Pemerintah Klaim Era PMN Berbasis Utang Berakhir, Pengamat: Sulit Dibuktikan
Total dividen BUMN 5 tahun terakhir lebih besar dari total PMN. Namun, tak bisa dipastikan PMN bebas dari utang negara.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim suntikan penyertaan modal negara atau PMN ke perusahaan negara sudah tak lagi berbasis pada utang. Seruan ini muncul berlandaskan nilai total dividen pemerintah atas laba BUMN yang dalam lima tahun terakhir lebih besar dibandingkan total PMN dalam periode yang sama.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu (10/7/2024) malam, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut surplus lebih dari Rp 68 triliun antara jumlah dividen yang disetor ke kas negara dan PMN dalam lima tahun terakhir menunjukkan PMN sudah tak lagi bersumber dari utang negara.
Namun, pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menilai klaim yang menyebut PMN tak lagi mengandalkan utang negara tidak tepat dan berlebihan mengingat dividen laba BUMN yang menjadi bagian dari pemerintah masuk dalam kas negara dan bergabung dengan penerimaan lain.
”Tentu kita tidak bisa pastikan asal dananya. Penerimaan negara dari laba BUMN, dalam hal ini dividen, masuk dalam akun atau kantong penerimaan negara bersama dengan pajak dan penerimaan lain. Setelah itu baru diredistribusi oleh Menteri Keuangan,” ujarnya kepada Kompas, Kamis (11/7/2024).
Berdasarkan data yang dihimpun dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan dan Nota Keuangan APBN, dalam periode 2019-2023, total dividen yang disetor BUMN untuk kas negara mencapai Rp 300 triliun. Adapun nilai total PMN yang disuntik dari kas negara kepada BUMN dalam periode yang sama mencapai Rp 225,3 triliun.
Herry menyebut kendati dalam lima tahun terakhir total setoran dividen lebih besar dari suntikan PMN, di periode dua tahun pandemi Covid-19, yakni tahun 2021 dan 2022, injeksi modal dari kas negara untuk BUMN lebih besar dari dividen yang diterima pemerintah.
Pada tahun 2021, besaran dividen Rp 30,5 triliun, sedangkan suntikan PMN mencapai Rp 71,2 triliun. Adapun pada tahun 2022, setoran dividen Rp 40,6 triliun, sementara injeksi PMN mencapai Rp 59,2 triliun. ”Lantas selisihnya (ditutup) dari mana? Tentu kalau tidak nyedot penerimaan lain, ya dari utang negara,” ujar dia.
PMN tahun 2025
Dalam rapat dengar pendapat, Rabu malam, Komisi VI DPR RI menyetujui usulan penyertaan modal negara (PMN) kepada 16 badan usaha milik negara (BUMN) dengan nilai total Rp 44,2 triliun untuk tahun anggaran 2025.
Dana tersebut mayoritas akan digunakan untuk menjalankan penugasan pemerintah dengan komposisi 69 persen atau senilai Rp 30,5 triliun. Adapun untuk pengembangan usaha mencapai 27 persen (Rp 11,94 triliun), sedangkan restrukturisasi hanya mencapai 4 persen (Rp 1,76 triliun).
Total terdapat 16 BUMN yang diusulkan meraih PMN pada 2025. Injeksi terbesar diarahkan ke PT Hutama Karya (Persero) dengan nilai Rp 13,86 triliun. Dana itu, menurut rencana, digunakan untuk melanjutkan pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) fase 2 dan 3.
BUMN yang diusulkan mendapat PMN terbesar kedua adalah PT Asabri (Persero) yang diusulkan meraih PMN senilai Rp 3,61 triliun pada 2025 untuk perbaikan struktur permodalan, lalu PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebesar Rp 3 triliun untuk penugasan peningkatan elektrifikasi nasional.
Ditemui sebelum melaksanakan rapat, Erick menyebut anggaran PMN 2025 ini bertujuan memudahkan masa transisi pemerintah dari Presiden Joko Widodo saat ini menuju presiden terpilih Prabowo Subianto. ”Artinya, lewat PMN atau penugasan ini, kita ingin pastikan agar ke depan dalam transisi pemerintahan tidak kebingungan,” ujarnya.
Dari seluruh PMN yang telah disepakati Komisi VI DPR RI kemarin, fraksi PDI-P menolak usulan PMN untuk PT Danareksa Rp 2 triliun dan untuk Perum Perumnas sebesar Rp 1 triliun. Dihubungi Kamis, anggota Komisi VI DPR Fraksi PDI-P, Harris Turino, mengatakan, kedua BUMN tersebut tidak layak mendapat PMN dengan alasan yang berbeda.
”Danareksa karena bisa mendapatkan pendanaan dalam bentuk lain di luar injeksi modal negara, sementara Perumnas konsep perencanaan bisnisnya tidak jelas,” ujar Harris.