Menimbang Kembali Sejumlah Kebijakan Pupuk Subsidi
Pemerintah diingatkan lagi tentang rencana perubahan skema subsidi pupuk ke subsidi langsung yang belum terealisasi.
Tentu saja penyaluran dan serapan masih menjadi problem klasik pupuk subsidi. Namun, di luar itu, masih banyak persoalan pupuk subsidi yang butuh solusi, bahkan perombakan kebijakan.
Ada yang meminta penambahan jenis pupuk subsidi, komoditas, dan anggaran. Ada yang mempertanyakan korelasi pupuk subsidi dengan produksi. Ada pula yang mendorong subsidi pupuk diganti subsidi langsung.
Sejumlah problem di luar distribusi dan serapan pupuk subsidi itu mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terarah (FGD) ”Meninjau Ulang Kebijakan Subsidi Pupuk”. FGD tersebut digelar Harian Kompas dan PT Pupuk Indonesia (Persero) di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Pembicara dalam FGD itu adalah anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mulyanto; anggota Komisi IV DPR, Slamet; Direktur Pupuk dan Pestisida Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Tommy Nugraha; Wakil Sekretaris Jenderal Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Zulharman Djusman; dan Sekretaris Jenderal Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Heri Soba. Selain itu, ada juga Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa dan ekonom Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti.
Baca juga: Benahi Problem Distribusi, Optimalkan Serapan Pupuk Subsidi
Zulharman mengatakan, KTNA mengapresiasi kebijakan pemerintah menambah alokasi pupuk subsidi dari 4,73 juta ton menjadi 9,55 juta ton pada tahun ini. Kendati alokasi itu masih di bawah kebutuhan, KTNA juga berharap jenis pupuk subsidi dan komoditas yang boleh menggunakan pupuk itu ditambah.
”Salah satu pupuk yang perlu disubsidi adalah ZA karena dapat meningkatkan unsur hara tanah. Sementara sejumlah komoditas yang perlu mendapatkan pupuk subsidi adalah singkong dan sayur mayur,” ujarnya.
Sejak 2022, pemerintah mencoret ZA dari daftar pupuk subsidi. Kini, pupuk yang disubsidi hanya NPK, urea, NPK formula khusus, dan organik.
Di tahun yang sama, jumlah komoditas pengguna pupuk subsidi juga dipangkas dari 70 komoditas menjadi hanya sembilan komoditas. Kesembilan komoditas itu adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kakao, dan kopi.
MSI juga menyampaikan pendapat senada. Menurut Heri, singkong perlu ditambahkan dalam daftar komoditas pengguna pupuk subsidi. Ini mengingat potensi singkong dan produk olahannya di dalam dan luar negeri cukup besar.
Yang ditanam singkong, yang tumbuh justru jagung.
Singkong juga merupakan tanaman pangan alternatif penunjang diversifikasi pangan nasional. Selain itu banyak industri yang membutuhkan singkong, baik untuk bahan baku tepung tapioka maupun makanan jadi.
”Bahkan, singkong menjadi bahan baku utama aneka makanan tradisional di berbagai daerah di Indonesia,” kata Heri.
Heri juga mengaku senang singkong menjadi bagian dari sasaran Food Estate, program lumbung pangan pemerintah. Namun, program itu tidak berlanjut dan diganti jagung.
”Yang ditanam singkong, yang tumbuh justru jagung,” kelakar Dwi Andreas menimpali pernyataan Heri.
Baca juga: Ekonomi Singkong
Tangki bekas peralatan untuk persiapan pembukaan lahan dan penanaman singkong di kebun Food EstateGunung Mas, Kalteng, Selasa (8/8/2023). Sudah hampir dua tahun lamanya kebun tersebut tidak ada aktivitas.
Pemerintah mencetak Food Estate singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, di lahan seluas 600 hektar. Namun, sepanjang 2021-2023, komoditas yang memiliki usia panen 6-10 bulan itu tidak pernah menghasilkan.
Setelah dua tahun berjalan, banyak singkong tidak tumbuh ideal. Hutan yang dibabat tidak sesuai saat ditanami singkong. Kompas setidaknya sudah empat kali melihat pertumbuhan singkong tersebut. Singkong yang berumur dua tahun tumbuh kerdil, bahkan akarnya tumbuh di atas tanah (Kompas, 8/8/2023).
Baca juga: Setelah ”Food Estate” Singkong, Kini Jagung Ditanam di Kalteng
Belenggu anggaran
Dalam FGD itu, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Komisi IV DPR mengakui alokasi pupuk subsidi selalu bergantung pada anggaran. Pemangkasan jenis pupuk subsidi dan komoditas pengguna pupuk subsidi pada 2022 juga disebut-sebut gegara anggaran.
Menurut Slamet, anggaran subsidi pupuk jauh di bawah dana yang dibutuhkan untuk menyubsidi pupuk. Tahun ini, pemerintah menambah anggaran subsidi pupuk Rp 26,7 triliun menjadi Rp 53,3 triliun.
”Kalau semua kebutuhan pupuk subsidi petani dipenuhi, diperlukan dana subsidi sekitar Rp 80 triliun. Selama dananya terbatas, pasti akan ada kekurangan terus,” ujarnya.
