Dana Transisi Energi Rp 16 Triliun Cair, AS Berharap Regulasi RI Lebih Fleksibel
Pemerintah RI diharapkan segera memperjelas aturan tentang kemudahan syarat TKDN dan arah kebijakan transisi energi.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah penantian panjang, Pemerintah Amerika Serikat akhirnya menyetujui kucuran dana senilai 1 miliar dollar AS atau Rp 16 triliun untuk membiayai berbagai proyek transisi energi melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP). Sebagai mitra, AS mengharapkan regulasi dalam negeri yang lebih fleksibel agar Indonesia semakin mudah menarik pendanaan global.
Kepastian pendanaan itu akhirnya dicapai setelah negosiasi panjang selama 1,5 tahun antara pemerintahan Indonesia dan AS di bawah kerangka program JETP. JETP merupakan program untuk mendukung pendanaan transisi energi di Indonesia yang awalnya disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022.
Saat berbincang dengan Kompas di Kedutaan Besar AS, Jakarta, Jumat (12/7/2024), Asisten Menteri Keuangan Bidang Perdagangan dan Pembangunan Internasional AS Alexia Latortue mengatakan, segera sesudah disetujui, dana 1 miliar dollar AS itu telah langsung dicairkan untuk mendanai berbagai proyek transisi energi di Indonesia.
Baca juga: Janji Surga Rp 353 Triliun Pendanaan Transisi Energi
Kucuran dana tersebut merupakan realisasi tahap awal dari total komitmen JETP senilai 21,5 miliar dollar AS atau Rp 345,7 triliun (kurs Rp 16.082 per dollar AS) yang dibiayai lewat dana publik sejumlah negara maju serta pinjaman komersial dari bank ternama dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Pendanaan 1 miliar dollar AS itu terdiri dari hibah senilai 200 juta dollar AS atau Rp 3,2 triliun serta sisanya berupa pinjaman. Di luar itu, ada pula negosiasi yang saat ini masih berjalan untuk pendanaan tahap selanjutnya senilai 2,4 miliar dollar AS atau Rp 38,6 triliun.
”Dana 1 miliar dollar AS sudah mulai direalisasikan dari sekarang. Untuk pendanaan tahap berikutnya sebesar 2,4 miliar dollar AS juga diharapkan bisa disepakati tahun ini. Kami berharap tahun ini menjadi tahun dimulainya implementasi JETP di Indonesia,” kata Alexia.
Salah satu proyek yang akan didanai adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ijen di Jawa Timur oleh perusahaan asal Indonesia, PT Medco Cahaya Geothermal (MCG). Komitmen pendanaan senilai 126 juta dollar AS atau Rp 2,02 triliun itu datang dari lembaga keuangan asal AS, United States Development Finance Corporation.
Wakil Kepala Sekretariat JETP Paul Butarbutar mengatakan, dana hibah yang akhirnya direalisasikan lewat JETP akan disalurkan untuk beberapa proyek, seperti mengembangkan studi atau kajian seputar transisi energi. ”Di luar itu, ada pula dana 500 juta dollar AS untuk digunakan membiayai transisi energi oleh PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur), proyeknya nanti tergantung proposal yang masuk ke PT SMI,” katanya saat dihubungi terpisah.
Butuh fleksibilitas dan kejelasan
Meski pendanaan tahap pertama sudah cair, masih ada beberapa isu yang perlu ditindaklanjuti Pemerintah Indonesia untuk menarik lebih banyak pendanaan transisi energi. Salah satunya, memastikan regulasi syarat minimal penggunaan produk dalam negeri atau Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang lebih fleksibel untuk proyek pembangkit listrik energi terbarukan.
Alexia mengatakan, kebijakan pendanaan dari sektor publik kerap bertentangan dengan persyaratan seputar penggunaan konten lokal dalam proyek pembangunan pembangkit listrik di Indonesia. Kendala yang sama juga dikeluhkan investor swasta yang menilai persentase persyaratan TKDN yang diberlakukan Indonesia terlalu tinggi.
”Jadi, sebenarnya ada banyak dana yang siap untuk dikucurkan. Namun, kami menanti perubahan regulasi dari Pemerintah Indonesia. Perlu dipastikan bahwa syarat persentase TKDN yang diberlakukan tidak terlalu tinggi dan ujung-ujungnya menjadi disinsentif,” kata Alexia.
