundang ketertarikan kerja sama dari Indonesia, yang sebenarnya memiliki potensi panas bumi yang lebih besar. Pada Maret 2024, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) mencapai kesepakatan dengan perusahaan Kenya, yakni Geothermal Development Company Ltd (GDC) dan Africa Geothermal International Ltd (AGIL).
Kerja sama tersebut digagas dalam rangka mempercepat pengembangan panas bumi di Kenya. PGE, bersama dua mitranya tersebut, berencana mengeksplorasi dua lapangan panas bumi di Kenya. Dalam pembicaraan tingkat tinggi yang dilangsungkan di kantor pusat GDC di Nairobi, Rabu (6/3/2024), PGE dan GDC mendiskusikan dukungan dari Pemerintah Kenya dalam percepatan pengembangan lapangan tersebut.
Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PGE Rachmat Hidajat mengatakan, setelah pengeboran eksplorasi akan dilakukan studi kelayakan guna mendapatkan kesepakatan pembelian tenaga listrik (power purchase agreement) dengan tarif yang layak. ”Akselerasi perlu memperhatikan dengan cermat seluruh tahapan dan beragam aspeknya agar perkembangan proyek jelas dan terukur,” katanya, dalam keterangan.
Kendati pemanfaatannya masih terbilang kecil dibandingkan potensinya, pengembangan panas bumi di Indonesia sejatinya telah dimulai dari tahun 1970-an. Dikutip dari laman Pertamina, area Kamojang, Jawa Barat, menjadi area tertua PGE, mengingat eksplorasi pertama mereka dilakukan pada 1974. Kini terdapat 5 unit PLTP Kamojang dengan operasional perdana pada 1983. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga terlibat dalam pengelolaan PLTP Kamojang.
Baca juga: Pengembangan Panas Bumi di Indonesia Perlu Terobosan
Kendati sudah dimulai lebih dari 40 tahun lalu, perkembangan panas bumi Indonesia relatif lambat. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang PLTP di Indonesia hingga akhir 2023 sebesar 2.417,7 MW atau sekitar 10 persen dari total kapasitas pembangkit energi terbarukan. Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas panas bumi hanya sekitar 469 MW.
Di samping tantangan pembiayaan serta risiko eksplorasi panas bumi, juga ada tentangan penggunaan energi fosil. Sebab, Indonesia amat bergantung pada batubara (untuk pembangkit listrik tenaga uap/PLTU) dalam bauran ketenagalistrikan (67 persen). Sejatinya, pembangkit panas bumi-lah yang diharapkan kelak menggantikan PLTU batubara sebagai baseload, merujuk pada sifat serta keandalannya.
Tantangan lain ialah aspek sosial mengingat kerap kali muncul anggapan jika pengeboran panas bumi merusak lingkungan sehingga mendapat tentangan dari masyarakat. Sosialisasi terkait energi bersih yang dihasilkan oleh panas bumi masih menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak.
Laporan ReforMiner Institute pada 2024 menyebutkan bahwa potensi sumber daya panas bumi Indonesia sebesar 23.765,5 MW atau setara 40 persen total potensi panas bumi global. Namun, sejak mulai diusahakan pada 1980-an hingga akhir 2024, total kapasitas terpasang PLTP baru sekitar 10,3 persen dari total potensi sumber daya di Indonesia.
Padahal, jika dioptimalkan, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan energi terbarukan lain, seperti tak bergantung pada cuaca, produksi energi yang lebih besar, tingkat kapasitas lebih tinggi, dan prioritas untuk kepentingan domestik karena tidak bisa diekspor. Apabila seluruh potensi panas bumi dioptimalkan, ada potensi penurunan emisi gas rumah kaca sekitar 182,32 juta ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen.
Baca juga: Presiden Jokowi Mesti Cawe-cawe Akselerasi Energi Terbarukan dan Dekarbonisasi