Pengembangan Kakao-Kelapa oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit Tuai Pro dan Kontra
Gapki meminta pemerintah fokus meremajakan sawit rakyat. SPKS menyebut ada peluang usaha alternatif bagi petani sawit.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan tugas baru Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk mengembangkan kakao dan kelapa menuai pro dan kontra. Ada kekhawatiran kebijakan itu menghambat program Peremajaan Sawit Rakyat dan Kewajiban Biodiesel. Akan tetapi di sisi lain, kebijakan itu dinilai dapat menjaga keberlanjutan budidaya kakao dan kelapa sekaligus membuka peluang usaha alternatif bagi petani sawit swadaya atau mandiri.
Pada 10 Juli 2024, pemerintah memutuskan memberikan tambahan tugas kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Badan yang selama ini hanya berurusan dengan sawit itu diminta mengembangkan kakao dan kelapa.
Pengembangan itu terutama menyangkut peremajaan serta revitalisasi tanaman dan perkebunan. Dananya tidak hanya bersumber dari pungutan ekspor sawit, tetapi juga pungutan ekspor kakao dan kelapa.
Untuk kakao, bea keluar yang dikenakan akan dikonversi menjadi pajak ekspor yang akan dikelola BPDPKS. Adapun untuk kelapa, pemerintah masih akan menggodok bentuk pungutan ekspornya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Kamis (11/7/2024), mengatakan, sebaiknya pemerintah fokus pada program-program sawit terlebih dahulu. Dua di antaranya peremajaan kelapa sawit dan mandatory (kewajiban) biodiesel.
”Hal itu penting mengingat produktivitas sawit turun, sedangkan produksi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) stagnan dalam empat tahun terakhir. Konsumsi sawit untuk makanan dan nonmakanan, termasuk biodiesel, juga terus meningkat,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Kalau konsumsi sawit, termasuk untuk biodiesel, meningkat terus tanpa diimbangi peningkatan produktivitas kelapa sawit, maka yang akan dikorbankan adalah ekspor CPO.
Berdasarkan data Gapki, saat ini, rata-rata produktivitas kelapa sawit perkebunan rakyat 2,5 ton per hektar per tahun setara CPO, swasta 3,4 ton per hektar per tahun, dan badan usaha milik negara 3,6 ton per hektar per tahun. Rerata produksi CPO dan PKO pada 2019-2023 juga stagnan sekitar 52 juta ton, masih jauh dari target produksi 2045 yang sebesar 78,35 juta ton.
Adapun rerata konsumsi minyak sawit di dalam negeri pada 2023 mencapai 23,28 juta ton atau 42 persen dari total produksi. Pada 2024, konsumsi minyak sawit diperkirakan naik 9,08 persen menjadi 25,4 juta ton. Konsumsi biodiesel mendominasi dengan penyerapan 11,6 juta ton.
”Kalau konsumsi sawit, termasuk untuk biodiesel, meningkat terus tanpa diimbangi peningkatan produktivitas kelapa sawit, maka yang akan dikorbankan adalah ekspor CPO. Jika itu terjadi, dana BPDPKS juga akan berkurang dan justru tidak akan cukup apabila digunakan untuk pengembangan komoditas lain,” kata Eddy.
Eddy juga menjelaskan, pemerintah juga telah meningkatkan dana hibah program Peremajaan Sawit Rakyat dari Rp 30 juta per hektar menjadi Rp 60 juta per hektar. Sampai saat ini, pencairan dana tersebut juga belum terealisasi.
Padahal, Indonesia harus mengejar target meremajakan kelapa sawit rakyat seluas 2,4 juta hektar hingga 2025 dari total luasan kebun sawit rakyat 6,7 hektar. Oleh karena itu, meskipun nantinya tetap ada pungutan ekspor kakao dan kelapa, jangan sampai program peremajaan sawit itu terhambat kebijakan baru pemerintah.
Berdasarkan data BPDPKS, total dana yang telah disalurkan untuk program Peremajaan Sawit Rakyat pada 2017-31 Mei 2024 sebesar Rp 9,42 triliun. Dana itu telah diberikan kepada 151.185 petani sawit dengan total luasan lahan 336.834 hektar. Luas lahan kelapa sawit yang telah diremajakan itu masih jauh dari target 2,4 juta hektar pada 2025.
Peluang usaha alternatif
Berbeda dengan Gapki, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) justru mengapresiasi positif kebijakan itu. Kendati demikian, SPKS tetap memberikan sejumlah masukan agar pengembangan sawit, kakao, dan kelapa dapat berjalan beriringan.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto berpendapat, kebijakan baru itu menunjukkan bahwa tidak hanya sawit yang diperhatikan. Kini, komoditas unggulan lain, seperti kakao dan kelapa, juga menjadi fokus perhatian pemerintah.
Selama ini, pengembangan kedua komoditas itu tertinggal jauh dari sawit. Sejak sawit dan produk turunannya dibutuhkan pasar internasional dan menjadi komoditas ekspor utama Indonesia, banyak orang beramai-ramai menanam sawit.
Kebijakan baru pengembangan kakao dan kelapa tersebut juga membuka peluang usaha alternatif bagi petani sawit swadaya. Pada saat harga minyak sawit turun, para petani sawit bisa terbantu dengan kedua komoditas itu.
Bahkan, banyak petani komoditas lain beralih ke sawit. Hal ini lumrah terjadi sawit didukung pemerintah, mulai dari kebijakan pendanaan, peremajaan, pengembangan sumber daya manusia, hingga penelitian dan pengembangan.
”Indonesia juga memiliki beberapa daerah penghasil sawit sekaligus kakao dan kelapa. Dengan kebijakan baru itu, kakao dan kelapa akan semakin lebih terurus sehingga tidak diganti kelapa sawit. Perekonomian daerah dan petani setempat juga bisa semakin meningkat,” katanya.
Menurut Darto, kebijakan baru pengembangan kakao dan kelapa tersebut juga membuka peluang usaha alternatif bagi petani sawit swadaya. Mereka bisa membudidayakan kedua komoditas itu sebagai tambahan usaha selain sawit.
”Di saat harga minyak sawit turun, para petani sawit bisa terbantu dengan kedua komoditas itu,” ujarnya.
Menurut Darto, semua itu bisa tercapai jika pemerintah benar-benar menggarap sejumlah elemen pendukung kebijakan itu. Pertama, buat regulasinya serta revisi peraturan tugas dan tanggung jawab BPDPKS.
Kedua, pastikan pengenaan pungutan ekspor kakao dan kelapa walaupun tidak sebesar pungutan ekspor sawit dan produk turunan. Hal itu penting agar pembiayaan program-program pengembangan kedua komoditas itu tidak membebani dana kelolaan sawit.
”Terakhir, pastikan program Peremajaan Sawit Rakyat tidak terganggu sehingga tetap berjalan baik sesuai target. Kalau perlu, kombinasikan peremajaan sawit dengan penanaman kakao atau kelapa seturut kemauan petani,” pungkasnya.