Baca juga: Kritis Dana di Ambang Krisis Iklim
Sebagai contoh, dalam proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan mengatur adanya TKDN gabungan barang dan jasa minimum sebesar 53,07 persen untuk PLTS solar home system (SHS) dan 43,85 persen untuk PLTS terpusat atau komunal.
Perlu dipastikan bahwa syarat persentase TKDN yang diberlakukan tidak terlalu tinggi dan ujung-ujungnya menjadi disinsentif.
Pemerintah sebenarnya sudah berkomitmen mencabut Permenperin 52/2012 guna memudahkan aturan soal penggunaan TKDN. Itu karena aturan persyaratan TKDN yang tinggi selama ini menghambat investasi pengembangan pembangkit listrik EBT. Namun, kejelasan mengenai penerbitan regulasi baru pascapencabutan Permenperin itu masih dinanti.
Selain aturan TKDN, isu kedua yang menjadi perhatian adalah kejelasan arah kebijakan transisi energi di Indonesia. Untuk itu, Pemerintah AS menunggu dokumen terbaru Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
”Investor butuh kejelasan tipe proyek apa saja yang diprioritaskan pemerintah Indonesia. Dokumen itu akan menjadi semacam panduan mereka dalam mencari peluang investasi dan proyek yang bisa mereka danai. Kami berharap dokumen itu bisa keluar dalam waktu dekat. Namun, setelah berdiskusi dengan Pemerintah Indonesia sepekan terakhir ini, kami optimistis berbagai isu itu akan segera diatasi,” ujarnya.
Perlu relaksasi
Dihubungi secara terpisah, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, menilai penerapan kebijakan TKDN dalam proyek JETP bertujuan untuk mendorong pembangunan industri manufaktur dan jasa dalam negeri, termasuk industri energi terbarukan.
Sayangnya, lanjut Deon, industri energi terbarukan dalam negeri belum siap untuk memenuhi rantai pasok proyek energi terbarukan dalam skala besar. Pada akhirnya, beberapa proyek tidak bisa dieksekusi karena terkait dengan proses pengadaan yang ada TKDN.
”Peraturan TKDN malah membatasi kemampuan pengembang untuk mendatangkan pasokan dari luar Indonesia. Padahal, biaya komponen tersebut turun secara signifikan dalam beberapa tahun belakangan,” ujarnya.
Relaksasi kebijakan TKDN diperlukan agar penyalur komitmen pendanaan senilai 21,5 miliar dollar AS yang tertuang dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) yang menjadi basis dari program JETP, tidak terhambat proyek yang sulit direalisasikan.
”Sembari menunggu kesiapan industri dalam negeri proyek energi terbarukannya agar program JETP bisa diteruskan, saya rasa perlu ada relaksasi (aturan TKDN),” kata Deon.
Baca juga: Presiden Jokowi Mesti Cawe-cawe Akselerasi Energi Terbarukan dan Dekarbonisasi
Sebagai informasi, kerangka pendanaan JETP membidik lima program transisi energi, yakni investasi untuk transmisi jaringan listrik, penghentian dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, penciptaan rantai pasok energi baru dan terbarukan, serta investasi pada pembangkit energi terbarukan intermiten atau yang bergantung pada cuaca serta faktor alam lain.
Adapun salah satu proyek prioritas dalam JETP adalah pengakhiran dini operasi PLTU Cirebon-1, Jawa Barat, dengan kapasitas 660 megawatt (MW). Sinergi dilakukan antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Cirebon Electric Power (CEP), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Indonesia Investment Authority (INA). Jika terlaksana, operasi PLTU akan berakhir pada 2035 atau tujuh tahun lebih cepat dari seharusnya.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi, beberapa waktu lalu, menuturkan, pembahasan pendanaan JETP untuk pensiun dini PLTU Cirebon-1 terus dilakukan, termasuk dengan ADB. Di sisi lain, pemerintah juga tengah mengupayakan bagaimana energi terbarukan bisa lebih banyak tersedia.
”Misal PLTU Cirebon-1 terminated (operasi diakhiri) 2035, Jawa akan membutuhkan listrik dari Sumatera. Jadi, dari Sumatera, grid (jaringan) harus tersambung sebelum 2035 sehingga PLN pun harus ada investasi transmisi. Di Jawa sendiri, sebagai pengganti PLTU Cirebon-1, harus ada panas bumi dan solar PV (surya). Namun, (kendalanya) kecil-kecil dan separated (terpisah-pisah). Pembangunannya pun butuh waktu,” ujarnya.