Pemerintah Bakal Kenalkan BBM Rendah Sulfur pada 17 Agustus 2024
Saat ini, BBM yang banyak digunakan mayoritas masyarakat bersulfur tinggi atau belum memenuhi standar Euro IV.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah menyiapkan produk bahan bakar minyak atau BBM dengan konten sulfur yang rendah dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi. Proyek percontohan akan dilakukan mulai 17 Agustus 2024 di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum atau SPBU. Di samping itu, penyaluran BBM subsidi dan kompensasi yang lebih tepat sasaran juga dibahas antarkementerian sehingga BBM subsidi hanya bisa dinikmati warga yang berhak.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat (12/7/2024), mengatakan, tingginya tingkat pencemaran udara menjadi perhatian pemerintah. Saat ini, tengah coba disiapkan salah satu alternatif upaya dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan penyediaan dan penggunaan BBM rendah sulfur. Hal tersebut tengah dipelajari.
”Kita cari bahan pencampur yang bisa mengurangi konten sulfur. Sekarang, kan, masih 500 ppm (parts per million), sedangkan standar Euro V kan sudah harus di bawah 50. Tapi, menuju itu ada ongkosnya. Kilang (Refinery Development Master Plan/RDMP) di Balikpapan (Kalimantan Timur) juga belum kelar,” kata Arifin.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menuturkan, pengenalan BBM rendah sulfur akan dilakukan di sejumlah SPBU sebagai proyek percontohan (pilot project) mulai 17 Agustus 2024. Namun, ia tidak merinci jenis BBM rendah sulfur mana yang akan diperkenalkan kepada publik dalam waktu dekat.
”Memulainya dari sana (percontohan), sampai nanti siapnya kapan (belum tahu). BBM dengan ppm rendah (produksinya) mahal,” ujar Agus.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati. ”Agar polusi udara ini juga bisa dikurangi cepat, karena (saat ini) sulfurnya sampai 500 (ppm), kita mau 50 (ppm). Nah, ini sekarang lagi diproses dan dikerjakan Pertamina. Kalau semua dikerjakan dengan baik, kita bisa menghemat lagi,” kata Luhut dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, @luhut.pandjaitan, Selasa (9/7/2024).
Saat dikonfirmasi, Jumat, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso belum memerinci rencana tersebut. ”BBM rendah sulfur masih proses. Memang ada arahan pemerintah untuk BBM rendah sulfur,” katanya.
Komunikasi publik yang baik penting agar masyarakat mendapat gambaran yang jelas akan satu kebijakan.
Dikutip dari laman Pertamina, standar emisi Euro ialah standar yang digunakan negara Eropa untuk mengetahui kualitas udara. Semakin tinggi standar Euro yang digunakan, semakin kecil pula batas kandungan gas karbon dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, volatil hidrokarbon, dan partikel lain yang berdampak negatif pada manusia dan lingkungan. Euro IV ialah bahan bakar dengan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.
Dari sejumlah produk BBM Pertamina, yang telah memenuhi ketentuan kandungan sulfur maksimal 50 ppm ialah pertamax green 95 dengan nilai oktan/RON 95, pertamax turbo RON 98, dan pertadex dengan nilai cetane 53. Di luar produk-produk itu, kandungan sulfurnya masih tinggi.
Pada unggahan di Instagram, Luhut juga menyebut perlunya pembatasan BBM bersubsidi agar tepat sasaran. ”Kita berharap 17 Agustus sudah mulai orang yang tak berhak dapat subsidi itu dikurangi. Kalau itu terjadi, sulfur (dalam BBM) kita kurangi. Itu juga akan mengurangi orang yang sakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan akan menghemat (biaya) kesehatan sampai Rp 38 trilliun ekstra (dalam) pembayaran BPJS. Inefisiensi di negeri ini bertahap kita selesaikan,” lanjutnya.
Khusus mengenai rencana pembatasan BBM bersubsidi/kompensasi, Arifin mengatakan, masih memperdalam serta mempertajam data. Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM pun masih harus dibicarakan dengan menteri BUMN dan menteri Keuangan. ”Harus di antara tiga menteri, baru ke menko perekonomian,” ucapnya.
Bukan hal baru
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya-upaya pengenalan BBM ramah lingkungan bukan hal baru. Dilihat dari sisi positif, masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan, khususnya bagi mereka yang berdaya beli.
Baginya, yang terpenting ialah transparansi. ”Apakah ada kaitannya dengan fiskal atau APBN? Bagaimanapun, jika ada produk baru, penggolongan BBM-nya akan berbeda. Bagi saya, lebih penting ialah tujuan dilakukannya kebijakan ini sehingga publik punya ekspektasi yang proporsional. Apakah jumlah BBM subsidi/kompensasinya berkurang atau seperti apa? Itu perlu kejelasan dan lebih penting,” katanya.
Terkait rencana pembatasan BBM bersubsidi/kompensasi agar lebih tepat sasaran, Pri Agung juga mengatakan, kesiapannya perlu benar-benar diperhatikan. Sebab, hal itu bukan sesuatu yang mudah diimplementasikan oleh Pertamina, termasuk agar bagaimana tidak menimbulkan gejolak sosial. Oleh karena itu, komunikasi publik yang baik penting agar masyarakat mendapat gambaran yang jelas akan satu kebijakan.
Strategi peralihan dari premium RON 88 ke pertalite RON 90, kata Pri Agung, dapat ditiru. ”Dalam arti, percontohan dulu, baru kemudian perlahan-lahan ditiadakan sehingga peralihannya berjalan mulus. Sambil juga terus dilakukan edukasi kepada masyarakat bahwa BBM ini tidak bisa terus-terusan ditanggung, siapa pun pemerintahannya,” ujar Pri Agung.