Pemerintah Bentuk Komite Supervisi Harga Tiket Pesawat, Efektivitasnya Diragukan
Proporsi komponen tiket hampir 40 persen dalam sebuah perjalanan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah membentuk Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Banyak pihak akan terlibat dalam komite itu. Meski demikian, pemangku kepentingan (stakeholder) menilai efektivitasnya diragukan di tengah masa transisi pemerintahan.
Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional itu merupakan lembaga yang akan menyusun rancangan efisiensi biaya penerbangan dan menurunkan harga tiket pesawat sesuai rencana pemerintah.
Baca juga: Komunitas Penerbangan Cermati Upaya Luhut Turunkan Harga Tiket Pesawat
Adyatama Kepariwisataan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Nia Niscaya mengatakan, dinamika soal harga tiket masih dalam pembahasan. Kemenparekraf telah menerima penugasan tentang hal itu di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves).
”Di bawah Kemenkomarves ada kami, ada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga. Di luar Kemenkomarves akan ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga. Asosiasi pasti diajak bicara, industri juga tentunya,” kata Nia dalam konferensi pers mingguan di Jakarta, Senin (15/7/2024).
Sejauh ini, serangkaian rapat mingguan dan koordinasi telah dilakukan Kemenparekraf dengan Kemenkomarves. Kemenparekraf telah memiliki perencanaan terkait hal itu, tetapi Nia tidak merincinya.
Nia menyampaikan, harga tiket berhubungan langsung dengan pariwisata karena proporsi komponen tiket hampir 40 persen dalam sebuah perjalanan. ”Ketika (harga) turun, orang akan jadi lebih ingin pergi naik pesawat terbang. Jadi, sangat berdampak,” ujar Nia.
Baca juga: Maskapai Jadi Kambing Hitam Besaran Tarif Tiket Pesawat
Namun, Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie menyangsikan efektivitas pembentukan Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Nasional tersebut. Ia menilai, hanya Menteri Kemenkomarves Luhut Binsar Pandjaitan yang mengetahui kemampuan komite tersebut.
”Masa jabatan beliau hanya tinggal tiga bulan. Kalaupun komite ini bisa kerja super cepat berdasar kondisi dan data akurat juga faktual, maka solusinya butuh koordinasi lintas kementerian. Apakah rentang waktunya realistis?” tutur Alvin.
Pada masa pemerintahan selanjutnya, belum tentu menteri atau pihak terkait akan melanjutkan karena kabinet baru memiliki prioritas masing-masing. Guna merealisasikan rencana-rencana yang dikemukakan, butuh kerja sama banyak pihak.
”Ini mencakup banyak kementerian dan lembaga. Butuh regulasi besar sehingga harus melibatkan semua stakeholders. Tidak bisa grusa-grusu,” kata Alvin.
Pengamat penerbangan, Gatot Rahardjo, merespons positif pembentukan komite walau dengan sejumlah catatan.
”Bagus juga dibentuk komite. Hanya saja terkait efektivitasnya, itu erat dengan siapa saja anggota satgas, apa kewenangannya, dan program apa saja yang akan dilakukan. Sebab, masalah ini berkaitan dengan banyak kementerian dan lembaga,” ujar Gatot.
Ia merekomendasikan, komite ini bertugas langsung di bawah presiden yang diisi dari beragam latar belakang. Ada perwakilan pemerintah, operator penerbangan (bandara dan maskapai), serta masyarakat. Namun, pemimpin perlu dipilih secara meritokrasi atau orang profesional yang imparsial, jauh dari kepentingan.
Gatot berpendapat, aturan-aturan perlu didiskusikan lintas sektoral dan kementerian, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kemenparekraf, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Ada pula pihak-pihak eksternal yang harus dilibatkan. Sebagian di antaranya maskapai penerbangan, bandara, dan para ahli.
”Kalau hanya di bawah Kemenkomarves, apa bisa nanti punya kewenangan pada kementerian di bawah kementerian koordinator lain? Jadi, sebaiknya berada di atas semua kementerian atau independen di bawah presiden,” kata Gatot.
Menurut Gatot, lembaga independen dinilai akan lebih fleksibel menjembatani kepentingan seluruh pihak, baik pemerintah, operator penerbangan (maskapai, bandara), maupun masyarakat. Operasionalnya juga akan lebih efektif dan efisien karena bisa lebih fokus dan profesional. Agar lebih kuat, perlu legalitas juga yang menaungi lembaga itu, seperti undang-undang (UU) atau keputusan presiden.