Kementan mencatat, kebutuhan pupuk subsidi pada 2024 sebanyak 10,7 juta ton. Dari jumlah itu, pemerintah baru bisa memenuhinya sebanyak 9,55 juta ton. Padahal, permintaan pupuk subsidi dalam sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK) pada 2024 sekitar 25 juta ton.
Menurut Dwi Andreas, yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), petani sebenarnya tidak terlalu mempersoalkan bisa mendapatkan pupuk subsidi atau tidak. Hal itu lantaran mereka sudah terbiasa kesulitan menebus pupuk subsidi sehingga terpaksa selalu membeli pupuk nonsubsidi.
Selain itu, persentase biaya pupuk dalam total biaya produksi tani relatif kecil. Berdasarkan hitungan AB2TI pada April 2024, biaya pupuk yang dibutuhkan dalam budidaya padi seluas 1.500 meter persegi hanya Rp 208.000 atau 3,6 persen dari total biaya produksi Rp 5,87 juta.
”Biaya usaha tani terbesar justru ongkos tenaga kerja dan sewa lahan, masing-masing sebesar 41,2 persen dan 27,9 persen,” katanya.
Baca juga: Perlukah Terus Memberi Bantuan Pupuk Bersubsidi bagi Petani Tanaman Pangan?
Akademisi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menyampaikan paparan dalam diskusi kelompok terarah dengan tema ”Meninjau Kembali Kebijakan Subsidi Pupuk” digelar Harian Kompas di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Yayan bahkan menunjukkan, dampak subsidi pupuk terhadap pertumbuhan sektor pertanian dan peningkatan kesejahteran petani tidak terlalu signifikan. Hal itu terlihat dari hasil penghitungan angka pengganda input-output subsidi pupuk pada 2010-2016 di sektor tersebut.
Angka pengganda output subsidi pupuk itu meningkat dari 2,26 kali pada 2010 menjadi 2,75 kali pada 2016. Artinya, ada peningkatan dampak pengganda sebesar 21,6 persen dalam jangka waktu enam tahun. Namun, jika dilihat per tahun, dampak penggandanya sebenarnya relatif kecil, yakni 3,6 persen.
Jika menggunakan skenario alokasi pupuk subsidi naik dua kali lipat, justru terjadi penurunan kesejahteraan petani, yakni -0,01 persen. Hal itu menunjukkan koefisien teknis sektor pertanian tidak begitu signifikan meningkatkan nilai tambah.
”Selama ini, teknologi subsektor tanaman pangan padi relatif tidak berubah. Subsidi pupuk tanpa adanya peningkatan mekanisasi pertanian akan percuma,” katanya.
Prediksi dampak subsidi pupuk berdasarkan penghitungan government multiplier.
Selain itu, Yayan juga mengkaji dampak subsidi pupuk berdasarkan government multiplier. Government multiplier merupakan bentuk penghitungan yang digunakan untuk mengukur pengaruh dan pendapatan pemerintah dari berbagai sumber yang dihubungkan dengan peningkatan pengeluaran suatu sektor.
Salah satu hasilnya, pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk justru akan menyebabkan demand pull inflation. Demand pull inflation menggambarkan kenaikan harga barang yang terjadi akibat permintaan melampui penawaran.
”Hal itu terjadi lantaran ada bottleneck (efek leher botol) dari sisi penawaran. Di saat aktivitas produksi dimulai, petani justru tidak bisa mendapatkan pupuk subsidi,” kata Yayan.
Merombak skema subsidi
Dalam FGD itu, sejumlah pembicara juga menyerukan pentingnya mengubah subsidi pupuk ke subsidi langsung. Melalui perubahan skema itu, subsidi harga pupuk yang selama ini diberikan kepada produsen pupuk dialihkan langsung ke petani. Hal itu merupakan arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat koordinasi terbatas pada 15 Maret 2024.
Slamet berpendapat, perubahan subsidi pupuk ke subsidi langsung diperlukan untuk mengatasi sejumlah kecurangan penyaluran pupuk subsidi. Selain itu, keuntungan terbesar penyaluran pupuk subsidi lebih banyak dinikmati distributor. Rata-rata keuntungannya dalam setahun sekitar Rp 600 miliar.
Selain untuk modal tanam, subsidi langsung itu juga dapat diberikan kepada petani di saat harga gabah mereka di bawah HPP.
Pada 2012, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pernah menyebutkan, hasil marginal dari pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk lebih rendah dibandingkan sektor lainnya. Pengembalian investasi melalui program subsidi pupuk hanya 0,53 jauh lebih rendah dibandingkan penelitian dan pengembangan pertanian (6,9), jalan perdesaan (3,2), pendidikan perdesaan (1,5), dan irigasi (1,4).
Adapun Dwi Andreas juga meminta agar pemerintah segera merealisasikan perubahan skema subsidi pupuk menjadi subsidi langsung ke petani. Melalui transfer langsung, petani bisa menggunakan dana baik untuk membeli pupuk dan modal tanam.
Baca juga: Membenahi Kebijakan Pupuk Nasional
Subsidi langsung ke petani itu merupakan salah satu bentuk insentif bagi petani. Dalam Rembug Nasional Bidang Pangan pada 2017, insentif produksi itu disebutkan bisa ditempuh lewat program after-sold direct payment.
”Selain untuk modal tanam, subsidi langsung itu juga dapat diberikan kepada petani di saat harga gabah mereka di bawah harga pembelian pemerintah (HPP),” kata Dwi.