Belajar dari negara-negara lain, lanjut Gatot, ada lembaga khusus yang mengurus penerbangan, baik untuk keselamatan, keamanan, maupun bisnisnya, seperti Badan Penerbangan Federal AS (FAA) dan Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA).
Baca juga: Dongkrak Pendapatan, Pelita Air dan Garuda Indonesia Bakal Tambah Pesawat
Efisiensi biaya penerbangan sebelumnya dilontarkan Luhut. Ia menyampaikan akan mengupayakan efisiensi biaya penerbangan dan penurunan harga tiket pesawat melalui akun Instagramnya pada Kamis (11/7/2024). Rencana itu terbit karena masyarakat banyak mengeluhkan harga tiket pesawat yang tinggi.
”Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara berpenduduk tinggi, harga tiket penerbangan Indonesia jadi yang termahal kedua setelah Brasil,” kata Luhut.
Merespons persoalan itu, pemerintah menyiapkan beberapa strategi efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket. Setidaknya ada lima langkah merealisasikan rencana tersebut.
Pertama, efisiensi operasi biaya pesawat. Kedua, pembebasan bea masuk dan pembukaan larangan terbatas barang impor tertentu. Ketiga, perhitungan ulang skema tarif. Keempat, evaluasi pendapatan kargo. Kelima, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
Isu monopoli
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan, pihaknya menunggu koordinasi selanjutnya dengan Kemenkomarves dan kementerian/lembaga negara, serta pemangku kepentingan lainnya guna menindaklanjuti upaya efisiensi penerbangan dan penurunan harga tiket.
Meski demikian, ia menilai ada masalah lain yang lebih mendesak untuk dituntaskan. Salah satunya terkait pelanggaran tarif batas atas (TBA) dan praktik monopoli dalam industri aviasi. ”Ada maskapai penerbangan yang melanggar TBA, tetapi dibiarkan,” kata Irfan.
Gatot menambahkan, saat ini, industri penerbangan Indonesia lebih banyak dikuasai sejumlah elite sehingga terjadi monopoli terselubung. Pemerintah pun tak bisa berbuat banyak sehingga merugikan masyarakat.
Berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (Inaca), Lion Air Group menguasai hingga 65 persen pangsa pasar penerbangan domestik sepanjang 2023. Maskapai yang tergabung adalah Lion Air, Batik Air, Wings Air, dan Super Air Jet yang mengangkut 42,7 juta orang. Posisinya disusul Garuda Indonesia Group yang meliputi Garuda Indonesia dan Citilink (27 persen).
”Tapi, sebenarnya Lion Air Group tak sepenuhnya salah. Mereka hanya memanfaatkan celah regulasi yang tak mengatur soal kepemilikan maskapai yang berbeda layanan dan sertifikat operator penerbangan (AOC),” kata Gatot.
Lion Group membangun banyak maskapai berbeda, lantas bekerja sama secara operasional. Alhasil, terjadi monopoli terselubung.
Baca juga: Industri Wisata Tolak Wacana Kutipan Dana Pariwisata di Tiket Penerbangan
Pada negara yang sudah maju, ada UU antimonopoli yang berlaku pula bagi penerbangan. Ketika ada indikasi monopoli penerbangan, maskapai akan langsung ditindak. Bentuknya beragam, seperti pengurangan saham kepemilikan dan pengurangan operasional.
”Kalau di kita, aturannya masih tumpang tindih. Buktinya KPPU tak bisa apa-apa melihat Lion Air Group yang sudah monopoli. Pemerintah juga terbelenggu dengan kepentingannya dan merasa terbantu karena maskapai itu mampu menerbangkan puluhan juta penumpang,” tutur Gatot.
Menanggapi isu monopoli ini, Presiden Direktur Lion Air Group Daniel Putut menampik tudingan itu. Sebab, pesawat-pesawat yang ada saat ini justru menjadi kekuatan kelompok maskapainya untuk mengisi peluang dalam dunia penerbangan nasional.
”Tak ada keinginan menguasai. Kami bisa bertahan sampai saat ini karena jumlah armada banyak, kami siap melayani ke mana saja,” ujarnya.